Serangan fajar yang nominalnya sejauh ini paling tinggi 300 ribu rupiah memang tidak dapat menyejahterakan masyarakat secara berkelanjutan. Namun setidak-tidaknya dapat membuat mereka memasuki supermarket-supermarket berbelanja bebas meski hanya sehari.
3) Politik uang marak terjadi sebab masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada para politisi. Betapa pun indahnya kata-kata janji manis para caleg (calon legislatif) pra-pemilu, seolah mereka menyatu dengan rakyat, tapi toh pasca-pemilu mereka lantas segera memisahkan diri dari rakyat yang sangat berjasa mengangkatnya jadi orang besar.
Mereka mulai akrab dengan gaya hidup yang khas elite, serta sudah sibuk dengan agenda-agenda politiknya sehingga berujung pada pengabaian rakyat. Dengan demikian, kepercayaan rakyat sudah lumpuh total pada para politisi. Dan tidak sedikit dari mereka yang tidak korup.
Rakyat juga takut tertulari dosa jariyah akibat ulah para politisi yang akhirnya melakukan korupsi itu. Kenapa? Karena rakyatlah yang memberinya jabatan yang lalu memungkinkannya untuk korupsi.
Selain itu, rakyat pun telanjur minder karena merasa dirinya bodoh dan bisa dibodohi. Ketidaktahuan rakyat terhadap prosedur pemerintahan membuat mereka ingin terima beres. Artinya, mereka ingin mendapat serangan fajar. Hal ini terjadi lantaran ulah politisi-politisi sendiri.
Dari awal terselenggarakannya pemilu pada 2004, rakyat sebenarnya belum sama sekali mengenal politik uang. Mereka malah datang ke TPS untuk memilih secara sukarela. Namun demikian, para politisi setelah terpilih itu mengkhianati rakyat, bahkan berkolusi dengan para pejabat eksekutif melakukan korupsi secara masif dan terorganisasi.
Maka sudah sepantasnya rakyat menjadi manja sehingga mau terima beres saja dengan menerima amplop serangan fajar. Sekali lagi, mereka adalah mayoritas bodoh alias tidak tahu menahu soal prosedur pemerintahan.
Pengajuan-pengajuan proposal untuk memperoleh proyek-proyek pemerintah hanya dapat orang-orang yang tergolong pintar lakukan. Golongan orang-orang pintar ini tak lain adalah orang-orang yang bertindak selaku tim sukses para politisi itu.
Dengan demikian, rakyat telah mengambil kesimpulan bahwa yang untung dalam demokrasi pada akhirnya ialah orang-orang pintar alias kaum elite itu sendiri. Rakyat hanya terjual namanya di setiap pengerjaan proyek-proyek.
Sebab proyek tak dapat terlaksana tanpa atas nama kehendak rakyat. Namun kehendak rakyat mereka manipulasi sedemikian rupa sehingga proyek-proyek itu dapat terealisasi. Sebab rakyat biasanya langsung kaget saja menerima program yang tiba-tiba berjalan yang tak mereka ketahui apalagi setujui.
Baca juga:
4) Keempat, dan terakhir, yakni faktor kebudayaan. Kita orang Indonesia, khususnya yang mendiami pulau Sulawesi, sebetulnya sudah memiliki budaya politik uang. Maksudnya, praktik politik uang sebenarnya telah para leluhur kita lakukan. Jadi, budaya kita sesungguhnya pun membenarkan politik uang.
Perhatikanlah resepsi-resepsi pernikahan di masyarakat kita. Praktik pemberian amplop adalah wajib jika kita ikut merayakan hari pernikahan teman atau saudara. Bahkan secara spesifik terjadi pada prosesi sentuhan pertama oleh mempelai lelaki terhadap mempelai perempuan di mana mempelai lelaki wajib memberi amplop yang berisi rupiah kepada pemegang kunci kamar mempelai wanita sebelum melangkah masuk ke kamar untuk melakukan sentuhan pertama.
Perlu kita ketahui, budaya adalah cara manusia mengatasi alam lingkungannya. Konstruksi rumah bermodel panggung oleh orang Sulawesi konon menyiratkan betapa dahulu di wilayah ini merupakan langganan banjir dan kemungkinan untuk menghindari bahaya binatang buas.
Ya, itulah budaya. Cara manusia mengatasi alam lingkungannya (Achmad Chodjim, dalam bukunya “Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”, 2007).
Karena itu, praktik pemberian amplop bukanlah sesuatu yang buruk. Ia merupakan budaya yang telah leluhur wariskan. Ia dapat berperan sebagai perekat antar keluarga dan masyarakat.
Keluarga yang tergolong kaya, bila berkunjung ke keluarganya yang tergolong miskin, setidak-tidaknya mesti memberikan sejumlah rupiah kepada mereka yang sudah pasti sangat membutuhkannya. Itulah nilai kearifan budaya. Dan di sini budaya politik uang ambil bagian sebagai alat untuk mengatasi persoalan sosial.
- Menelisik Akar Politik Uang - 8 Oktober 2019
- Zaman Media: Kemajuan Sekuler, Kemunduran Spiritualitas - 11 Januari 2019
- Hadji Murat, Karya Terakhir Leo Tolstoy - 7 Juli 2018