
Akhir-akhir ini istilah childfree menghebohkan masyarakat. Childfree merupakan orang-orang yang memilih untuk tidak mempunyai anak tetapi tetap menjalani pernikahan. Keputusan untuk tidak memiliki anak dalam menjalani pernikahan ini mengundang banyak perdebatan.
Sebenarnya istilah tersebut sudah cukup booming sejak awal 1800an, tetapi belum menggunakan istilah childfree. Hingga saat ini childfree masih mengundang pro dan kontra dari kalangan masyarakat.
Istilah childfree ini datang dari negara-negara Barat. Memang tidak bisa kita mungkiri pengaruh globalisasi sangat terasa dengan datangnya istilah tersebut. Kita sebagai warga negara Indonesia yang baik harus bisa memilah kebudayaan yang datang dari luar. Jangan sampai terpengaruh oleh kebudayaan luar dan menggerus kebudayaan sendiri.
Indonesia memang mempunyai kebijakan untuk mengurangi jumlah kelahiran. Dengan kebijakan tersebut, bukan berarti untuk tidak mempunyai anak. Kebijakan tersebut mengatur tentang pembatasan anak secara terus terang tidak ada dalam Undang-Undang. Tetapi pemerintah menyarankan dan menjalankan program KB (Keluarga Berencana) yang kita kenal dengan slogan “Dua Anak Lebih Baik”.
Setiap pasangan yang sudah menikah biasanya menginginkan buah hati dalam pernikahannya. Bagi sebagian orang, pernikahan bertujuan untuk memiliki keturunan. Sebuah keluarga yang belum mempunyai anak dianggap belum memiliki kebahagiaan yang utuh. Tidak heran jika banyak orang yang menggantungkan kebahagiaan pernikahannya dengan keberadaan anak.
Ada beberapa arti penting anak bagi pasangan suami istri. Pertama adalah anak sebagai bentuk anugerah pemberian dari Tuhan. Kedua, anak dapat memberikan dampak positif pada kehidupan (hidup menjadi lebih bahagia).
Ketiga, anak memberikan manfaat bagi orang tua; artinya, anak sebagai penghibur dan pelipur duka ketika orang tua sedang sedih atau lelah. Keempat, anak dapat memberikan dampak positif pada relasi suami istri; artinya, anak sebagai perekat yang selalu menyatukan orang tua.[1]
Keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak tentunya bebas-bebas saja. Semua orang mempunyai hak terhadap keputusan pribadinya. Setiap orang memiliki alasan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalani kehidupannya.
Baca juga:
Keputusan orang-orang childfree ini jika kita bayangkan jumlahnya berlipat ganda, maka negara ini akan kacau. Katakanlah ada 50 persen pasangan suami-istri di Indonesia yang memutuskan untuk childfree. Sudah sangat jelas akan berpengaruh terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan demografi negara. Angka kelahiran di Indonesia akan menurun dan akan memengaruhi di berbagai aspek kehidupan negara.
Pihak yang perlu kita libatkan dalam pengambilan keputusan childfree adalah keluarga besar. Sebab, di Indonesia maupun negara lainnya, prinsip dari menikah itu tidak hanya melibatkan dua individu saja, tetapi juga dua keluarga besar. Sehingga keputusan untuk memilih childfree ini sebaiknya disampaikan ke keluarga besar masing-masing.
Apabila keputusan tersebut tidak dapat mereka terima, maka dapat menjadi tekanan sosial bagi pasangan. Dan jika keputusan tersebut dapat mereka terima, maka pasangan akan menjadi lebih mudah menghadapi tekanan sosial dari masyarakat di luar keluarga.
Jika kita lihat dari sisi agama, childfree ini sangat bertentangan dengan ajaran Allah Swt. Banyak hadis atau dalil-dalil yang isinya mengenai pentingnya memiliki anak atau keturunan.
Anak merupakan salah satu investasi amal, yang nantinya diharapkan bisa mendoakan orang tuanya ketika sudah meninggal dunia. Tidak hanya itu, anak juga mendatangkan rezeki bagi orang tuannya. Akan lebih baik jika sebelumnya orang tua telah mengajari anaknya mengenai agama sehingga memiliki anak yang saleh dan salihah.
Pemikiran orang-orang yang mengambil keputusan childfree memiliki beberapa alasan. Di antaranya adalah: pertama, menekan overpopulasi manusia; artinya, jumlah populasi manusia di bumi meningkat sehingga ada kekhawatiran akan merusak lingkungan, salah satunya adalah munculnya global warming.
Kedua, faktor ekonomi dan sosial; artinya, adanya kekhawatiran akan jaminan hidup yang layak bagi anak, dan juga kekhawatiran tidak bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak.
Ketiga, trauma; artinya, semasa hidup pasangan yang memilih childfree ini tidak mendapatkan kasih sayang orang tua layaknya anak-anak pada umumnya, sehingga timbul ketidaksiapan menjadi seorang ayah atau ibu.
Halaman selanjutnya >>>
- Menilik Fenomena Childfree - 25 Desember 2021
- Mitos “Banyak Anak Banyak Rezeki” Menghambat Pengendalian Jumlah Penduduk - 26 Oktober 2021
- Wajah Kemiskinan di Perkotaan - 24 Juni 2021