Memikirkan Masa Depan Anak-Anak

Celakanya, ini tidak terbatas pada ekonomi melainkan berpotensi mencakup semua bidang koneksi sosial dan menentukan skor kepercayaan, empati, dan kapasitas emosional seseorang terhadap sesamanya (bandingkan rating dan skor di platform).

Privatisasi Ruang Publik dan Ekonomi Reputasi

Mitos liberalisme adalah bahwa ruang publik merupakan ruang perjumpaan yang telanjang. Tempat di mana kita bertukar tegur dan saling mengirimkan debar dari satu hati ke hati yang lain, dari satu keraguan kepada keraguan yang lain.

Romantisisme semacam itu ambruk di hadapan kenyataan yang dibuat kabur hari ini: bahwa ruang-ruang di mana penghargaan dan distribusi jasa telah diprivatisasi, untuk dianalisis demi pengembangan wawasan bisnis dan keuangan.

Keluhan Habermas bahwa ruang publik borjuis dihancurkan oleh rutinitas dan industrialisasi dari tahun 1870-an tidak lagi berlaku untuk realitas baru ini, di mana kekacauan, keriuhan, fragmentasi, dan pengaruh tidak terduga gelombang budaya sekarang menjadi norma.

Disebut demikian karena hadirnya infrastruktur digital yang serba mendadak, baik sebelum maupun pasca-pandemi hari ini memungkinkan pengguna untuk berinteraksi satu sama lain, baik dalam bentuk transasksi pasar, pertukaran sosial, atau kombinasi keduanya.

Habermas dalam π‘‡β„Žπ‘’ π‘†π‘‘π‘Ÿπ‘’π‘π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘™ π‘‡π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘ π‘“π‘œπ‘Ÿπ‘šπ‘Žπ‘‘π‘–π‘œπ‘› π‘œπ‘“ π‘‘β„Žπ‘’ 𝑃𝑒𝑏𝑙𝑖𝑐 π‘†π‘β„Žπ‘’π‘Ÿπ‘’ (Cambridge, 1989) menulis bahwa pertukaran opini secara bertahap mengambil karakter publik dari pertukaran diskursif antara orang asing: akhirnya β€˜opini publik’ menjadi tanpa tubuh, fenomena otonom.

Namun munculnya platform digital membalikkan proses ini, bahwa wacana publik tidak pernah lepas dari identitas dan status pengguna yang berfungsi sebagai investasi (positif atau negatif) sebagai reputasi mereka.

Opini, penilaian, dan kritik tidak lagi akan ada dalam otonomi maupun bentuk tetapi menjadi mediator hubungan sosial dan investasi. Seperti yang diamati oleh Richard Seymur dalam π‘‡β„Žπ‘’ π‘‡π‘€π‘–π‘‘π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘–π‘›π‘” π‘€π‘Žπ‘β„Žπ‘–π‘›π‘’ (London, 2019), bahwa industrialisasi memastikan bahwa kita semua adalah selebritas.

Baca juga:

Mengapa demikian?

Ya karena dengan cara itu reputasi seseorang, mengutip apa yang sering dikatakan Wendy Brown dalam berbagai kesempatan, adalah modal. Artinya, jika reputasi adalah bentuk modal yang terakumulasi dari waktu ke waktu maka reaksi adalah mata uang investasi.

Bandingkan dimensi viralitas karena forwarding yang menelanjangi ketidakmampuan kita dalam memberikan penilaian secara otonom karena telah terlanjur bergantung pada selera massal.

Lalu di mana letak privatisasi dan monopolinya?

Jawabannya: fitur-fitur ini bergabung untuk menghasilkan jenis monopoli modal baru yang sejalan dengan kepentingan pembiayaan ekuitas di era yang dibanjiri dengan kredit murah. Apa yang dilakukan Facebook untuk jurnalisme, Spotify untuk musik, Uber Eats untuk restoran independen, dan Amazon untuk segalanya adalah bahwa mereka beroperasi dengan terlebih dahulu memprivatisasi ruang publik sebelum mengubahnya untuk ekstrasi sewa.

Ini mewakili fase baru dari apa yang disebut oleh David Harvey sebagai akumulasi dengan perampasan (π’‚π’„π’„π’–π’Žπ’–π’π’‚π’•π’Šπ’π’ π’ƒπ’š π’…π’Šπ’”π’‘π’π’”π’”π’†π’”π’”π’Šπ’π’), yaitu hanya dengan infrastruktur masyarakat sipil yang disita dan dengan cepat dikapitalisasi, start-up melakukan perampasan, tanpa intervensi langsung dari negara.

Lalu kelompok intelektual mana yang mendukung kemapanan ini?

Jawabannya: Kontribusi paling penting dari keberadaan modal platform yakni pengabaian aturan, dibangun di atas ortodoksi Mazhab Sekolah Chicago yang mengatakan bahwa selama harga tidak naik bagi konsumen, semuanya baik-baik saja.

Baca juga:

Tanpa kita sadari, sesudah Mazhab Chicago School, neoliberalisasi pendidikan terjadi di mana-mana, di sini dan sekarang (hic et nunc).

Akhirnya, izinkan saya sekali lagi bertanya: masa depan seperti apa yang akan dihadapi oleh generasi anak-anak kita?

Bacaan Lebih Lanjut:
  • Eric Alliez dan Antonio Negri. 2003. “Peace and War” dalam Theory, Culture & Society, Sage: London, Thousand Oaks, Volume 20(2): 109-118.
  • Michael Hardt and Antonio Negri. 2001. Empire. USA: Harvard University Press.
  • William Davies, The Politics of Recognition in the Age of Social Media, New Left Review 128, Maret-April 2021: 83-99.
  • Raluca Csernatoni. 2020. “New States of Emergency: Normalizing Techo-Surveillance in the time of COVID-19”, dalam Global Affairs. DOI: 10.1080/23340460.2020.1825108.
  • Henry A. Giroux. 2005. “The Terror of Neoliberalism: Rethinking the Significance of Cultural Politics. College Literature, Volume 32(1):1-19.
  • David Harvey. 2004. The β€œNew Imperialism”: Accumulation by Dispossession dalam Actuel Marx Volume 35 (1): 71-90.
  • Catatan: jika buku dan artikel di atas tidak bisa diunduh, coba pakai schi-hub (ini linknya: https://sci-hub.se/)
Hans Hayon
Latest posts by Hans Hayon (see all)