
Nalar Politik – Memutus diskriminasi simbolik kepada perempuan menjadi agenda bersama yang patut dicanangkan. Makin maraknya kasus kekerasan dan eksploitasi perempuan, mulai dari secara politik, ekonomi, budaya, hingga agama, membuat upaya ini kian mendesak.
Melalui artikelnya di Kompas edisi 24 Desember 2021, Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Purnawan Andra, menyebut revisi sisi kontekstualitas spirit perayaan Hari Ibu bisa menjadi titik mula. Bahwa para ibu dan calon ibu yang kerap tak berdaya dijadikan objek kekerasan oleh lelaki dalam sebuah ketidakseimbangan relasi kekuasaan adalah pelecut mengapa ikhtiar memutus diskriminasi simbolik kepada perempuan itu makin diperlukan.
“Helene Cixous, tokoh feminis Prancis, menyebut bahwa selama ini telah terjadi kemapanan cara berpikir lelaki yang didasarkan pada oposisi biner. Konsep ini membagi dunia dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik atau lebih buruk dari yang lain,” jelas Purnawan.
Ia khawatir oposisi yang merupakan struktur tak disadari itu makin terproduksi menjadi mitos dan kebenaran mutlak, lalu dianggap sebagai sesuatu yang natural dan dipakai dalam struktur kesadaran pengetahuan. Apalagi struktur oposan yang asimetris dalam wacana ataupun pemahaman terhadap masyarakat dan dunia ini memang sudah menghasilkan mitos siapa yang berhak menindas dan siapa yang boleh ditindas.
Tak ayal ketika perempuan masih berada dalam dunia yang telah didefinisikan lelaki, dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan lelaki. Banyak terminologi yang terjebak pada ide oposisi biner yang arahnya menjadi bentuk penindasan baru.
“Dikotomi ini menjadi simplifikasi yang menyesatkan, terutama apabila selalu berkorelasi dengan hierarki kekuasaan. Padahal, hubungan mayoritas-minoritas, misalnya, tidak selalu berkorelasi dengan kekuasaan, tapi bisa saja hanya merupakan perbedaan.”
Purnawan meninjau konsep budaya dan garis tradisi yang melulu diterjemahkan dengan menempatkan lelaki lebih sempurna daripada perempuan, sehingga perempuan berada dalam posisi “pelengkap” lelaki. Misalnya, kisah superioritas lelaki atas perempuan yang kerap ditafsirkan dari cerita penciptaan manusia dalam Kitab Suci.
Cerita yang lazim disampaikan: Adam diciptakan terlebih dulu dan Hawa diciptakan darinya. Jadi, Adam adalah kreator Hawa, dan Hawa diciptakan untuk membantu Adam. Secara sosial dan moral, Adam lebih superior karena Hawa menjadi sebab mereka dikeluarkan dari surga.
“Implikasinya pada kehidupan nyata, dari ketika gerakan emansipasi lahir hingga kini, kekerasan yang menempatkan perempuan secara subordinat tetap belum lenyap, baik berupa fisik, emosional, maupun seksual. Pelecehan seksual yang juga menjadi kekerasan emosional berupa siulan, colekan, omong jorok, komentar iseng terhadap perempuan terjadi di dunia nyata dan maya. Hampir setiap hari kita membaca berita pelecehan seksual pada perempuan terjadi di kantor, kampus, bahkan pesantren.”
Banyaknya kasus yang terjadi belakangan ini, bagi Purnawan, membuktikan ruang privat, seperti rumah sendiri, pun bisa menjadi ancaman. Bahwa kejahatan seksual yang terjadi kepada perempuan justru dilakukan oleh orang dekat dalam keluarga, orang yang dihormati secara intelektual ataupun orang yang disegani secara agama.
Baca juga:
“Ironisnya, masyarakat justru cenderung menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual, misalnya karena bertubuh sintal, memakai pakaian yang menggoda, keluar malam, berada di tempat sepi, suka sama suka, dan sebagainya.”
Hal ini, jelas Purnawan, menegaskan pemikiran Foucault (2004) bahwa wacana seksualitas memang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Dalam hal ini, seksualitas tak semata memandang relasi gender lelaki dan perempuan hanya dari sisi seks, berahi, atau tubuh, tetapi juga konstruksi sosial, politik, budaya, bahkan tuhan.
Melanjutkan pandangan Foucault tersebut, Purnawan melihat seksualitas bukan tentang seksualitas an sich, tetapi menciptakan mode seksualitas yang mewujud sebagai formula diskursif atau pengetahuan tentang seksualitas dan hubungan antara kekuasaan pengetahuan.
“Kekuasaan Foucaldian menunjukkan bahwa kekuasaan dalam relasi dengan seksualitas lebih merupakan tatanan disiplin serta kehendak untuk mendudukkan peran subjek dan objek.”
Sebagai akibat, aparat ideologi yang tumbuh dalam struktur masyarakat, baik yang berwujud tokoh, kegiatan, maupun teks, dilihat masih bernapaskan patriarki. Sekolah, buku-buku pelajaran, media massa, hukum, pesantren, dai, dan sebagainya disinyalir menjadi basis logika simbolik yang digunakan oknum pelaku kejahatan seksual untuk melakukan aksinya pada korban.
“Hal ini yang terjadi pada kasus pelecehan seksual di kampus, predator seks HW di Jawa Barat, dan bunuh diri NW di Jawa Timur.”
Karena itu, konsep berpikir yang pernah dikembangkan lewat organisasi semacam Dharma Wanita dan PKK pun dianggap perlu direvisi. Bahwa istri adalah pendamping suami dan tiang rumah tangga/profesi/negara berkat peranannya sebagai pengasuh anak dan pelayan/pendamping yang baik bagi suami ditegaskan sebagai pelestarian konsep feminitas tradisional yang timpang dan tidak akomodatif terhadap aktualisasi potensi perempuan.
“Negara mestinya segera membahas RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang melindungi para ibu dan calon ibu karena kebutuhannya kian mendesak. Kita perlu memiliki kepekaan dalam melihat bentuk-bentuk artikulasi simbolik, yang dianggap berpotensi mendiskriminasi para ibu dan calon ibu.”
Kesadaran tersebut, menurut Purnawan, penting untuk menjadi elemen resistensi, metode analisis, dan alat perjuangan bagi perempuan untuk selalu mempertanyakan di mana, kapan, dan bagaimana patriarki tampil.
“Lelaki dan perempuan memang berbeda, tetapi secara substansial dan kebijakan sama. Yang penting adalah bagaimana agar para ibu dan calon ibu nyaman menjalani fitrahnya yang memang berbeda dengan lelaki tanpa diskriminasi sehingga berhasil membuat konstruksi sosial-masyarakat yang saling menghormati, responsif, dan harmonis.” [ko]