Menggugat Pemikiran Para Filsuf

Menggugat Pemikiran Para Filsuf
©Pixabay

Walaupun kita dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para filsuf dan tokoh intelektual, tetap saja kita yang merumuskan pemikiran kita sendiri.

Beberapa waktu lalu, saya membaca buku Peran Intelektual karya Edward W. Said, seorang pemikir dan punya spesialisasi dalam sastra, khususnya kritik sastra. Beliau dulunya merupakan profesor Sastra Inggris di Columbia University.

Perkenalan saya dengan Edward W. Said membawa saya secara lebih jauh dan mendalam ingin menggumuli pemikiran Jean-Paul Sartre dan Noam Chomsky. Hal itu dikarenakan penerjemah yang memberikan pengantarnya dalam buku itu beberapa kali mengutip pemikiran dua pemikir cum filsuf itu, yang kutipan-kutipannya dalam pandangan saya cukup menggugah untuk ditindaklanjuti.

Walaupun perkenalan saya dengan Jean-Paul Sartre dan Noam Chomsky lebih dulu, jauh sebelum mengenal Edward W. Said, saya jatuh cinta pada Said hanya pada pandangan pertama ketika membaca sinopsis bukunya Peran Intelektual. Dan berkat buku itulah keinginan saya membaca lebih jauh pemikiran Sartre dan Chomsky menjadi lebih besar.

Di samping itu, saya baru saja membaca esai di Mojok, tulisannya Azis Anwar yang mengulas dan mengkritisi pemikirannya Yuval Noah Harari tentang konsepsi fiksi dalam bukunya yang berjudul Sapiens. Menurut Azis, Sapiens karya Harari bisa jadi termasuk buku fiksi. Argumen itu muncul setelah dia berusaha mengelaborasi definisi dan makna fiksi, baik menurutnya ataupun kemungkinan-kemungkinan definisi fiksi menurut Harari.

Pada awal perjumpaan dengan Harari dan trilogi bukunya, saya kagum dengan pemikiran Harari yang membedah manusia dari sejarah—tentu karena ia sejarawan—dari konteks masa lampau, masa kini, hingga masa depan. Sederhananya, Harari ingin memberikan literasi mengenai sejarah umat manusia dari masa dulu, kemudian apa yang harus dilakukan manusia pada hari ini, serta prediksi yang mungkin terjadi di masa depan tentang umat manusia.

Saya cukup mengagumi Harari. Dengan kemampuan intelektualitasnya, ia mampu menjabarkan secara komprehensif kehidupan umat manusia dalam konteks ruang dan waktu masa lampau, kini, dan nanti. Tapi, yang menjadi unik adalah kekaguman saya sedikit banyak tereduksi setelah membaca beberapa esai yang menyinggung pemikiran Harari. Puncaknya adalah melalui esainya Azis Anwar di Mojok.

Ketika saya sedang menikmati pemikirannya Edward W. Said, juga kehendak ingin berkenalan lebih intim dengan Sartre dan Chomsky, pikiran saya dibuat gatal oleh esai Azis Anwar. Bahwa ia secara lugas dan berani menguliti pemikirannya Harari, dengan poin terukur yang dia miliki secara bernas.

Saya termasuk orang yang cukup mudah mengagumi kebesaran seseorang, khususnya kepada mereka para pemikir atau filsuf yang sudah menggariskan nama besarnya dalam karya dan pikiran besar berupa ide-ide dan gagasannya tentang manusia dan kehidupan. Namun, seiring waktu berjalan, saya sadar bahwa buah pikir mereka bukan untuk diagungkan, apalagi dikultuskan, tapi untuk dikritisi dan digugat.

Sejatinya setiap orang menyusun argumentasi dan filosofi hidupnya tidak lepas dari interaksi dengan orang-orang yang telah dijumpainya. Sehingga sudah pasti sedikit banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh konsep pemikiran orang-orang yang lebih dulu bertemu itu. Kemudian dengan mandiri menata pemikiran yang telah terakumulasi menjadi konsep, ide, atau gagasan yang utuh.

