Seharusnya mereka berterima kasih pada seluruh rakyat Indonesia yang dengan ramah telah menganggap mereka sebagai satu saudara tanpa embel-embel sebutan Arab, Cina, India hingga Sri Lanka.
Rakyat Indonesia paham dengan sangat apa itu makna Bineka Tunggal Ika. Kita selalu menyebut mereka sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
“Kenapa mereka harus seperti itu?”
Ini politis. Ini pasti terkait Pilpres 2024 nanti. Isu identitas seolah kembali ingin dibuat menjadi jalan pintas. Bermula dari sebutan etnis Arab, pada akhirnya kita seperti ingin dibawa kembali pada situasi Pilgub DKI 2017 yang lalu.
Para pecundang penikmat isu identitas tak punya rasa pede itu kini sedang kecut hati. Sang calon unggulannya sekaligus sosok kebanggaannya sedang bingung tak punya kendaraan demi mencapai posisi tertinggi sebagai RI1. Mereka frustrasi.
Koalisi Gerindra dan PKB yang baru saja diumumkan seolah adalah palu hakim pemberi kabar tak menyenangkan itu. Koalisi dua partai tersebut tak mungkin memberi sisa untuk namanya.
Kemarin, KIB atau Koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP sudah membuat deklarasi bahwa mereka bersatu. Itu pun TAK MUNGKIN MENYEMPILKAN namanya.
Di luar PDIP yang tanpa teman pun sudah memenuhi syarat Pilpres, dan namun punya banyak kader yang pantas dicapreskan. Di sana hanya tinggal PKS, Demokrat, dan Nasdem. Menyatukan 3 partai itu bagi kendaraannya butuh keajaiban besar. Dan keajaiban itu kini sedang dikejar.
Baca juga:
- Politik Rekognisi; Pertarungan Tanah Adat dan Identitas Budaya
- Sentimen Identitas di Dunia Politik Masih Akan Marak
Ya, isu identitas dan kemudian bisa diterima oleh banyak pihak seperti Pilgub DKI adalah keajaiban ingin didulang.
“Apakah itu memiliki potensi?”
Kenapa tidak? Kacau Pilgub DKI justru menyisakan harapan bagi mereka yang hobi membuat belokan dan jebakan. Itu tak mustahil bagi kondisi masyarakat kita saat ini.
“Loh kok?”
Pun pemerintah, atau paling tidak mereka yang diberi wewenang untuk membuat pintar rakyat dari bangsa ini.
Lihat saja, berapa banyak buku-buku dicetak dan namun hanya berisi hoaks tapi tetap boleh diperjual-belikan?
Kisah dan sejarah Borobudur, misalnya. Di sana pembelokan sejarah sedang dibuat bahkan masif, namun tak ada otoritas negara hadir untuk menghentikannya, bukan?
Lihat saja carut-marut penulisan buku pelajaran SD, SMP, dan SMA. Di sana, bukan sekali dua kali kekacauan isi naskah buku pelajaran itu ditemukan. Baru setelah diviralkan, itu ditarik.
Halaman selanjutnya >>>
- Mungkinkah Agnes Dapat Dipidana? - 28 Februari 2023
- Transformer - 6 Februari 2023
- Jalan Panjang Demokrasi Kita - 2 Februari 2023