Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan
©Dreamstime

Ada sikap-sikap yang bisa jadi acuan manusia dalam mencari kebahagiaan.

Kebahagiaan memang sesuatu hal yang diinginkan oleh semua orang. Menurut mereka, hidup tanpa ada rasa bahagia itu tidak ada artinya. Sehingga meraka rela mengorbankan segala-galanya demi kebahagiaan itu sendiri.

Secara garis besar, kebahagiaan merupakan ekspresi atau semacam sikap kenyamanan, kecintaan, dan ketenangan dalam hidup. Sikap-sikap ini tentu menjadi acuan dari manusia sendiri dalam mencari kebahagiaan. Misalnya, ketika manusia menemukan kenyamanaan dalam hidupnya, berarti dia sudah menemukan kebahagiaan yang dicarinya. Begitu seterusnya.

Namun, dalam perspektif yang berbeda, seperti yang Arkoun kemukakan, ia mencoba mendefenisikan kebahagiaan dengan menghubungkan filsafat dan realitas kehidupan manusia. Karena, selama ini menurut Arkoun, kebahagiaan hanya sebatas utopis belaka bagi manusia. Kebahagiaan yang dicari manusia ternyata gagal dalam mendidik manusia menjadi manusia seutuhnya. Iming-iming kenyamanan, kecintaan, dan ketenteraman ternyata hanya sebatas fatamorgana.

Muhammad Arkoun mencoba menawarkan bagi manusia yang hendak mencari kebahagiaan supaya terlebih dahulu mengetahui apa defenisi kebahagiaan itu sendiri. Menurut Miskwaih, pendapat yang Muhammad Akoun kutip, bahwa kebahagiaan itu merupakan wujud akhir dari kebajikan itu sendiri. Yang artinya, ketika manusia sudah menemukan kebahagiaan, berarti manusia yang bersangkutan sudah sampai puncak kebajikan.

Selanjutnya, Miskawaih mengatakan kebajikan itu sendiri terdiri dari kebajikan ruhani dan jasmani. Kedua bentuk kebajikan ini tentu diraih dengan kadar yang sudah ditentukan masing-masing.

Untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, tentu manusia harus memenuhi kedua unsur tersebut. Kalau tidak, bisa terjadi ketimpangan antara salah satunya, sehingga tidak berjalan normal seperti apa yang jadi harapan.

Problematika yang manusia alami saat sekarang ini cenderung salah tafsir ketika menerjemahkan makna kebahagiaan. Terlalu materialistis, sehingga kebahagiaan yang terasa tidak begitu nikmat. Apa penyebabnya? Padahal segala sesuatunya mereka sudah punya, mulai dari kebutuhan sekunder, primer, maupun tersier.

Dapat kitz katakan, salah satu penyebab manusia belum menemukan kebahagiaan itu adalah ketimpangan pada pemenuhan kebutuhan ruhani dan jasmani. Karena pada dasarnya, menurut Harun Nasution, kedua unsur, baik jasmani maupun ruhani, sama-sama membutuhkan makan. Jasmani makan dengan hal yang bersifat materil, seperti nasi, minum, lauk, dan lain-lain. Sedangkan kalau ruhani makan dengan hal-hal yang sifatnya spiritual.

Baca juga:

Ketika salah satu dari kedua unsur ini tidak terpenuhi kebutuhannya, maka secara otomatis manusia akan merasakan kebahagiaan yang tidak seimbang. Misalnya, ketika manusia itu hanya memperhatikan jasmani saja, dan mengabaikan ruhani, maka akan timbul rasa tidak nyaman dengan hidup dan cenderung tidak puas terhadap apa yang ia peroleh.

Ketidakpuasaan inilah yang selalu menjadi masalah yang manusia alami. Padahal berbagai usaha terupayakan untuk menutupi ketidakpuasaan ini. Tapi kembali lagi, apakah memang sifat dasar manusia yang tidak pernah puas? Ataukah jauhnya spritualitas dari kehidupan manusia, sehingga sulit untuk bersyukur?

Kebahagiaan sesungguhnya memang sulit untuk menggambarkan bagaimana bentuk konkretnya, karena setiap manusia pasti memiliki pemahaman-pemahaman secara personal mengenai kebahagiaan.

Misalnya, si A berlibur itu membahagiakan, sedangkan si B mengatakan berlibur itu biasa-biasa saja, tidak ada yang menarik. Terus bagaimana menemukan kebahagiaan ketika masing-masing orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap kebahagiaan? Apakah kebahagiaan tidak bisa kita temukan di dunia fana ini, atau malah sebaliknya?

Di dunia yang fana ini, bisa jadi manusia tidak akan merasakan kebahagiaan, seperti di akhirat kelak yang dalam beberapa literatur terjelaskan sebagai kenikmatan atau kebahagiaan yang hakiki. Namun setidaknya, manusia memanfaatkan kehidupannya di dunia ini untuk merasakan kebahagiaan sebagai bentuk rasa syukurnya pada Tuhan.

Kebahagiaan akan bisa dirasakan oleh orang yang mengalaminya saja. Karena ini merupakan pengalaman personal. Jadi antara manusia yang satu dengan yang lainnya bisa jadi memiliki pengalaman yang berbeda mengenai kebahagiaan. Oleh karena itu, kita tidak bisa menjadi hakim atas kebahagiaan orang lain. Biarkan mereka menikmatinya sendiri, asalkan itu tidak memberikan dampak negatif bagi lingkungan.

Arkoun sebagai seorang cendekiawan muslim menawarkan semacam alternatif bagi mereka yang sedang mencari kebahagiaan, agar tetap memperhatikan aspek jasmani dan ruhani. Dua unsur ini merupakan modal utama untuk dapat menikmati kebahagiaan yang kita harapkan.

Arkoun mencoba menawarkan apa yang selama ini membuat sebagian manusia resah terhadap kehidupannya. Keresahan inilah yang akan terus menghantui manusia kalau belum menemukan kebahagiaan yang ia inginkan.

Baca juga:

Oleh karena itu, bagi kalian yang masih sibuk mencari atau sulit untuk menemukan kebahagiaan, cobalah perhatikan penjelasan di atas. Mungkin ini bisa jadi referensi dalam upaya menggapai hakikat kebahagiaan sesungguhnya. Karena kebahagiaan sesungguhnya datang dari usaha yang sungguh-sungguh.

Tentu saja, dengan tetap merawat dan memperhatikan aspek-aspek jasmani dan ruhani. Keduanya adalah unsur dalam manusia yang harus terpenuhi. Jika ada yang tidak terpenuhi, maka selamanya manusia akan mencari kebahagiaan itu sendiri tanpa pernah merasakan kebahagiaan sesungguhnya.

Latest posts by Hardi (see all)