
Menghargai buku adalah cara menghargai pikiran. Menghargai pikiran adalah cara untuk kian mendekatkan hidup dengan berbagai hal berharga.
Mungkin, di luar sana akan ada saja yang ingin dihargai dengan uang mereka punya di rekening. Sementara nilai uang itu sendiri mengalami siklus naik turun.
Satu juta uang di rekening, misalnya, dulu bisa digunakan untuk membeli banyak hal. Hari ini, uang segini cuma bisa untuk membeli satu celana.
Itulah kenapa, sekali waktu, saat pertama ke Yogyakarta sekitar 12 tahun lalu, uang satu juta kuhabiskan untuk satu ransel buku.
Begitu juga hari ini, ketika sudah berkeluarga. Istri bisa protes jika uang banyak kupakai untuk baju atau sepatu. Namun, ia takkan berani banyak protes ketika uang kugunakan untuk membeli buku, hampir setiap bulan–tentu saja setelah jatah rumah tangga lebih dulu kupenuhi, selain sebagian kusimpan.
Tidak cuma membeli buku, tapi aku berusaha tetap bisa merawat buku-buku yang ada. Sebab menghargai buku, menghargai penulis buku, tidak cuma dengan membeli saja, tetapi juga merawatnya.
Menjemurnya secara berkala jadi salah satu cara menjaga buku tetap terawat. Sekaligus merawat pesan bapakku.
Ya, Bapak, meskipun beliau hanya sempat menempuh pendidikan sampai Sekolah Dasar saja di masanya, namun beliau sangat menghargai buku.
Jangankan robek, buku tergeletak di lantai saja bisa bikin Bapak marah. Pesan paling sering beliau berikan, “Hargai buku, karena dari sanalah kaudapati banyak ilmu!”
Pesan itu sering beliau ucap sejak aku masih kanak-kanak, dan masih kuingat sampai aku sendiri punya anak. Kujalankan pesan beliau, dan sedikit demi sedikit terbuka pula jalan-jalan memperbaiki banyak hal dalam hidup.
Ya, dari buku aku belajar banyak hal. Di samping, dari buku pula aku belajar bahwa hidup memang perlu dijalani bak lembar demi lembar halaman buku.
Setiap buku perlu dibaca dengan kesabaran, keseriusan, dan konsentrasi. Benang merah dari segala sesuatu pun bisa ditemukan dari kesabaran membuka halaman demi halaman buku.
Setebal apa pun sebuah buku, takkan menjadi beban bagi mereka yang mencintai buku. Sebab, bagi mereka, membaca buku adalah kegembiraan selayaknya berada di pantai. Tidak dianggap sebagai beban.
Baca juga:
Hidup, kupikir, tidak ubahnya seperti membaca buku teramat tebal. Masing-masing paragraf membawa pesan tersendiri. Tanpa kesabaran, cuma ada keluhan bahwa buku ini terlalu tebal, memusingkan, membuang waktu, dan lain sebagainya.
Sementara kesabaran, mengajak melihat dengan sadar, bahwa pikiran butuh banyak senjata. Setiap huruf, kata, kalimat di setiap buku, adalah amunisi-amunisi untuk mengenali hidup, agar setiap pertarungan tidak dihadapi dengan ketakutan, tapi kewaspadaan. Pertarungan dihadapi dengan kecermatan, tidak bisa serampangan.
Pun, hidup mesti tertata seperti buku di raknya, atau seperti kata-kata di dalam buku-buku itu sendiri. Terpenting lagi dari itu semua, adalah bagaimana membuat pikiran terbiasa untuk lebih tertata.
Jika pikiran berantakan, hampir pasti bahwa hidup pun akan berantakan!
Lah, itu bukunya kok berantakan? Nggak, hatiku dulu jauh lebih berantakan, karena mau pacaran saja ditolak di mana-mana.
- Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Kemenag RI - 30 November 2019
- Jalan Paulo Coelho Menjadi Penulis - 27 November 2019
- Sepak Bola Indonesia Lebih Hidup di Tangan Anak Muda - 25 Oktober 2019