Mentalitas utopis sering kali hadir sebagai ilusi—sebuah gambaran indah tentang dunia yang ideal, di mana semua orang hidup dalam harmoni, keadilan, dan kesejahteraan. Namun, dalam konteks politik dan sosial Indonesia, mentalitas ini dapat menimbulkan efek pembungkaman demokrasi yang berbahaya. Ketika suara rakyat direndahkan dan aspirasi mereka diabaikan, maka idealisme utopis tersebut hanya akan menjadi sekadar fantasi yang menjauh dari kenyataan.
Dalam buku-buku filsafat politik, kita sering menemukan diskusi tentang konsep idealisme, di mana utopia dianggap sebagai tempat sempurna. Namun, di lapangan, utopia jarang dapat dicapai. Ketika pemerintahan berusaha membungkam suara rakyat atau menekan perbedaan pendapat, mentalitas utopis menghasilkan efek yang merugikan. Rakyat, yang seharusnya menjadi ujung tombak demokrasi, merasa teralienasi dan tidak berdaya. Ketika rencana-rencana megah yang dijanjikan pemerintah tidak terwujud, kita harus bertanya: Apa yang hilang dalam ekosistem demokrasi kita?
Pembungkaman suara rakyat dalam masyarakat yang mengakui demokrasi bisa disamakan dengan memadamkan nyala api harapan. Bak sebuah lilin yang menyala, suara rakyat memberikan cahaya dan arah. Namun, ketika dilakukan penekanan, nyala itu mulai redup. Jika mentalitas utopis terus dominan, maka masyarakat akan semakin jauh dari realitas yang ada. Kejayaan imaji utopis ini hanya akan menutupi kebobrokan sistem yang seharusnya melayani rakyat.
Hal ini terlihat jelas di beberapa kebijakan publik yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat, tetapi justru lebih mengedepankan kepentingan segelintir orang. Seperti sebuah cermin retak, kebijakan tersebut tidak hanya menggambarkan wajah yang cacat, tetapi juga menipu banyak orang untuk percaya pada keindahan yang tidak nyata. Realitas yang pahit bersembunyi di balik tirai janji manis.
Satu hal yang krusial untuk diperhatikan adalah bahwa mentalitas utopis sering kali muncul dari ketidakpuasan yang mendalam terhadap status quo. Ia bisa dilihat sebagai reaksi terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, utopia bisa menjadi alat, bukan untuk memumukkan, melainkan untuk membangkitkan. Dengan kata lain, keinginan untuk menciptakan sebuah dunia baru seharusnya bukanlah alasan untuk membungkam keberagaman suara, tetapi justru menjadi pendorong untuk memperkuat demokrasi.
Seiring berjalannya waktu, panggung politik Indonesia telah menampilkan banyak sosok yang mengaku ingin menciptakan utopia. Namun pertanyaannya adalah: Apakah mereka siap mendengarkan suara-suara yang berbeda? Dalam praktiknya, banyak yang terjebak dalam ilusi kekuasaan, menciptakan batasan bagi diskusi yang seharusnya terbuka. Metafora yang tepat untuk menggambarkan keadaan ini adalah laksana burung yang terkurung dalam sangkar emas. Meski terlihat menawan, ia tidak dapat merasakan kebebasan sebenarnya.
Penting untuk menyadari bahwa demi mencapai utopia yang nyata, keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat sangatlah penting. Partisipasi yang inklusif harus menjadi fondasi demokrasi kita. Masyarakat harus diberdayakan, suara mereka harus didengar. Seperti pohon yang menjalar, masyarakat perlu tumbuh dan berakar kuat dalam tanah demokrasi, sehingga dapat menyokong pohon pencapaian utopis yang diimpikan. Keterbukaan menuju dialog dan perdebatan akan menciptakan ruang yang subur bagi ide-ide baru dan inovasi.
Utopia yang diinginkan tidak dapat terwujud tanpa kompromi dan saling menghormati. Ketika semua suara dipertimbangkan, maka barulah kita bisa maju menuju harapan bersama. Sistem demokrasi bukanlah milik segelintir elite politik, melainkan milik seluruh rakyat. Dengan memberdayakan masyarakat untuk berbicara, maka kita akan menghilangkan mentalitas pembungkaman yang selama ini menyelimuti.
Bukan rahasia bahwa di banyak negara, termasuk Indonesia, munculnya sistem otoritarian sering diselubungi dengan klaim untuk mencapai tujuan utopis. Pemimpin yang terpilih kadang terjebak dalam rutinitas kekuasaan mereka, melupakan cita-cita awal mereka. Kelopaknya mulai menguncup, dan harapan yang seharusnya mengalir dengan bebas justru terperangkap dalam rutinitas administrasi yang kaku.
Bagaimana kita bisa mewaspadai dan mengatasi tantangan ini? Pertama-tama, pendidikan politik harus menjadi prioritas. Masyarakat perlu dilatih untuk memahami dan menghargai peran critera dalam demokrasi. Kesadaran akan hak-hak sipil dapat membuka jalan untuk dialog yang jujur dan konstruktif. Dengan pengetahuan, masyarakat dapat melawan budaya pembungkaman.
Kedua, menghasilkan ruang bagi aktivisme publik yang berarti. Ketika aktivisme berakar di dalam masyarakat, ia akan membawa rasa tanggung jawab kolektif. Hasilnya, semua suara akan memiliki bobot yang sama dan seperti aliran sungai, harapan akan mengalir melintasi batasan-batasan yang ada. Dengan demikian, mentalitas utopis tidak akan dijadikan alasan untuk menyingkirkan suara yang berbeda, melainkan untuk memperkuat demokrasi itu sendiri.
Akhirnya, menjadikan mentalitas utopism sebagai sumber inspirasi untuk membangun bangsa yang lebih baik dan berdaya saing adalah langkah yang bijak. Ketika pembungkaman demokrasi diatasi oleh keberagaman suara dan partisipasi aktif, utopia bisa menjadi kenyataan. Dalam dunia yang ideal, suara rakyat akan menjadi melodinya, dan bersama-sama kita akan menari dalam harmoni, mendekati cita-cita demokrasi yang sesungguhnya.






