Menolak Dunia Tipu-Tipu

Menolak Dunia Tipu-Tipu
©Portal Ekonomi

“Dari mana datangnya cinta, dari Facebook turun ke WA. Dari mana datangnya kecewa, pas jumpa wajahnya beda.” (Quotes by Ibu-Ibu)

Kehidupan sosial manusia dalam berinteraksi di mana saja, kapan saja, selalu menampilkan dirinya sebagai pemain teater yang setiap saat penampilannya dapat berubah-ubah bergantung pada konteksnya. Hal itu terjadi pada kehidupan kita, siapa pun kita, apa pun agamanya, berikut jabatannya dan dalam kondisi apa pun, kita selalu berinteraksi dalam simbol-simbol. Mungkin tanpa kita sadari, itu semua terjadi dalam setiap “adegan”,pada sebuah “sandiwara” kehidupan.

Di era ini, berjuta orang telah menyelam serta menghanyutkan diri sekaligus di dalam dunia maya atau sering disebut cyberspace (ruang virtual). Orang-orang melihat ruang virtual ini menjadi wahana baru untuk mengekspresikan berbagai hal karena dunia virtual menjanjikan berjuta kesenangan, pengetahuan, pengalaman, cuan dan banyak hal lainnya, sejalan dengan berbagai manfaatnya berikut dunia virtual juga penuh kepalsuan, berbahaya, ujaran kebencian, berita hoaks, berjuta kesemuan, ketidakpedulian sampai berbagai tindakan kejahatan lainnya yang mulai massif dilakukan di dunia virtual.

Dunia realitas virtual, menurut Slouka, tidak mampu menjadikan kita sebagai manusia yang memiliki nilai sebagaimana hal yang dijanjikan. Justru dunia virtual menjadikan kita sebagai makhluk yang super instan, pemalas dan mudah ditipu.

Kita sering kali menerima apa saja yang disajikan di dunia virtual tanpa mencari kebenaran, sehingga segala hal selalu ditelan dengan begitu saja. Dunia virtual menjadikan kita terperangkap di dalam sebuah dunia yang menjadikan diri kita sebagai the silent majorities.

Realitas virtual yang selalu berdampingan dengan kita sehari-hari bukanlah representasi kebenaran ataupun kenyataan. Manusia di abad ini telah memasuki dunia baru, dunia itu merupakan dunia yang melampaui realitas kehidupan sehari-hari. Hampir setiap hari kita terjajah oleh dunia tersebut yang mengakibatkan kaburnya peristiwa sehari-hari yang tampak nyata menjadi tak kasat mata akan kebenarannya.

Manusia di era ini sering saja menganggap bahwa persoalannya dapat dipecahkan teknologi realitas virtual, berharap segala cita dan kompleksitas kehidupan dapat terwujudkan oleh realitas virtual adalah kekeliruan. Terlebih banyak fenomena mulai dari bergesernya otoritas agama, diseminasi ibadah ke ruang virtual sampai berbagai ritual lainnya.

Berikut dengan berbagai flexing dunia kekinian (pamer) sesuatu yang dimiliki ikut meramaikan kehadiran realitas virtual yang tak terbantahkan, menampilkan citra diri yang penuh kepalsuan, ada apanya bukan apa adanya yang justru banyak menggait simpati para masyarakat dunia maya. Realitas virtual tidak hanya menjelma sebagai lalu lintas citraan, melainkan kehidupan konsumerisme yang sudah melekat dalam kehidupan manusia abad ini.

Seperti yang dikatakan oleh Meadows, kita tidak menolak berbagai kemajuan teknologi dan sosial. Namun kita menolak berbagai persepsi yang menganggap ruang virtual menjadi solusi berbagai masalah kehidupan.

Baca juga:

Hal yang menjadi penting adalah pengendalian ruang virtual agar tidak menjerumuskan dan melewati batasan-batasannya. Agama, moral, akhlak, dan tentunya kebenaran. Selain tidak bisa mewakili berbagai persoalan, realitas virtual banyak mengajarkan kepalsuan seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal yang paling konkret munculnya filter untuk mengubah berbagai bentuk asli wajah misalnya, sederhana namun berdampak pada berbagai persepsi. Tidak sedikit orang yang tertipu dengan hal demikian.

Pada dasarnya memang realitas virtual ini sangatlah penuh dengan dunia tipu-tipu, mengingat di dunia maya tidak ada batasan, manusia tidak mampu dikendalikan, berikut identitas yang bisa dipalsukan, kebenaran yang dihilangkan, fragmentasi otoritas dan banyak lagi.

Fenomena ini juga menurut penulis sejalan dengan teori Dramaturgi Erving Goffman bahwa dalam interaksi sosial manusia sering menampilkan panggung depan (front stage)  yang justru sangat berbeda dengan panggung belakang (back stage). Dunia Maya selalu dipenuhi hal-hal yang menutupi kebenarannya.

Misalnya orang yang selalu membuat status galau belum tentu galau, orang yang selalu menampilkan potongan video baik ceramah atau bijak tidak menggambarkan dirinya yang alim ataupun bijak. Semuanya serba penuh kecurigaan dan ketidakpastian.

Realitas virtual justru mendorong kita untuk selalu menampilkan hal yang baik untuk bisa dikonstruksi sebagai hal yang positif untuk mencitrakan diri kita dalam kehidupan sosial. Maka dari itu kita perlu menghindari dunia tipu-tipu ini minimal dengan perbanyak literasi agar tidak cepat mengambil keputusan ketika melihat pesan yang propokatif, perbanyak diskusi agar wawasan tidak bermental gogglenisasi, dan terakhir perbanyak relasi agar pergaulan tidak stagnanisasi.

Ibnu Azka
Latest posts by Ibnu Azka (see all)