Membongkar Taktik Intelijen dalam Operasi Militer di Papua

Kedua, Era Aneksasi. Sebelum menganeksasi Papua. Intelejen dari Indonesia, Belanda, Amerika, PBB dan Roma melakukan operasi intelejen dengan menggunakan metode klandesting dan metode hitam dalam rangka spionase dan mengakalisasi format Aneksasi 1962 dan PEPERA 1969 dalam dua perjanjian cacat hukum, moral, HAM, dan demokrasi, yakni Perjanjian New York (15 Agustus 1962) dan Perjanjian Roma (30 Septemer 1962).

Nama-nama seperti Soegoro Atmoprasodjo, G.S.S.J. Ratulangi, Peterojandi dan Dokter Gerungan adalah nama-nama klandestin yang diutus khusus negara untuk meloloskan PEPERA 1969. Mereka ini berhasil mendokrin Nicolais Jouew, Korinus Krey, Frans Kaisepo, Marten Indey, Sials Papare, Markus Kaisepo dan tokoh-tokoh nasionalis awal-awas Papua lainnya.

Selain klandestin dalam rangkan cipta kondisi dan situasi di Papua dilakukan juga beragam operasi militer yang takaruan guna menyerang psikologis massa rakyat Papua dengan dalil manipulasi suara. Tanggal 2 Januari 1962 Soekarno membentuk Komando Mandala yang bermarkas di Makasar di bawah pimpinan May. Jend. Soeharto. Nama selain Soeharto nama-nama seperti Eddih Wibowo, A.H. Nasution, Prabo Subianto, Wiranto, Murtopo dan lainnya tidak asing dalam sejarah operasi militer di Poso, Aceh, Ambon, Timor-Timur dan Papua.

Ketiga, Era Orde Lama (Seokarno-Hatta). Operasi militer masih terus berlanjut. Fenomena penculikkan, penahanan, penangkapan, pengejaran, pemerkosaan, pembunuhan, penembakan dan lainnya masih eksis terjadi di bumi Papua. TRIKORA, adalaha ultimatum bagi intelejen. Melalui TRIKORA Papua sudah berstatus darurat militer, seperti adagium klasik latin “Necessitas Ante Rationem Ets”, Papua menjadi kota tak bertuan, setiap nyawa dan darah yang tumbang di sana adalah halal demi trofi nasional interest (kedaulatan, integrasi NKRI).

Keempat, Era Orde Baru (Soeharto). Keadaan semakin menggila, tidak ada sama sekali ruang kebebasan berekspresi bagi Papua, jangankan di Papua yang memang wajar dilakukan, di luar Papua yang notabene aman-aman saja juga menjadi santapan tatapan ganas rezim otoriter Soeharto.

Kelima, Era Reformasi Demokrasi (Habibie dan Gus Dur). Angin sejuk mulai berhembus, orang bisa begerak dan berjuang menuntut hak penentuan nasip sendirinya. Era B.J. Habibie dan Gus Dur, ruang demokrasi dan HAM bagi Papua mulai terbuka. Operasi Intelejen tidak lagi terang-terang refpresif miteristik, operasinya mulai berubah menjadi Operasi Cerdas dan Lunak, tidak Keras, apalagi Kasar.

Melalui kebijakan Otonomi Daerah yang berlangsung dari 1989 sampai awal 2000-an itu cukup menyebabkan “budaya ketergantungan absolut” di kalangan bangsa Papua, jangankan orang kecil, banyak orang-orang besar di sana juga yang menjadi “budak uang dan jabatan NKRI”.

Penulis melihat salah satu dosa politik oragnisasi lembaga perjuangan bangsa Papua, dalam hal ini Dewan Presidium Papua (DPP) era Tehys Hiyo Eluay adalah dengan meneri “100 juta” dari kolonial Indonesia, “Uang Darah dan Tanah OAP” itu sudah melilit siklus dan orientasi pergerakan, perlawanan, dan perjuangan bangsa Papua tidak terlepas bebas lagi jebakan betman NKRI, sehingga semua upaya yang diagalang oleh bangsa Papua untuk menuntu self determination itu selalu saja mudah dipatahkan oleh NKRI dan sekutunya, tentunya ini adalah prestasi dari para klandestin lokal NKRI dan boher-bohernya yang ada di dalam tubuh perjuangan bangsa Papua itu sendiri.

DGR (Dewan New Guninea Raat) era telah pupus, DPP juga sama, NRFPB juga terancam tenggelam (Kolaps), ULMWP juga tak terlepaskan dari cengkeraman para boher-boher klandestin Intelejen NKRI, Amerika dan kroni-kroninya, OPM masih eksis karena TPNPB selalu membunyikan tembakan revolusinya secara militant, murni dan tanpa bersikap kooperatif-akomodatif dengan musuh, beda dengan pergerakan sipil dan diplomat yang mudah terjebak jebakan-jebakan betman dan rancau-rancau spiderman NKRI dan bower-bower kolonial-kapitalistiknya. Tapi bukan bukan berarti TPNPB-OPM lolos dari rancau operasi klandestin, ada oknum-oknum tertentu yang tampil sebagai informan, “orang dalam” NKRI dalam tubuhnya.

