Membongkar Taktik Intelijen dalam Operasi Militer di Papua

Konsili Vatikan II, dilakukan oleh Paus Yohanes XXII pada tanggal 12 Oktober 1962. KV II ini menekankan petingnya Gereja Kaum Miskin. Ralatan penekanan Paus tersebut terdapat dalam Konstitusi Dogmatik mengenai Gereja, Lumen Gentium, dan Konstitusi pastoral mengenai Gereja dalam dunia modren, (LG 8; lihat juga AG 5).

Ada juga Gadium et Spes yang menekankan akan petingnya pengakuan terhadap otonomi dunia, Gereja membuka diri terhadap perkembang dan kemajuan dunia, dengan catatan pencapaian-pencapaian yang dihasilakan mesti berasaskan pada keadilan dan pemerataan hidup banyak orang, (Langkeru, 2022; hlm. 38-39).

Masih banyak lagi ASG-ASGA yang dikeluarkan oleh pimpinan-pimpinan Gereja Katolik di Roma (para Paus). Namu lima ASG di atas ini paling kurang bisa menujukkan kepada kita betapa concren Otoritas Gereja Katolik dalam menyikapi proses dan progres perabadan. Bahwa penulis hanya mau menjelaskan bahwa selain Amerika, Russia, dan China yang menjadi penentu apakah dunia ini terpangan api konflik atau terendam air perdamaian, Roma-Vatikan juga tidak bisa kita abaikan sebagai salah satu negara di dunia yang punya hak ad vecto yang besar terhadap progres percaturan politik ekonomi global.

Dalam perspektif intelejen, keempat negara di atas mempunyai intelejen yang luar biasa, bukan saja di bidang keamanan dan pertahanan, ekonomi dan bisnis, tapi lebih jauh, luas dan dalam dari itu ada banyak pemikiri-pemikir (Think Tang and Master Plan) besar yang punya wawasan baik tentang hilir-mudik pergolakkan politik dunia.

Ada banyak spesialis-spesialis di bidang ilmu sains atau eksakta, ada juga pakar-pakar killer di bidang ilmu Humaniora. Ketiga negara ini punya situs-situs pendidikan public policy yang berkenamaan, ada banyak Universitas-universitas dengan kurkulum liberal arts hebat di negara-negara tersebut dengan ribuan tenaga-tenaga cendekiwan yang handal, produktif, kreatif, aktif dan inovatif, bahkan semuanya profesor bukan di usia lansia, tapi muda.

Jika kita bertolak ke dalam dunia filsafat, maka memang sudah dari jaman dulu, minimal Plato (427-347 SM), ia sudah bicara Pemimpin Ideal itu adalah seorang “Raja dan Filsuf”. Dengan menggunakan metode padagogis banyak anak-anak Raja, para pangeran dan putri kerajaan yang sudah sejak dini dididik khusus oleh filsuf-filsuf kenamaan atau oleh sarjana-sarjana pintar tentang ilmu politik, hukum, adiministrasi, ekonomi, orasi, demokrasi, strategi perang, ilmu beladiri, tenaga alam dan lain sebagainya.

Hal ini mereka buat agar kelak para pewaris tahta kerajaan tersebut tampil sebagai Raja dan Ratu yang tangguh, kuat, pandai, dan lain sebagianya bukan saja di bidang keamanan dan pertahanan, tapi juga di bidang politik, ekonomi, budaya dan agama. Semisal, kita tahu bersama bahwa di balik Raja Aleksander Agung (356-323 SM), ada seorang filsuf termasyur sepanjang sejarah Yunani Kuno dan Dunia, yakni Aristoteles (384-322).

Raja Alexander Agung yang dikenal mampu menjajah sepertiga dari dunia itu adalah murid Aristoteles, melalui logika, matematika, dan politik perang dan negoisasi (orasi) yang diajarkan oleh Aritoteles, Alexander Agung mampu menjadi Raja yang begitu sangat cerdas dalam bidang strategi perang sehingga sekali lagi ia mampu menaklukkan musuh-musuhnya, walau mati muda ia tetap menjadi pemimpin legendaris di dunia. Wilayahnya terbentang dari Balkan di barat sampai India di timur. Dia tidak pernah terkalahkan dalam pertempuran dan terkenal luas sebagai salah satu komandan militer tersukses dalam sejarah.

