Mengapa Puncak Kekesalan Seiring Puncak Kenikmatan Politik?

Sudah tentu, ‘puncak kekesalan’ datang dari puncak kuasa negara diharapkan juga menandai pulihnya harga minyak goreng di pasaran. Suatu keadaan di mana minyak goreng curah dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14 ribu per liter bisa dinikmati oleh rakyat dalam suasana suka cita tidak terkira atau petani sawit tidak menjerit lagi.

Sekarang, kita akan mengatakan ‘tidak’ pada permainan dari pengusaha atau pihak tertentu, yang mempertaruhkan nasib 17 juta tenaga kerja, dari petani itu sendiri yang bergantung pada industri minyak sawit dalam negeri. Kita masih perlu menunggu pembuktian dari penyelenggara negara.

***

Sedikit berkenaan tarian di atas puncak kenikmatan politik ditandai dengan mulainya partai politik mengusung dan menyosialisasikan calon presiden dan terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang dinilai sekadar manuver dan skenario pemilu mendatang.

Dunia politik akan selalu hidup mengalir karena skenario dan manuver. Atas alasan konflik kepentingan atau kepentingan itu sendiri, skenario dan manuver politik bisa dibentuk sedemikian rupa dengan seni atau teknik yang dirancangnya.

Sesungguhnya agak lucu saat keseringan orang menanggapi manuver sebagai bagian dari demokrasi. Bermanuver politik melalui mekanisme hasrat yang mengalir bebas keluar perlahan-lahan menuju puncak kenikmatan.

Makin tajam manuver politiknya, maka makin menukik pula kenikmatannya tanpa desahan, tanpa lirikan mata, dan tanpa gejala tubuh fisik lain. Nyata politiknya adalah kenikmatan nyata yang berlipat ganda. Di tingkat atas orgastik, di tingkat bawah ogahan.

Karena hasrat menandai puncak kenikmatan politik, maka di balik mekanisme politik biasa menjadi mekanisme luar biasa. Regulasi sebagai mekanisme atau instrumen kuasa negara untuk membawa rangsangan kenikmatan politik di ruang publik yang terbuka dan berbeda.

Alasan dari hampir setiap pembicaraan kita tentang politik, bahwa Pemilu sisa dua tahun. Kita mungkin akan melihat tanda-tanda menuju puncak kenikmatan politik saat riuh berbicara tentang siapa calon presiden dan wakil presiden yang ditampilkan di hadapan publik.

Baca juga:

Itu masih cara umum untuk menentukan apa yang menjadi dorongan dari kenikmatan politik sebelum mencapai titik puncak. Karena siapa saja yang telah memahami puncak kenikmatan politik tidak menyentuh kesadaran, seperti panas terasa di tangan saat menyentuh sekeping besi yang seseorang letakkan dekat api membara di atas kompor gas.

Kenikmatan politik memilih dirinya sendiri sebagai dorongan “di luar kesadaran.” Tentu saja, setiap orang tidak dipaksa menyentuh puncak kenikmatan politik. Karena setiap orang bisa menunda dan bisa menyalurkan pemuasan kenikmatan bersifat abstrak, yang menjadikan sesuatu dinikmati.

Belum setengah perjalanan sosialisasi, sebagian besar elite politik sudah berada di puncak kenikmatan, apalagi mendekati hari Pemilu 2024. Begitulah puncak kenikmatan berlapis-lapis dan bertumpang-tindih berbicara pada kita. Jika tidak, puncak kenikmatan politik datang begitu terlambat.

Orang tidak pernah mengetahui tentang puncak kenikmatan politik jika kenikmatan hanya direnggut oleh kepentingan sesaat. Justru inti kekuatan dari puncak kenikmatan politik terletak pada kata ‘senyap’, bukan ingar bingar.

Bagi kita, manuver, intrik, dan skenario merupakan hal yang lazim dalam dunia politik. Mereka tidak sekadar permainan, tetapi juga terdorong untuk memuaskan diri hingga ke puncak kenikmatan politik. Ia bukanlah jenis permainan kenikmatan yang seronok dan dangkal dengan menggunakan tubuh sebagai wilayah penjinakannya.

Setiap dorongan menuju puncak kenikmatan politik tidak bergantung pada sifat koalisi permanen atau bukan. Pembentukan koalisi selalu mengikuti kepentingan apa saja dalam rangka mencapai titik puncak kenikmatan politik.

Pilihan rakyat dalam momentum pemilu tidak mencapai sebuah perwujudan dari orang lain. Kecuali, keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik merupakan penjelmaan suara atau pilihan rakyat. Keterpilihan hanya menjadi keterpilihan itu sendiri, sekalipun partai politik membentuk koalisi.

Pengetahuan menjelaskan pada kita, bahwa subsidi dan koalisi memiliki masa akhir. Orang akan menanti keputusan berikutnya dari puncak penentu kebijakan, yang diharapkan membawa perubahan di negeri kita.

Hari ini, mata tertuju bukan pada dunia dongeng, tetapi kisah nyata yang gemilang. Dari satu puncak ke puncak lain.

Ermansyah R. Hindi