Menjadi Manusia Utuh dengan Jalan Kebebasan

Menjadi Manusia Utuh dengan Jalan Kebebasan
Ilustrasi: John Laurits

Jika Anda menjalani hidup berdasar keputusan atau pilihan orang lain, mengabdi atau tunduk hanya pada kepentingan orang di luar diri Anda sebagai individu, maka Anda tidak/belum bisa disebut sebagai manusia bebas. Anda, dalam hal ini, tidak/belum menjadi manusia utuh.

Demikian Rofi Uddarojat, Content Manager Suara Kebebasan, mempertegas itu. Dalam Diskusi Buku & Ngopi Sore untuk Kebebasan, Rofi menekankan betapa pentingnya kebebasan individu. Bukan hanya karena kebebasan sebagai hak alamiah masing-masing individu, melainkan pula menjadi jalan agar manusia mampu bersikap rasional, yang dengan demikian akan hidup secara dewasa, utuh sebagai manusia.

Berlangsung di Kafe Basabasi Yogyakarta, 28 April 2018, agenda ini merupakan bedah buku Apa Pilihanmu: Pengendalian Diri atau Pengendalian Negara—terjemahan dari Self Control or State Control? You Decide (Ed. Tom G. Palmer). Agenda ini merupakan kerja sama antara Forum Libertarian Yogyakarta (FLY) dengan Suara Kebebasan dan Nalar Politik.

Selain Rofi, FLY juga menghadirkan Ceng Husni Mubarak, Mahasiswa CRSC UGM dan Peneliti PUSAD Paramadina, Jakarta, selaku pembedah. Agenda sepenuhnya dipandu oleh Mindra Hadi Lubis, Mahasiswa Filsafat Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pengantar Diskusi

Selaku pembedah, Rofi mengawali bahasannya dengan membincang polemik pelarangan minuman keras (alkohol) dalam konteks Indonesia, termasuk pelarangan obat-obatan seperti narkoba. Menurutnya, regulasi atau pelarangan, dalam hal ini oleh negara, merupakan bentuk “pemenjaraan” yang, alih-alih berguna, malah memperburuk keadaan.

“Lihat berapa banyak warga Indonesia yang meregang nyawa akibat mengonsumsi alkohol oplosan. Apakah fakta itu sepenuhnya bersumber dari kesalahan individu semata? Tidak. Bahwa campur tangan negara dalam meregulasi hingga melarang alkohol legal jadi sumber masalah utamanya,” ungkap Rofi.

Seperti dijelaskan, minuman oplosan mengandung alkohol 90 persen. Artinya, yang dikandungnya merupakan jenis alkohol yang tidak boleh dikonsumsi, diminum oleh manusia, melainkan hanya boleh untuk keperluan obat luka.

“Semua tahu itu. Oplosan jauh lebih berbahaya dari sekadar minuman legal. Tapi kenapa masih saja ada orang yang ingin mengonsumsinya?”

Ya, tegas Rofi, karena negara, melalui aparatusnya, melarang peredaran minuman berlegal. Negara merasa bahwa yang legal jauh lebih berdampak negatif. Imbasnya, aksesnya pun dipersulit, harganya ditinggikan.

Lihat juga: Ngopi Sore untuk Kebebasan Forum Libertarian Yogyakarta

“Kondisi inilah yang membuat banyak warga penggemar minuman alkohol berpindah ke jenis oplosan. Selain karena sulitnya akses ke minuman legal, harganya pun terbilang jauh lebih murah, meski sadar risikonya yang cukup tinggi.”

Inilah, menurut Rofi, efek nyata dari negara yang selalu merasa tahu apa yang terbaik bagi warga negara. Demi kebaikan bersama (klaim negara), individu lalu dikontrol secara berlebih, termasuk untuk urusan apa yang harus dan yang tidak boleh dikonsumsi.

“Niatnya untuk menyelesaikan masalah, tapi negara yang sok tahu malah memperlebar jurang. Pelarangan tidak menghilangkan akar masalah sama sekali.”