Begitu pula pertemuan kita dengan para filsuf melalui karya-karyanya. Kepala kita akan terisi dengan pemikiran-pemikiran mereka. Apalagi apabila kita melakukan kontemplasi yang cukup dalam dari pergumulan itu. Tergantung kita meletakkan diri kita sebagai apa ketika bertemu dengan para filsuf itu: murid sekaligus teman diskusi atau budak.

Baca juga:

Ada perbedaan yang cukup terasa ketika kita membaca karya besar seorang filsuf; antara memosisikan diri serendah mungkin untuk mereguk ilmu dan pengetahuan dari karya tersebut; atau memosisikan diri sebagai “teman diskusi” pemikir untuk kemudian berani mempertanyakan bahkan menggugat pemikiran filsuf-filsuf itu.

Dengan kata lain, berbeda rasa dan kualitas penghayatannya antara menjadikan diri sebagai budak yang menerima apa saja yang diberikan bahkan dicekoki dengan menjadikan diri sebagai rekan diskusi yang siap bertanya, membantah sampai mendebat konsepsi pemikiran itu.

Pada akhirnya, walaupun kita dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para filsuf dan tokoh intelektual, tetap saja kita yang merumuskan pemikiran kita sendiri. Kita berdiri di atas argumentasi kita sendiri, tidak berlindung di bawah ketika para pemikir. Percuma saja kalau pandai mengutip pemikiran filsuf, tapi tidak bisa mengabstraksi pemikiran-pemikiran filsuf itu menjadi pemikiran diri sendiri.

Terkesan lucu apabila ada orang yang baru akrab dengan pemikiran para pemikir atau filsuf dan sering mengutip pemikirannya, tapi tidak mampu berargumen secara kokoh sebagai wujud dari kualitas nalarnya.

Istilah yang tepat untuk disematkan kepada orang-orang seperti itu mungkin “genit intelektual”. Sama seperti orang yang baru menyukai kopi lalu mengagungkan selera kopinya dan merendahkan selera orang lain. Atau seorang pembaca buku yang merendahkan selera bacaan orang lain. Penyakit para snob.

Para filsuf itu melahirkan pemikirannya melalui gugatan-gugatannya terhadap pemikiran filsuf-filsuf yang memengaruhinya. Mereka membaca, mengkaji, mendalami, kemudian mengkritisi dan menggugat dengan membentuk antitesis terhadap tesis yang mereka tidak setujui.

Contoh sederhananya adalah Aristoteles kepada Plato. Walau Plato merupakan gurunya, Aristoteles tidak segan untuk “melawan” pemikiran gurunya dengan merumuskan pemikirannya sendiri.

Plato mempunyai pandangan bahwa dunia dihasilkan secara ideal, dan pemahaman maupun pengetahuan manusia tentang dunia tidaklah didapatkan dari persepsi atau pengalamannya tentang dunia, melainkan sudah ada dalam dunia ide. Sementara itu, Aristoteles memandang bahwa dunia dan ide-ide didapatkan dari sesuatu yang real berdasarkan pemaknaan indrawi.

Walau mereka guru dan murid, perbedaannya cukup tajam, Plato berpaham idealis, sedangkan Aristoteles realis.

Dengan begitu, hemat saya, saat ini adalah agar mampu kokoh sebagai pribadi yang menjalankan roda nalar secara benar, kita harus berani menyelidiki karya atau pemikiran filsuf dengan mempertanyakan dan menggugatnya, bukan tunduk dan patuh begitu saja.

Mulai hari ini saya akan menjadi pembaca yang kritis dan berani, tidak malah mengultuskan pemikiran seorang pemikir atau filsuf, apalagi person-nya. Mencoba menjadi orang yang lebih mendayagunakan nalar agar mampu melihat secara jernih segala fenomena dan wacana.

Akbar Malik
Latest posts by Akbar Malik (see all)