Kelima, Era Otsus Jilid I (Megawati). Roh, Spririt, Marwah, dan atau “arke nasionalisme dan patriotisme bangsa” sudah hilang lenyap ketika isu Papua Merdeka digadai oleh tokoh-tokoh Papua sendiri yang tidak lain tidak bukan adalah “Klandestin Penjajah” dengan “gula-gula Jakarta” atau “kue Otsus”. Dari sinilah, bahkan jauh sebelumnya Isu Papua merdeka juga sudah menjadi “komoditas bisnis dan status quo”.

Banyak orang dan organ yang memanfaatkan isu Papua sebagai “Batu Loncatan Karir dan Profesi”. Militer Indonesia juga menjadikan Papua dan manusia-manusia kritis-profetisnya sebagai “ladang bisnis kenaikan pangkat”, mereka bunuh manusia dan alam Papua hanya untuk cari bintang pengahargaan, jadi pahlawan kesiangan bahkan kemalaman, cari jabatan kenikmatan semu yang menghancurkan eksistensi bangsa lain.

Keenam, Era SBY. Pendekatan Jakarta ke Papua semakin mengalami transformasi seiring pergantian pemimpin, tapi yang harus diketahui adalah bahwa siapa pun pemimpinnya, apa pun latar belakangan, wakak dan otaknya atas manusia dan alam Papua selalu satu dan sama seperti dalam “bab 1”, bahwa Papua dianeksasi ke dalam Pangkuang NKRI oleh Seokarno, F. Kennedy, Bunker, Belanda, PBB, dan Roma tidak lai  dan tidak bukan hanya untuk memuluskan Agenda Perburuan Harta Karun di Papua.

SBY lebih mendekati Papua dari sisi pembangunan. Karena Otsus secara kelaparan diperebutkan oleh tokoh-tokoh Papua, maka terjadi transformasi konflik Papua, dari yang tadinya tuntutan atas hak penentuan nasip sendiri kini menjadi hanya masalah domestik toh, masalah perut, masalah kampung tengah yang lapar dan haus jabatan serta uang (mamon) darah dan nyawa semua tulang-belulang bangsa dan tanah Papua dari Pra-Aneksasi sampai sekarang. Jakarta menedekati Papua dengan jalan uang, jabatan, pembangunan dan kesejateraan.

Ketujuh, Era Jokowi.  Jokowi lebih mengkkristalisasi dan meradikalisasi pendekatan pembanguan dan kesejateraan di Papua. Jokowi malah memotong-motong Papua ke dalam lima Provinsi, ada tambahan tiga Daerah Otonomi Baru yang dimekarkan, rencanya Papua akan diiris-iris lagi menjadi tujuh Provinsi sesuai pesebaran wilayah adat yang hemat penulis sangat ambruadul dan takaruan dibabak oleh BIN NKRI, seperti para antroplog, sosiolog dan geolog gadungan cum benturan dalam Tim Kajian Tujuh Wilayah Adat, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan yang ada di dalamnya. Jokowi sangat apik memainkan “politik softex” di Papua, mencuci nama baik negara yang menjajah manusia dan tanah Papua secara brutal itu.

Kedelapan, hemat penulis semua pendekatan konflik yang ditelurkan oleh para pemimpin bangsa di atas itu sama sekali tidak satu pun yang menjawab pertanyaan kenapa orang Papua mau merdeka? Kenapa ada upacara pengibarang Bendera Bintang Kejora pada setiap kali tanggal 1 Desember? Kenapa ada tuntutan Referendum di Papua? Kenapa ada konflik senjata antar TPNPB-OPM versus TNI-POLRI di Papua? Kenapa selalu saja ada peristiwa penembakan dan pembunuhan warga sipil dan aparat keamanan dan pertahanan negara di Papua? Pemerintah selalu memaki penedekatan Hukum, melalui peradilan makar, separatis, kriminal, dan pasal subeversi lainnya.

Pemerintah juga menggunakan pendekatan pembangunan dan kesejateraan, melaui Otonomi Khusus (Otsus) yang kini sudah diplesetkan menjadi Otonomi Kasus, jadi mana mungking kasus menyelesaiakn kasus? Ada juga kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran, juga seperti munkang menjadi solusi tapi polusi, bahkan DOB sudah diplesetkan menjadi Daerah Operasi Baru, sehingga sekali lagi masah operasi mau mengoperasi diri sendiri? Catatan Kritis dan Beberapa Rekomendasi Mengakhiri tulisan ini ada beberapa ihwal penting yang hemati penulis penting untuk diperhatikan oleh orang asli Papua guna melawan dan membumihanguskan operasi intelejen di Papua dewasa ini;

Halaman selanjutnya >>>
Siorus Degei
Latest posts by Siorus Degei (see all)