Menjadikan Sastra NTT sebagai Sebuah Gerakan Politik

Menjadikan Sastra NTT sebagai Sebuah Gerakan Politik
©Pixabay

Ulasan pendek ini ditulis ketika saya selesai membaca ulang “Hegemony and Socialist Strategy” karya Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Tanpa bermaksud menjelaskan isinya di sini, buku tersebut merupakan salah satu pemantik teoretik yang membantu kita membahami proses kepenulisan (katakanlah, sastra NTT) sebagai sebuah gerakan politik.

Bertolak dari latar belakang itulah saya berupaya memosisikan artikel ini sebagai sebuah kritik strategi gerakan yang selama ini hidup dan berkembang dalam dunia kepenulisan di NTT. Dengan alasan yang sama pula, esai ini coba memproblematisasi mengapa sastra NTT sebenarnya hanyalah ikonoklasme.

Atas cara tertentu, mirip konsep reifikasi yang diutarakan Marx. Ia dibentuk oleh akademisi tertentu (sebut saja, Yohanes Sehandi), didistribusikan melalui mekanisme tertentu, dan dirayakan sebagai sebuah prestasi.

Persis di situlah sastra NTT cukup sulit tampil sebagai sebuah gerakan politik karena masih terjebak dalam idolatria. Itu seperti seorang penganut agama Katolik yang mengamuk ketika patung Bunda Maria dirusak oleh orang sekaligus merasa tersinggung ketika disebut menyembah berhala, tanpa sekalipun mempertanggungjawabkan tindakan imannya secara rasional.

Lalu, apa itu politik gerakan atau gerakan politik? Bagaimana caranya menjadikan sastra NTT sebagai sebuah gerakan politik? Gerakan politik seperti apa yang mesti menjadi dimensi kesusastraan NTT? Apa implikasinya bagi masyarakat NTT?

Beberapa pertanyaan di atas coba kita jawab dengan terlebih dahulu melakukan reformulasi hubungan antara sastra dan politik. Di situ, ditunjukkan bahwa sastra senantiasa mengandung dimensi politik. Dimensi ini (dibuat) kabur sejak adanya pemisahan antara politik dan agama atau ruang publik dan ruang privat yang berlangsung sejak abad pencerahan; seakan-akan politik merupakan urusan administratif dan rasional (Weberian) dan sastra atau agama adalah irasionalitas yang terlembaga.

Esai ini berargumen bahwa sastra selalu mengandung dimensi politik bahkan ketika ia ditulis, diterbitkan, dibaca, dipentaskan, dan diobrolkan. Dikatakan demikian karena entah sifatnya imajinatif atau bukan, meminjam istilah Heidegger, karya sastra mesti mencapai momen poetic: penciptaan makna. Itulah dimensi politik!

Momen poetic merupakan langkah awal yang memungkinkan adanya gerakan politik. Tanpa ada momen tersebut, mustahil ada gerakan sosial politik menentang rasisme, demonstrasi melawan Omnibus Law, penuntutan pengesahan RUU PKS, #Blacklivesmatter, dan seterusnya.

Meskipun demikian, esai ini satu langkah lebih maju dalam memahami konsep gerakan. Bagi saya, gerakan politik (sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus), mesti meniru cara kerja garam yang memberi rasa dengan cara melarut dan tak terlihat sebagaimana dalam perumpaan tentang “terang dan garam”.

Sastra NTT dan Politik

Ketika berbicara tentang politik, banyak orang otomatis berpikir tentang voting, partai politk, dan mungkin aturan-aturan hukum. Beberapa yang lain, jika ada, berpikir tentang bagaimana mentransformasi relasi kekuasaan yang timpang dan bernegosiasi dengan mereka yang telanjur dianggap sebagai lawan.

Bagian terakhir inilah yang menjadi pusat perhatian dalam tulisan ini. Disebut demikian karena pemahaman tentang politik menentukan bagaimana asosiasi orang tentang kekuasaan, begitu juga sebaliknya.

Jika politik dimengerti simetris dengan cara pertama, otomatis kekuasaan bersifat terpusat dan tunggal dan dimiliki oleh institusi atau lembaga tertentu, bahkan disematkan pada aktor tertentu.

Frasa “negara adalah saya (L’État, c’est moi)” yang populer semasa pemerintahan Raja Louis XIV di Prancis merupakan salah satu contoh bagaimana kekuasaan dan aktor berkelindan satu sama lain. Hal yang sama juga tersirat dalam tradisi Marxisme konvensional di mana Marx melihat kekuasaan bersumber dari kepemilikan alat produksi. Akibatnya, politik diterjemahkan secara periodik dan momentual berdasarkan iven tertentu, entah itu revolusi maupun ritual seremonial.

Berbanding terbalik dengan konsepsi di atas, mengaktifkan dimensi politik berarti mentransformasi cara pandang lain bahwa kekuasaan itu tidak bersifat terpusat melainkan tersebar dan termanifestasi dalam setiap perjumpaan. Oleh karena itu, mendefinisikan “Sastra NTT” merupakan salah satu cara menerjemahkan fungsi politik yakni membentuk tatanan.

Sependek pengetahuan saya, istilah itu muncul pertama kali dari hasil penelitian Yohanes Sehandi. Dengan melakukan studi pustaka yang cukup mendalam dan melelahkan, Sehandi akhirnya mendefinsikan “Sastra NTT” berdasarkan dua tatanan:

Pertama, sastra NTT adalah karya sastra tentang NTT yang ditulis baik oleh penulis NTT maupun bukan penulis NTT. Kedua, sastrawan NTT adalah penulis asal NTT yang menulis berbagai tema dalam karyanya baik di media massa cetak dan elektronik maupun menerbitkan buku sendiri.

Halaman selanjutnya >>>
Hans Hayon
Latest posts by Hans Hayon (see all)