Mengenal Tan Malaka, Sang Bapak Republik

Mengenal Tan Malaka, Sang Bapak Republik
©VOI
Tan Malaka Pra-Kemerdekaan: Sebuah Ikhtisar

Berdasarkan catatan Harry A. Poeze dalam bukunya, yakni Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946 (2008), dikatakan bahwa kemungkinan tahun kelahiran Tan Malaka yakni 1894. Ia lahir di sebuah desa kecil Pandan Gadang, tidak jauh dari Suliki di Minangkabau (Sumatra Barat).

Orang tua Tan Malaka sebenarnya tergolong “bangsawan lokal”, akan tetapi kondisi tersebut tidak menghalanginya untuk mempunyai ide-ide radikal, yang berangkat dari kepekaannya terhadap kondisi-kondisi sekitar.

Semasa bersekolah di sekolah tingkat rendah, ia dikenal sebagai murid yang pandai, sehingga gurunya mempersiapkannya untuk mengikuti ujian masuk Sekolah Guru Pribumi (Inlandsche Kweekschool voor Onderwijzers) di Bukittinggi, yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan lanjutan di Sumatra. Ia lulus dan meneruskan Sekolah Guru dengan sukses pada tahun 1908-1913.

Saat itu, ada seorang gurunya yang merupakan orang Belanda, yakni G.H. Horensma, sangat tertarik pada Tan Malaka. Gurunya tersebut berusaha sebaik-baiknya untuk menempatkannya di pendidikan lanjutan di Belanda, sehingga di Belanda tersebut ia bisa mendapatkan ijazah guru. Akhirnya, gurunya tersebut berhasil mendapatkan tempat untuknya di Kweekschool yang berlokasi di Harleem. Gurunya tersebut ikut juga mengurus dana untuk belajar dan perjalanannya.

Akhir tahun 1913 sampai pertengahan 1915, ia tinggal di Haarlem. Meski terganggu oleh sakit, ia tetap bisa menyelesaikan studinya dan berhasil mendapat ijazah, tentunya dengan susah payah. Di Belanda, ia aktif dalam organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia, dan ia sendiri mempunyai ketertarikan terhadap ide sosialisme dan komunisme.

Pada 1920, Tan Malaka kembali ke Sumatra dan menjadi seorang guru. Pekerjaan itu dilakoninya untuk menutup utang-utangnya juga. Saat itu, ia ditugasi untuk mendidik anak-anak buruh di Perkebunan Senembah Deli.

Dalam buku Harry Poeze lainnya, yakni Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 (2000), dijelaskan bahwa selama menjadi guru di Deli tersebut, Tan Malaka melakukan pengamatan terhadap kehidupan para buruh. Ia menyoroti mengenai beratnya kerja para buruh yang harus bangun sejak pukul 4 pagi (karena tempat kerja yang jauh), dan baru boleh pulang pada pukul 7 atau 8 malam.

Sementara itu, upah yang para buruh terima amat tidak layak. Ia pun turut mengamati siasat kelas pemilik kebun untuk membuat para buruh agar mau untuk selalu memperbarui kontraknya ketika kontrak kerja sudah habis.

Baca juga:

Berdasarkan catatan Harry Poeze (2008), kehidupan di perkebunan pun sangat kapitalistis dan rasis. Rekan-rekan kerja Tan Malaka yang berasal dari Belanda memandang rendah dan kerapkali meremehkannya. Realitas tersebut makin memperdalam keyakinan politiknya untuk menjadi seorang komunis.

Ia pun kemudian menulis sebuah risalah, yakni Soviet atau Parlement?. Menurut Harry Poeze, ia pun terlibat sebagai aktor di belakang layar dalam peristiwa pemogokan buruh di perkebunan Belanda tersebut. Oleh sebab itu, kedudukannya makin sulit, dan pada Februari 1921, ia mengundurkan diri sebagai guru dan berangkat ke Jawa.

