Mengingat Ummi Menjelang Hariku

Mengingat Ummi Menjelang Hariku
©Dok. Pribadi

Menjelang hari bersejarah dalam hidupku, hari ulang tahunku, aku mengingat ummi, ibuku. Di mana, di setiap hari bahagiaku, ummi akan selalu mengucapkan selamat ulang tahun. Ummi selalu memanjatkan doa-doa terbaiknya untukku. Beliau berdoa agar aku bahagia. Beliau berdoa agar aku segera bertemu dengan teman hidupku, jodohku. Beliau berdoa agar pekerjaanku lancar, dan beliau berdoa untuk kesehatanku.

Sejak tiga tahun terakhir, ummi yang kuat, ummi yang penuh energi dan semangat, ummi yang melakukan apa-apa sendiri, mandiri, jatuh sakit. Aku sangat menyesali tidak maksimal menjaga ummi ketika sakit. Kemudian, setahun kemarin, beliau mengembuskan napas terakhirnya, meninggalkan kami, anak-anak, suami, cucu-cucu, saudara-saudarinya, dan keluarganya yang lain.

Aku yang selalu optimis jika ummi pasti akan sembuh dan sehat seperti sediakala merasa tertampar dengan takdir Tuhan. Aku selalu yakin jika ummi hanya kelelahan, ummi hanya butuh istirahat, ummi hanya butuh ditemani, dimanja, disayang, dan diperhatikan. Namun, ummi tidak butuh itu lagi, ummi hanya butuh kerelaan dan doa-doa kami.

Aku ingat, sebelum empat puluh hari ummi pergi, setelah salat Asar, beliau berbaring di sampingku. Namun, beliau tiba-tiba bangun dari pembaringannya. Aku yang tidur di sampingnya hanya memandanginya yang terbiasa tiba-tiba bangun, lalu ke kamar mandi, atau bolak-balik ke atas dan ke bawah rumah panggung kami. Tapi kali ini, beliau menatapku dan berbisik lirih di sampingku, “Aku sudah mau pergi, nak.”

Aku marah. Sudah kesekian kalinya ummi mengatakan hal yang sama. Sehingga aku marah, walau kali ini beliau menyampaikannya dengan sangat pelan, lembut, dan pasti. Aku melihat matanya menerawang memandang langit-langit kamarku. Sepertinya ia melihat sesuatu. Tapi, aku seperti biasa tak percaya dengan kata-katanya.

“Kamu melihat bayang-bayangku?”

“Aku sudah akan memenuhi panggilan Tuhan.”

“Aku akan pergi, nak.”

Itu yang selalu diucapkan padaku. Katanya, ketika kita tidak memiliki bayangan dari tubuh kita, kita akan segera meninggal. Namun, aku selalu melihat bayangan tubuh, siluet badannya di ruang terang. Aku pun selalu menjawab, “Jadi, yang hitam itu apa, ummi?”

Ketika beliau mengatakan akan memenuhi panggilan Tuhan, aku selalu menjawab, apa sudah ada malaikat Israfil yang memberi pesan? Atau ketika beliau berkata jika beliau akan pergi, aku akan menjawab, apakah ummi sudah siap? Apakah ummi tidak akan menambah amal-pahala dan ibadah lagi?

Tak lama berselang beberapa hari beliau berpesan di waktu Asar itu, ummi yang sudah lebih mendingan tiba-tiba jatuh sakit yang tidak bisa bangun dari pembaringannya. Ummi yang selalu bergerak dan aktif itu benar-benar jatuh sakit dan tidak mau makan. Beliau hanya makan sedikit sekali. Nasi bubur hanya beberapa suap. Air minum, baik yang dimasak hangat ataupun mineral yang hanya beberapa teguk. Susu tak mau diminumnya, beliau memang tak suka susu. Buah-buahan yang diminta olehnya seperti anggur dan jeruk hanya diisapnya seperti permen kemudian membuang ampasnya.

Beliau juga sudah susah untuk mengeluarkan air seni. Air seninya sangat sedikit, begitu pun dengan kotoran dari perutnya yang hanya secuil. Yah, tidak ada makanan yang yang masuk. Bukan hanya itu, beliau juga tidak mampu berdiri, hanya tidur di pembaringan dan membolak-balik badannya.

Keluarga mengajaknya ke rumah sakit, namun beliau menolak. Beliau hanya ingin dirawat di rumah. Beliau memang sangat konvensional karena ketika beliau sakit hanya mengandalkan obat-obatan dan ramuan-ramuan tradisional. Selama ini, beliau tidak pernah sakit yang dirawat secara medis di rumah sakit. Hanya istirahat di rumah saja dan makan serta minum yang teratur beliau akan sembuh.

Sewaktu sakit, tiga tahun terakhir, beliau hanya didiagnosis menderita sakit kolesterol. Selebihnya, beliau tidak memiliki penyakit yang lain seperti diabetes, jantung, atau apa pun itu. Alat indra beliau juga bagus karena ketika orang datang menjenguknya beliau tahu betul siapa yang datang dan mengingat sekaligus menceritakan semua peristiwa bersama orang-orang tersebut.

Ummi salat dengan berbaring, ummi hanya berzikir mengingat Allah. Ketika kuputarkan ayat-ayat suci Alquran di sampingnya, ummi terkadang menolak bukan karena apa, beliau tidak mau mendengar “kebisingan” yang memang kuputar di hape dengan keras, volume yang hampir full di telinganya.

Ummi sudah tidak kuat mendengar kebisingan. Suara-suara yang tidak penting. Bunyi kendaraan yang berseliweran, orang-orang yang banyak berbicara dan sibuk bercerita. Mungkin indra telinganya yang paling kuat, memang telinga beliau sangat cantik, bentuknya bagus dan besar. Selain itu, matanya juga kuat, ketika beberapa kali beliau kufoto dan kuvideo, beliau menolaknya. Padahal, aku mengambil gambar dan merekam secara diam-diam. Ummi sangat peka.

Baca juga:

Ummi sangat peka, namun kami di sekelilingnya yang sangat tidak peka. Kami tidak menjaga ummi dengan baik, kami tidak melayani ummi dengan baik, kami tidak “mengobati” ummi dengan baik, kami tidak memperbaiki perasaan ummi dengan baik, kami tidak menyayangi ummi dengan baik, kami tidak…

Sebagai salah satu anak perempuan dari ummi, kami merasa begitu banyak dosa-dosa kami pada ummi yang begitu tulus dan setianya pada kami. Begitu banyak hal-hal yang ummi berikan kepada kami yang belum bisa kami balas. Cintanya ummi, sayangnya ummi, perhatiannya ummi, doa-doanya ummi yang memenuhi langit sehingga sampai hari ini kami bisa menjadi orang-orang yang hebat, pintar, dan sukses walau tak bisa menyamai dirinya.

Aku menangis, menangis yang rasanya tidak seperti waktu ummi pergi karena saat itu kami sangat tegar dan tidak menangis. Namun kali ini aku mengingat ummi menjelang ulang tahunku yang kulalui tanpa kehadirannya.

Lapeo, 25 Januari 2023

Zuhriah