
Tradisi siskamling perlu kita galakkan sebagai upaya meredam berbagai macam kabar-kabar yang tidak mengenakkan bagi Indonesia.
Di Februari ini, beberapa orang tertangkap oleh Tim Subdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim. Pada 19 Februari 2018, Tim menangkap netizen berinisial BK dan IK. Mereka tertangkap karena telah menyebarkan ujaran kebencian dan SARA pada tokoh agama dan para pejabat negeri ini, termasuk presiden.
Kemudian pada 20 Februari 2018, Tim kembali menangkap seorang guru SMA yang melakukan hal serupa. Penangkapan seorang Guru SMA di Banten ini menjadi kabar yang sangat menyayat hati bagi para pendidik di Indonesia.
Guru tersebut tertangkap karena telah menyebarkan tulisan hoax yang mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang ia unggah di Facebook itu menjadi sorotan massa dan membuat khawatir umat Islam secara keseluruhan.
Melihat para pelaku yang tertangkap, sebenarnya menunjukkan bahwa pengguna media sosial sudah pandai mengkritisi sektor politik, agama, pendidikan, kebudayaan, dan sekaligus tokoh-tokoh di negeri ini. Mereka sangat peka terhadap hal-hal yang tidak menguntungkan negeri ini, terlebih bagi diri sendiri.
Namun, sayangnya kekritisan ini tidak terlalu banyak mereka bekali dengan argumentasi yang ilmiah dan alur pembahasan yang valid. Maka, pernyataan-pernyataan yang muncul di media sosial masing-masing tidak menunjukkan kekritisannya, tetapi lebih terkesan hanya ungkapan-ungkapan emosional sesaat.
Media sosial menjadi alat untuk mempublikasi pernyataan-pernyataan yang terkesan emosional sesaat. Mereka secara bebas berselancar tanpa memperhatikan kode-kode atau simbol-simbol terlarang.
Rambu-rambu bermedia sosial yang sudah pemerintah tetapkan, seperti Undang-Undang ITE, mereka terabas begitu saja tanpa rasa bersalah. Entah apa yang ada di dalam pikirannya dan entah buku apa yang baru mereka baca, sehingga tega membiarkan dirinya mengilustrasikan ungkapan kekesalan melalui tulisan yang mengandung ujaran kebencian.
Maraknya penyalahgunaan media sosial membuat masyarakat Indonesia resah dan tidak nyaman. Oleh karena itu, tradisi siskamling (sistem keamanan lingkungan) sangat penting kita bawa pada ranah online.
Baca juga:
Tradisi siskamling perlu kita galakkan sebagai upaya meredam berbagai macam kabar-kabar yang tidak mengenakkan bagi Indonesia. Kita sudah terlalu letih untuk menyaksikan macam-macam kasus ujaran kebencian yang muncul di media sosial.
Mengingat pelaku ujaran kebencian dan penyebar kabar bohong sangat beragam, maka dalam melaksanakan siskamling ini, kita tidak bisa melakukan sendiri-sendiri tanpa bantuan orang lain. Pelaksanaan siskamling ini harus kita laksanakan bersama-sama agar tugas siskamling bisa terlaksana secara maksimal.
Kebersamaan yang terorganisasi dapat memberikan perlawanan sengit terhadap para pelaku.
Siskamling bertujuan untuk mengamankan, menertibkan, mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keamanan dalam bermedia sosial. Selain itu, siskamling juga bertujuan untuk menindak siapa pun yang melanggar norma-norma dan peraturan yang telah ditetapkan dalam bermedia sosial.
Menjaga keamanan di negara sendiri sudah menjadi kewajiban setiap individu. Jadi, siapa saja harus menjadi pelaku siskamling media sosial.
Siskamling media sosial juga bukan hanya mewujudkan keamanan, tetapi juga dapat melestarikan perdamaian sesama pengguna media sosial. Fitrah media sosial bukanlah sebagai alat penyebar berita bohong, ataupun ujaran kebencian, tetapi sebagai alat komunikasi dan penghimpun informasi.
Dengan memaksimalkan fungsi media sosial yang sesungguhnya, masyarakat Indonesia bisa melestarikan perdamaian Indonesia dengan maksimal. Harapannya adalah tidak ada lagi netizen yang menyalahgunakan fungsi media sosial, kemudian berbondong-bondong menjadi penggerak tradisi siskamling media sosial secara utuh.
Baca juga:
- Menggerakkan Tradisi Siskamling Media Sosial - 23 Februari 2018