Singkat cerita, di Jawa, Ia tinggal di Semarang, yang saat itu menjadi pusat kegiatan Partai Komunis Indonesia. Ia sendiri terlibat dalam pendirian sekolah-sekolah dan turut menjadi pengajar.

Sebagai catatan, saat itu petinggi PKI pun masih tercatat sebagai aktivis SI (Sarekat Islam). Tan Malaka sendiri sempat menulis risalah, yang berjudul SI Semarang dan Onderwijs (pendidikan). Ia pun menyadari betapa pentingnya bagi PKI untuk terus menjalin hubungan dengan SI, karena hal tersebut akan memperbesar kemungkinan keberhasilan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda.

Di Semarang, Ia aktif melakukan perlawanan kepada kolonial. Ia terlibat dalam peristiwa pemogokan buruh pegadaian. Aktivitas dan sepak terjangnya pun dianggap oleh pemerintah Belanda membahayakan ketertiban dan keamanan, sehingga Gubernur Jenderal menggunakan Exorbitante Rachten, di mana seseorang dapat dipindahkan kediamannya tanpa melalui proses pengadilan.

Tan Malaka pun atas inisiatif sendiri mengajukan untuk ke Belanda. Setelah ke Belanda, Ia bergegas ke Moskow untuk menghadiri kongres Komintern pada November 1922.

Salah satu yang menarik di sini, yakni saat iamengajukan pandangan masalah kerja sama antara komunisme dan panislamisme, meskipun saat itu pandangannya tidak dianggap berpotensi revolusioner.

Singkat cerita, dapat dikatakan Tan Malaka adalah seorang pemikir dan pejuang yang saat itu sudah mempunyai rekam jejak internasional.

Baca juga:
Pemikiran Tan Malaka dalam Buku “Menuju Republik Indonesia”

Menurut Moh. Yamin, melalui buku Menuju Republik Indonesia, Tan Malaka disebut sebagai Bapak Republik. Hal senada diungkapkan juga oleh Sejarawan Harry Poeze (2008). Adapun buku tersebut, disebut juga Naar de “Republiek Indonesia” yang terbit pertama kali tahun 1925.

Tentu itu sangat beralasan, karena melalui buku tersebut, ia adalah orang pertama yang menuliskan cita-citanya, bahwa kelak ketika kolonialisme tumbang, maka negara yang akan didirikan adalah sebuah negara berbentuk republik.

Dalam buku tersebut, Tan Malaka menguraikan beberapa bahasan. Bahasan pertama adalah soal situasi dunia. Menurutnya, Perang Dunia I (1914-1918) telah memecah dunia antara negara-negara yang menang perang dan mengalami kekalahan, meskipun keduanya sama-sama mengalami kerugian secara ekonomi.

Bagi Tan Malaka, situasi tersebut diprediksi akan membuat kapitalisme makin berkembang. Meski di sisi lain, ia menyadari bahwa bahwa situasi dunia saat itu menyebabkan kekuataan revolusioner menghadapi kesulitan dalam menentukan sikap, yakni antara bergerak dengan perkiraan kapitalisme akan runtuh atau kapitalisme akan berkembang dalam masa damai.

Tan Malaka berpendapat, sebaiknya tidak memilih perkiraan yang mana pun; yang harus dilakukan yaitu membuat kekuataan revolusioner tidak boleh mengabaikan tentang kesadaran pertentangan kelas sosial yang bekerja pada tataran negara.

Oleh karena itu, Tan Malaka berpendapat bahwa kaum revolusioner patut memusatkan upaya untuk membentuk Partai Rakyat Pekerja dan memperkuatnya, serta turut membawa massa yang menderita di bawah pimpinan kekuataan revolusioner, dan selalu memperkuat ikatan dan meneguhkan kesetiakawanan internasional. Dalam bukunya itu, ia pun mencita-citakan terbentuknya sebuah ‘masyarakat tanpa kelas’.

Cusdiawan