
Politik jatah preman dianggap masif dan terstruktur karena ada yang menggerakkan.
Berawal dari risetnya yang membahas tentang sejarah organisasi dan politik pencak silat membuat Ian D. Wilson makin memasuki arus perubahan sosial politik setelah tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998. Ian yang tinggal di Bandung banyak bersentuhan dengan orang-orang partai politik.
Di lingkungan ia tinggal, banyak kantor cabang partai yang mengibarkan umbul-umbul di sepanjang jalan untuk menarik perhatian masyarakat karena akan dilakukannya pemilihan dengan melibatkan banyak partai di zaman presiden BJ Habibi setelah menggantikan Soeharto.
Di zaman Soeharto pernah dilaksanakan pemilu. Hanya saja, partai yang berpartisipasi tidak sebanyak di tahun 1999. Dan pemilu di zaman Soeharto bisa dianggap hanya formalitas saja karena kita sudah tahu siapa pemenang dari pemilu tersebut.
Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, strategi dan siasat harus benar-benar terstruktur dan masif karena masyarakat sudah paham dan mengerti siapa yang benar-benar membela hak rakyat kecil. Maka biasanya dibentuk organisasi sayap partai yang berafiliasi dengan salah satu partai agar mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Dan kelompok sayap partai tersebut dibekali dengan pelatihan yang berbasis semi militer.
Banyak kemudian ormas-ormas yang bermunculan setelah rezim orde baru tumbang, memunculkan diri sebagai ormas yang membela hak-hak kaum terpinggirkan dan membela hak sendiri. Bahkan mengambil tindakan yang mengambil tugas dari para penegak hukum.
Berbeda dengan zaman orde baru yang di mana kelompok-kelompok ormas yang terbentuk diperuntukkan untuk membantu pemerintah menertibkan masyarakat yang mencoba melawan rezim saat itu. Dan pada umumnya mereka dibiayai oleh pemerintah.
Maka dalam buku Politik Jatah Preman yang ditulis oleh Ian Douglas Wilson yang diterbitkan tahun 2018 menceritakan bagaimana dan apa yang dimaksud politik jatah preman itu. Di buku tersebut mengambarkan perubahan sosial politik yang terjadi selepas tumbangnya rezim Soeharto.
Menurut Ian, ada hubungan kekuasaan negara, preman, dan pengusaha kekerasan. Yang kemudian membentuk suatu kekuatan yang dari itu bisa mendapatkan keuntungan sehingga bisa menghidupi anggotanya.
Teringat dulu kasus di Jakarta yang melibatkan preman terkenal Jakarta dalam sebuah pembunuhan. Preman-preman di Tanah Abang yang membagi wilayah kekuasaan dan biasanya mereka melakukan aksinya dengan adanya bayaran dari pengusaha kekerasan untuk menyingkirkan saingannya.
Dari tahun 1999 sampai tahun 2000-an, kasus premanisme di Ibu Kota sebagai sentral perekonomian bangsa meningkat. Hal ini dianggap dilakukan secara terstruktur atau ada kelompok besar di balik adanya geng-geng preman tersebut.
Itulah yang dimaksud Ian sebagai “Politik Jatah Preman” karena pada dasarnya gerakan itu dianggap masif dan terstruktur karena ada yang menggerakkan. Dengan metode narasi sejarah, sosiologi politik, dan etnografi.
Selain geng-geng preman, Ian juga menjelaskan adanya organisasi lokal yang tindakannya juga menyamai geng preman yang menganggap mereka harus menjaga ketertiban dan keamanan wilayah mereka. Keberadan mereka telah melekat dalam percaturan sosial politik Indonesia.
Hal ini dilakukan untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai jagoan kampung. Bahkan melakukan tindakan di luar batas dari tupoksi penegak hukum, misalnya razia tempat-tempat hiburan malam saat bulan ramadhan, main hakim sendiri dan sebagainya.
Bahkan gerakan tersebut biasanya ada yang memfasilitasi untuk menciptakan kondisi sosisal politik di Jakarta. Sehingga fokus penelitian buku yang ditulis oleh Ian Douglas Wilson ini mengambil Jakarta dikarenakan sebagai Ibu Kota yang menjadi pusat sentral perpolitikan bangsa ini.
Reformasi dan Orde Baru
Jika membandingkan kedua era tersebut, masing-masing memiliki kepiluan yang tak berujung. Zaman orde baru jika meminjam kalimat Ian Douglas Wilson yaitu jatah preman maka preman dan geng-geng itu diperdayakan oleh pemerintah sebagai alat untuk penertiban umum bagi masyarakat.
Seperti di Yogyakarta, sebuah geng yang selalu meresahkan warga dihabisi oleh milisi (preman) orde baru yang sampai saat ini masih menjadi misteri. Berbeda dengan reformasi, para preman dan geng-geng bermunculan karena untuk membentuk kekuatan sosial yang itu untuk melegetimasi kelompoknya berdasarkan wilayah, mereka tak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
Menurut Ian Douglas Wilson, mereka juga berhasil menjadi perantara antara politik informal jalanan dan politik formal parlemen.
Dan biasanya jasa mereka digunakan dalam perpolitikan Indonesia untuk menjadi pengawal maupun melaksanakan tugas yang lebih ekstrem. Sebuah contoh kasus saat Kongres PAN di Kota Kendari penulis melihat sendiri bagaimana jasa mereka digunakan untuk mengacaukan musyawarah tersebut. Bahkan saling serang dan memukul satu sama lain. Hal ini menurut Ian Douglas Wilson akan memengaruhi masa depan kehidupan sosial politik di Indonesia.
- Masihkah Mahasiswa Menjadi Kekuatan Masyarakat Sipil? - 28 September 2023
- Autentikasi Organisasi Mahasiswa Islam - 4 Juli 2023
- Artificial Intelligence: Eksistensi Manusia yang Terancam - 17 Juni 2023