Romantisisasi di satu sisi akan memberikan alur pembahasan yang lebih mudah diterima masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena suatu upaya romantisisasi akan memanfaatkan metode atau bahasa-bahasa awam yang mudah diterima. Kesadaran yang coba dibentuk dengan menggunakan pendekatan yang lebih umum akan mempermudah suatu masalah dimengerti oleh masyarakat.
Akan tetapi, romantisisasi juga berdampak pada suatu permasalahan yang sama peliknya dengan upaya pengenalan—masalah ini timbul dan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu dengan dasar, bahwa masalah psikologis lebih sulit terdeteksi karena tidak akan menunjukkan bukti yang konkret apabila tidak terekspresikan dalam bentuk praksis. Kita tidak dapat mengatakan seseorang mengalami kegilaan apabila ia tidak menunjukkan kegilaannya melalui tindakan-tindakan di luar norma-norma sosial.
Masalah yang Belum Terselesaikan
Masalah psikologis, mental, atau kata apa pun yang merepresentasikan tentang problem-problem di dalam diri manusia merupakan hal yang sekiranya perlu diperhatikan. Meski, tidak banyak orang yang mengerti tentang cara terbaik untuk mengatasinya—kita akan menemukan berbagai macam gagasan dan sudut pandang yang bisa jadi saling berkontradiksi.
Setelah kita mencoba menelusuri kemungkinan penyalahgunaan isu-isu kesehatan mental, setidaknya kita perlu menjadi mawas diri dengan menitipkan rasa curiga di dalam pemikiran kita, bahwa segala sesuatu harus diverifikasi dengan data atau analisa sederhana yang mudah dimengerti.
Terdengar cukup positivistik, namun urgensi dari perolehan informasi sangatlah tinggi dibandingkan dengan diagnosis sepihak. Ketika kita hendak beranjak dari pola dari mitigasi permasalahan psikologis yang sudah terkesan baik dalam mengedukasi masyarakat, kita tidak boleh terlalu mempercayakan hal tersebut secara utuh, bahwa di dalam setiap aktivitas akan terdapat kemungkinan-kemungkinan penyelewengan isu secara struktural atau acak.
Masalah utama yang akan sulit terselesaikan adalah kepercayaan masyarakat pada self-diagnose dengan memanfaatkan internet sebagai dasar diagnosanya. Tentu saja, fakta tersebut tidak jarang kita jumpai, beberapa di antaranya menganggap sumber di internet secara keseluruhan kredibel.
Mereka tidak memperhatikan dari mana informasi tersebut diterbitkan. Bahkan mereka dengan sengaja menuliskan simtom tertentu yang akan memunculkan jenis penyakit tertentu—bisa jadi dan potensi untuk kekeliruan sangat besar—padahal hasil atau kesimpulan klinis hanya dapat dikeluarkan lembaga tertentu melalui uji klinis dan penelurusan yang bersifat ilmiah atau medis.
Tindakan ini—secara gamblang—harus dihindari agar tidak menimbulkan kesalahan-kesalahan atau meminimalisir peluang masyarakat untuk menerima seseorang yang mengklaim dirinya mengalami permasalahan psikologis tanpa adanya bukti klinis.
Baca juga:
Tidak baik bagi lingkungan untuk menerima seseorang yang mencoba memanipulasi keadaan agar terkesan sebagai seseorang yang diselimuti oleh iklim psikologis yang buruk dengan maksud tertentu—bertujuan untuk dikasihani, mendapat pengecualian atau untuk dalih aksi kriminalitas.
Kita perlu menaruh rasa curiga terhadap seseorang yang melakukan self-diagnose. Untuk mengatasi masalah ini, masyarakat dapat memberikan solusi agar ia dapat memverifikasi fakta yang sebenarnya terjadi melalui para praktisi atau lembaga resmi yang akan memberikan diagnosa yang lebih akurat.
Referensi:
- Center for Disease Control and Prevention. 2021. Mental Health. U.S Department of Health and Human Services: United States;
- WorldHealth Organization. 2022. Mental health: strengthening our response.
- Fernanda, Ericha. 2021. Mengenal Factitious Disorder, Gejala Pura-Pura Memiliki Gangguan Mental. Kompas.
- Machiavelli. 2020. Sang Penguasa. Yogyakarta: BASABASI
- Anindyaputri, Irene. 2021. Pura-pura Sakit? Bisa Jadi Anda Mengidap Sindrom Munchausen. Hallo Sehat.
- Ludwig Feuerbach: Proyeksi Ketuhanan dan Penderitaan - 13 Maret 2023
- Beberapa Perspektif Utopia Marxisme - 12 Februari 2023
- Kriminalitas dan Determinisme Ekonomi - 21 Januari 2023