Sebagai sebuah kerja akademis, suka atau tidak suka, karya Sehandi memang patut diapresiasi. Terlepas limitasi metodologis yang terdapat dalam penelitiannya, bagi kita, ini sebuah langkah maju yang memungkinkan dilakukannya dokumentasi sastra NTT seperti itu di samping kritik sosiologis lain yang lebih signifikan di masa depan.
Alih-alih terjebak dalam perdebatan tentang metodologi penelitian, kita perlu fokus pada aspek lain yakni sastra NTT sebagai sebuah gerakan politik. Itu berarti, kita melihat dan memahami kesusastraan NTT sebagai sebuah fenomena sosiologis yang perlu dielaborasi dimensi politiknya.
Dalam bahasa yang paling sehari-hari, kita berupaya menunjukkan bahwa sastrawan NTT perlu memikirkan sumbangsih kesusastraan NTT dalam bidang pertanian, peternakan, keagamaan, pendidikan keluarga, partai politik, dan lain-lain.
Mengapa demikian? Ya, karena sastra secara inheren mengandung dimensi politik. Argumen ini dikutip dari Chantal Mouffe yang menegaskan bahwa politik pada dasarnya bukan sekadar instrumen atau sarana melainkan arena pembentukan identitas (Mouffe, 2000:80-105).
Maksudnya, kesusastraan NTT perlu direkayasa sedemikian rupa agar mampu memformulasikan bagaimana, dengan cara apa, dan untuk tujuan apa menjadi “orang NTT”. Inilah dimensi politik itu.
Sebagai misal, karya sastra dengan tema tentang perdagangan manusia, korupsi dalam institusi gereja, kemiskinan, diskriminasi rasial, konservasi dan turisme, perebutan lahan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelbagai problem lain yang terdapat dalam masyarakat NTT mestinya menegaskan bahwa “orang NTT” merupakan sebuah konsep yang tidak stabil.
Hal yang sama juga berlaku bagi konsep “sastra NTT”, “Sastra Indonesia Timur”, “Sastra Indonesia”, dan seterusnya. Dengan kata lain, baik “orang NTT” maupun “Sastra NTT”, dua-duanya adalah produk kerentanan dan stabil tidaknya bergantung pada wacana apa di mana ia bernaung.
Hal yang sama juga diterapkan dalam konteks bangsa Yahudi yang mendefinisikan kebangsaan mereka dengan orang yang tidak memiliki tanah karena adanya imajinasi ideal mengenai Tanah Terjanji. Itu berarti, definisi itu dibuat bertolak dari kekurangan terhadap sesuatu (yakni tanah). Kekurangan konstitutif inilah yang memberikan semacam tanggung jawab untuk terlibat dalam beberapa persoalan sosial politik (Zizek, 2005:154-155).
Sastra NTT sebagai Sebuah Gerakan Politik
Kekurangan konstitutif yang selalu ada dalam tubuh “orang NTT” mestinya menjadi latar belakang utama lahirnya karya sastra berwarna daerah NTT. Ini juga hal yang membuat saya cukup pesimis ketika menemukan banyak sekali karya yang dihasilkan oleh penulis NTT yang tidak serius bahkan pada level teknik menulis, di samping karena dikerjakan secara individual dan bukan hasil diskusi atau perjumpaan langsung dengan kontes masyarakat NTT.
Mengapa hal ini saya sebut penting, karena karya yang lahir dari pengalaman individual hanya akan memenuhi hasrat narsistik penulis semata: ditulis di dalam kamar yang sepi, dikirim dan diterbitkan di media massa, lalu dipamerkan kepada kawannya yang tidak tahu menulis.
Maksud saya sederhana. Tanpa bermaksud menghina teman-teman saya yang suka menulis, esai ini menawarkan sekurang-kurangnya empat harapan sekaligus langkah strategis yang mesti kita lakukan bersama-sama.
Pertama, kerja sama antarkomunitas penulis di NTT (Flores, Timor, Sumba, Alor, Lembata, Solor) untuk merumuskan persoalan bersama yang akan diulas dalam karya masing-masing.
Sependek pengamatan saya, selama ini, masing-masing komunitas dibentuk, entah dengan tujuan apa, tanpa melibatkan kerja sama dengan komunitas lain. Akibatnya, program atau kegiatan kesusastraan yang diinisiasi oleh salah satu komunitas dianggap tidak penting bahkan dipandang remeh oleh komunitas lain.
Memang, ada banyak penulis hebat dari NTT yang kini telah berkiprah di level nasional bahkan internasional. Namun jika kebiasaan buruk ini tidak diperbaiki, bukan mustahil, kesusastraan NTT hanya menjadi medan bagi orang untuk saling sikut, menghina, dan bersaing secara tidak sehat.
Bagaimana mungkin mengimajinasikan NTT jika kesusastraan sebagai salah satu dimensi konstitutif pembentukan masyarakat justru masih labil?
Kedua, merekayasa relasi strategis antarpelbagai elemen guna menempatkan agensi politik dalam tubuh kekuasaan birokrasi yang mengurus kesusastraan NTT.
Baca juga:
- Produksi dan Konsumsi Sastra Pop: Religious Lit dan Cyber Lit
- Sastra Protestan John Milton yang Membebaskan
Hal ini penting karena tanpa ada agensi politik, sampai kapan pun, keluhan tentang tidak adanya perhatian pemerintah (provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa) terhadap kancah kesusastraan akan terus berlanjut. Dengan kata lain, setiap komunitas perlu menempatkan agen-agennya dalam rangka mendesiminasikan gagasan bersama di pelbagai institusi strategis (agama, birokrasi pemerintah, dan masyarakat adat).
Ketiga, meskipun demikian, dari hati yang tulus, saya sangat mengapresiasi semangat beberapa kawan muda yang menekuni dunia kepenulisan, terutama karya sastra, baik di media massa maupun media sosial. Ini merupakan sebuah kabar yang cukup menggembirakan bagi masa depan proses kreatif di NTT.
Menghadapi fenomena makin menjamurnya penulis-penulis atau orang yang baru belajar menulis dari NTT, dua strategi yang telah digambarkan di atas perlu dilakukan di sini dan sekarang (hic et nunc). Anjuran ini ditujukan kepada pengurus atau pemimpin setiap komunitas penulis di NTT. Jika tidak, generasi muda yang bagus semangatnya tersebut hanya akan mengulangi kesalahan sama yang pernah kita lakukan.
Sumber:
- Chantal Mouffe. 2000. The Democratic Paradox. bab 4 “For Agonistic Mode of Democracy”. London: Verso.
- Zizek, Slavoj; Santer, Eric L; Reinhard, K. (eds.). 2005. The Neighbor: Three Inquiries in Political Theology. Chicago and London: The University of Chicago Press.
*Esai ini pernah dipublikasikan di media komunitas para frater di Kupang. Saya lupa apa nama medianya dan kapan tanggal terbitnya. Mohon maaf.
- Mengapa Kita Tertarik pada Kasus Pembunuhan? - 5 September 2022
- Menjadikan Sastra NTT sebagai Sebuah Gerakan Politik - 31 Agustus 2022
- Usia - 20 Agustus 2022