Mengingat masalah semakin membesar seiring adanya kontrol negara atas warga/individu, merujuk Tom G. Palmer, Apa Pilihanmu: Pengendalian Diri atau Pengendalian Negara, Rofi pun lalu mengimbau pentingnya individu memiliki free will (kehendak bebas).

Free will di sini berarti bebas dan bertanggung jawab. Dengannya, tiap individu mampu mengambil keputusan rasional berdasarkan pengalaman hidupnya masing-masing.

“Jika Anda menjalani hidup berdasarkan keputusan orang lain, maka Anda tidak menjadi manusia utuh. Sebaliknya, jika Anda menjalani hidup berdasar keputusan atau pilihan sendiri, di titik inilah Anda disebut bebas sekaligus akan menjalani hidup yang normal.”

Individu, bagi Rofi, perlu diberikan suatu kebebasan untuk memilih. Pun jika pilihan itu memang berpotensi salah. Sebab, dari kesalahan itulah manusia bisa belajar untuk menjadi lebih baik.

“Dalam kebebasan itu, ada namanya tanggung jawab. Jika Anda bebas, maka Anda harus bertanggung jawab atas pilihan Anda sendiri. Ini bukan berarti saya meng-endorse Anda untuk mengonsumsi alkohol atau obat-obatan berbahaya lainnya, tapi biarkanlah Anda sendiri yang menentukan efek-efeknya. Toh Anda bisa berpikir rasional dalam mempertimbangkan itu, tak perlu negara mengaturnya.”

Lebih lanjut, kebebasan memilih dalam bidang sosial-politik, terang Rofi, juga harus diaplikasian dalam bidang ekonomi.

“Kita harus konsisten, semisal dalam aspek ekonomi. Bahwa bisnis ekonomi tidak boleh membatasi konsumen (individu). Bisnis yang tidak mengutamakan konsumen merupakan bisnis yang buruk.”

Pun demikian dengan kasus barang impor. Apakah konsumen tidak boleh membuat pilihan berdasar produk mana yang paling baik menurutnya? Apakah kita tidak boleh memilih barang selain produk dalam negeri? Tidak ada salahnya untuk membeli dan memakai produk luar negeri. Konsumen harus diutamakan.”

Selaku pembedah kedua, Ceng Husni Mubarak tampil mempertegas tujuan buku Tom G. Palmer. Buku, menurutnya, adalah rujukan yang mencoba mengklarifikasi kesalahpahaman orang, terutama negara, atas ide kebebasan.

“Sering kebebasan diasosiasikan dengan perilaku yang liar, brutal. Padahal, kebebasan menuntut pula adanya tanggung jawab. Kebebasan tanpa tanggung jawab bukanlah kebebasan, melainkan kondisi ketidakbebasan. Bebas tidak pernah dipisahkan dengan tanggung jawab,” jelas Husni.

Tapi, lanjut Husni, bebas saja tidaklah cukup. Tiap individu yang dikatakan bebas juga harus punya kemampuan untuk mengaktifkan kebebasannya.

“Buku Tom G. Palmer ini juga memberi sejumlah catatan yang bisa membangkitkan gelora, hasrat pribadi, untuk membuktikan bahwa saya, kita, adalah makhluk yang independen. Sebagaimana Isaiah Berlin asumsikan, tiap orang harus mampu bebas dari kemungkinan orang lain untuk mengintervensi. Ini yang disebutnya sebagai freedom from, lawan dari freedom to,” pungkasnya.

Sesi Diskusi dan Tanya-Jawab

Menjadi Manusia Utuh dengan Jalan Kebebasan

Diskusi yang kurang lebih berjalan 2 jam ini kian menarik. Selaku moderator, Mindra Hadi Lubis memberi sejumlah kesempatan kepada para peserta untuk mengomentari bahasan maupun sekadar untuk mengajukan pertanyaan.

