Menguji Demokratisasi Partai Politik

Menguji Demokratisasi Partai Politik
©IndoPROGRESS

Nalar Politik – Demokratisasi di internal partai politik masih sering jadi bahan pertanyaan. Terutama di masa pemilu, agenda ini kerap terbaikan lantaran kuatnya pragmatisme politik dalam persiapan mengikuti pesta demokrasi.

Dalam Tajuk Rencana Kompas edisi 12 Oktober 20201 berjudul Menguji Demokratisasi Partai Politik, hal itu turut terungkap. Muncul harapan besar partai politik mampu mempraktikkan demokrasi yang memang menjadi kewajibannya menurut konsititusi.

“Pasal 31 Ayat d UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan, parpol berkewajiban menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Semoga kewajiban ini benar-benar dijalankan parpol dalam mempersiapkan Pemilu 2024.”

Memang, dalam rangka menghadapi Pemilu 2024, sejumlah partai politik sudah terlihat menyusun strategi. Proses ini sekaligus akan menjadi ujian kualitas demokrasi di internal parpol.

Agar memperoleh hasil yang lebih optimal pada Pemilu 2024 ke depan, sejumlah partai politik berupaya mengusung kader sendiri, baik untuk mengisi kursi calon presiden-wakil presiden maupun untuk anggota legislatif dari pusat sampai daerah. Kebanyakan sudah terlihat sibuk memetakan daerah pemilihan hingga menyeleksi sosok yang layak diusung.

“Bagi parpol dan kandidat calon, masa sekitar 2,5 tahun memang bukan waktu yang lama untuk bersiap menghadapi pemilu. Pengalaman sebelumnya menunjukkan, bakal calon presiden-wakil presiden biasanya diputuskan menjelang penutupan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum.”

Bahkan, di tahap-tahap akhir, perubahan daftar bakal calon masih sering jadi fenomena. Apakah kondisi ini karena parpol atau kandidat tak melakukan persiapan jauh hari sebelumnya?

“Tidak juga. Persiapan menghadapi pemilu sudah sering disampaikan parpol sejak jauh-jauh hari. Pencarian, pendidikan, atau pelatihan kader yang diproyeksikan duduk di lembaga legislatif ataupun eksekutif sudah banyak dilakukan parpol sejak beberapa tahun sebelum pemilu.”

Sayangnya, persiapan jauh-jauh hari itu sering kali “terkalahkan” oleh pragmatisme politik saat pemilu. Potensi kemenangan, kesiapan logistik, atau kedekatan dan lobi-lobi politik di saat akhir biasanya menjadi faktor dominan dalam tahap akhir penyusunan kandidat untuk pemilu.

“Hal ini mengindikasikan demokrasi belum dipraktikkan secara optimal di parpol. Sejumlah parpol belum memiliki aturan jelas, terbuka, dan secara ketat ditaati bersama, misalnya syarat seseorang untuk diusung sebagai bakal caleg dengan nomor urut tertentu.”

Baca juga:

Selain masalah administrasi seperti yang dituntut undang-undang, syarat yang dimaksud semestinya juga meliputi kompetensi, integritas, dan keterlibatan di parpol. Hal yang perlu pula dibuka sejak awal adalah biaya yang mesti dikeluarkan bakal caleg dalam pencalonan dan kewajiban pada parpol jika ia nanti duduk di legislatif.

“Penerapan secara optimal demokrasi di internal parpol akan memunculkan proses seleksi yang transparan dan adil bagi semua orang di parpol serta masyarakat pada umumnya. Kondisi ini tak hanya mengurangi potensi munculnya kader parpol yang kecewa karena karier politiknya tiba-tiba terpotong atau seseorang yang tiba-tiba menjadi tokoh di parpol.”

Namun, yang lebih penting, hal itu mengawali lahirnya kandidat berkualitas dan berintegritas lewat pemilu.

“Kandidat ini, selain mampu menarik simpati pemilih, juga memiliki kecakapan dan integritas saat bertugas setelah memenangi pemilu.”