Kaisar Aurelius (121-180) di Roma juga adalah murid dari seorang filusf kenamaan di Yunani Kuno yang bernama Epikuros (341-270 SM). Di tangan Aurelius Roma dipimpin dalam hikah dan kebijaksaan, budaya filsafat Yunani yang terekanal pada waktu itu, seperti Helenisme dan Stoikisme, berkemabang cukup pesat di seluruh wiayah imperium Romawi.

Memasukai Modern dan Postomodren dan atau era yang oleh para sosilog disebuat sebagai era pots-truth. Post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan netizen. Era ini juga dalam kamus pada teknotrat dan teknolog disapa dengan sebutan era revolusi digital. Tentunya  pemikiran atau paham bahwa pemimpin ideal itu adalah “Raja dan Filsuf” sudah mulai pupus bahkan telah ludes.

Lembaran sejarah perang NUBIKA (Nuklir, Biologi dan Kimia) yang berpuncak pada Perang Dunia II itu senada juga dengan adagium filosofis Francis Bacon (1561-1626) yang menyatakan “Knowledge is power” atau Pengetahuan adalah kekuasaan. Quote Bacon ini bukan tanpa sebab musabab yang konkret. Hingga kini sosok yang bisa menguasai dunia adalah ia yang cerdas, bukan kuat secara fisik. Orang kuat akan kalah dengan orang cerdas (jenius) yang tekun, begitu juga negara dan bangsa yang cerdas akan mampu mengalahkan bangsa dan negara yang adikuasa dan adidaya.

Bahwa bukan Sumber Daya Alam yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa dan negara, tapi sumber daya manusianya (SDM).

Pemimpin ideal di mileium ketiga ini adalah “Ekonom dan Teknolog”. Kita tahu bahwa di belakang Hitler dan Nazinya itu ada aktor-aktor peyokong dan aktor intelektualnya. Banyak orang percaya bahwa filsuf kenamaan Fredirick William Nietzsche (1844-1900), punya andil besar dalam mendekonrtuksi dan mereduksi pikiran-pikiran radikal Hitler. Pikiran Nietzsche terkait “Manusia Super” (Übermensch) membuat bangsa Arya di Jerman merasa sebagai “Ras Unggul” ketimbang ras lainnya di dunia, paling kurang di imperium Jerman, sehingga terjadi peritiawa Holocauts, di mana ribaun juta orang Yahudi dieksekusi oleh Hitler di bawah bendera Nazi di dalam kamb-kamb konsentrasi.

Kita juga mesti sadar bahawa “gas beracun” yang dialurkan ke dalam pipa dan selang yang menuju ke dalam ruang kamb konsentrasi itu tidak lain dan tidak bukan adalah mahakarya beberapa ilmuah di bidang saintifik yang mutakhir. Para ilmuan itu dipakai oleh Hitler (juga para diktator lainnya) untuk melanggengkan rezimnya dengan jurus malpraktek. Ide-ide cemerlang  dari Nicola Tesla (1856-1943), Thommas Alva Edison (1847-1931), Albert Einstein (1879-1955), dan ilmuan hebat lainnya banyak disalahgunakan (malpraktek) oleh para pemimpin dengan rezim otoriternya.

Aneka BOM NUBIKA (Nuklir, Biologi dan Kimia) penghancur jagat yang tercipta dari tangan-tangan para ilmuan dan teknolog canggih sudah menjadi tanda-tanda munculnya peguasa-peguasa dunia yang akan memproklamirkan dirinya sebagai “homo deus”, bahkan “deus” itu sendiri. Pengebomam dua kota di Jepan, Hirosima dan Nagasakai disinyalir kuat juga merupakan “dosa-dosa intelektual” dari para aktor intelektual bermental “neo-sofistis pasca sokratik”.

Fenomena kosnprirasi tingkat wahid seperti ini sama seperti apa yang sudah disampaikan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), bahwa pendidikan dan kebudayaan itu membusukkan manusia. Rosseau bukan tanpa dasar dan alasan logis, seperti yang sudah dilukiskan di atas bahwa rupanya kemajuan tekonologi, informasi dan pengetahuan di atas potensial menjadi “kuburan-kuburan perbadan umat manusia”

Halaman selanjutnya >>>
Siorus Degei
Latest posts by Siorus Degei (see all)