“Ide kebebasan itu sangat utopis, apalagi yang berupaya meniadakan kontrol negara. Kita tahu, adanya kontrol negara karena adanya permasalahan. Sementara masalah tidak akan pernah hilang dalam sejarah hidup manusia,” ujar Abdulah Said.

Peserta lainnya, Yazid Mambawa, lebih mempertanyakan siapa yang lebih berpengaruh dalam mengontrol diri individu: apakah agama atau negara? Mengapa pula agama dibawa-bawa dalam diskusi yang notabene hendak bicara soal intervensi negara?

Sebelum mengomentari kembali pernyataan dan pertanyaan dari peserta, Rofi mencoba mengklarifikasi uraian dari Ceng Husni Mubarak. Meski ada banyak variabel yang memang melakukan restriksi atas kebebasan, sebagamana Husni paparkan, seperti keluarga, lingkungan sosial, hingga agama, tetapi yang paling riil terlihat adalah restriksi dari negara, dan itu jauh lebih berefek langsung.

“Bagaimanapun aturan yang dibuat keluarga, kalau Anda menentang, ya Anda tinggal keluar, selesai. Beda dengan negara. Ketika Anda melanggar KUHP, misalnya, Anda akan dipenjara, kehidupan Anda dirampas,” terang Rofi.

Selain itu, Rofi juga mengklarifikasi soal komunitarianisme atau kolektivisme. Menurutnya, kebijakan negara harus tetap berdasar pada kepentingan individu, bukan kolektif. Supremasi kolektif sama sekali melanggar ide liberalisme klasik yang berdasar pada life, liberty, dan property.

Terkait pernyataan Said, Rofi kembali menegaskan bahwa libertarianisme mengandaikan masalah akan tetap ada. Bahwa libertarianisme tidak hendak menghilangkan masalah sama sekali, karena memang tidak akan pernah hilang, melainkan bagaimana meminimalisasinya.

Lihat juga: Kebebasan, Demokrasi, dan Kesejahteraan Masyarakat

“Persoalannya, siapa yang harus berperan dalam hal itu? Jika negara, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih meminimalisasi, yang ada justru lebih parah, memperlebar jurang masalah.”

Ia pun mencontohkan kasus pelarangan penggunaan narkoba. Negara, melaui BNN, selama ini hanya berupaya menangkap para penggunanya tanpa ada kesinambungan pada upaya edukasi, penyadaran.

“Ini, sekali lagi, bukan berarti hendak mempersilakan bagi kalian untuk mengonsumsi narkoba. Poin utamanya adalah, biarkan manusia dewasa yang mempertimbangkan. Kalaupun negara ingin mengurusi soal ini, mestinya dengan jalan edukasi, bukan langsung tangkap-menangkap seperti selama ini.”

Adapun soal pengutamaan agama dalam diskusi ini, Husni memperjelas bahwa konteks pembicaraan tak lepas dari kondisi Indonesia.

“Bahasan kita dalam konteks Indonesia. Di sini, agama sangat relevan untuk dibicarakan. Apalagi soal alkohol dan narkoba, terlebih lagi soal isu kebebasan.”

Husni pun memaparkan lebih jauh dari itu. Bahwa agama, bukan hanya negara, sebagai variabel yang paling sering melahirkan restriksi atas kebebasan individu.

“Meski demikian, di sisi lain, agama juga berperan sebagai penyalur kebebasan. Itu sebabnya saya masih mengasumsikan kolektivisme jadi jalan alternatif untuk penyebaran kebebasan individu. Ya, meski seringnya agama menjadi penghalang kebebasan berekspresi, tapi itu di sisi yang berbeda,” jelas Husni.

Di akhir, Rofi menegaskan pula sejauhmana negara harus eksis. Merujuk tradisi libertarianisme atau liberalisme klasik, negara tetap penting sebagai regulator.

“Setidaknya negara berperan mencegah adanya kekerasan, koersi manusia atas manusia lainnya. Di sanalah perlunya supremasi hukum, meski tidak harus absolut, bebas kritik.”

___________________

Artikel Terkait: