
Kita tahu, kebiasaan mengurangi makan atau lapar, di kalangan sufi bukanlah sesuatu yang baru atau cerita-cerita dongeng. Kebiasaan itu bahkan sudah menjadi tradisi yang sangat dibanggakan karena sebagai tolok ukur kualitas mujahadah dan riyadhoh seseorang sufi.
Diceritakan bahwa Sahl bin Abdullah dalam waktu dua puluh lima hari hanya makan satu kali. Bila datang bulan ramadhan, tidak pernah mengenyam makanan sedikit pun. Ia berbuka puasa dengan minum air tanpa makan sedikit pun.
Hal itu dilakukannya selama bulan ramadhan. Ia mengatakan: “Allah telah menjadikan kebodohan dan maksiat di dalam perut yang kenyang, dan menjadikan ilmu dan hikmah di dalam perut yang lapar”. Ia merasakan lemah bila perutnya diisi dengan makanan. Sebaliknya, merasakan dirinya kuat bila dalam keadaan lapar.
Hidup melarat, lapar, dan pasrah sepenuhnya kepada kuasa Allah swt., adalah tingkatan para khawwash yang mengembara ke berbagai pelosok dunia tanpa bekal apapun. Mereka sangat yakin akan kemurahan Allah untuk membuatnya dapat memperoleh makanan halal, atau Allah membuatnya rela mati kelaparan. Rupanya, kebiasaan itu salah satu keutamaan yang melekat pada diri para sufi sebelum al-Ghazali seperti al-Tustari, al-Muhasibi, al-Basthami dan para sufi lainnya.
Yang jelas, uzlah berarti menjauhi keramaian dunia dan pergaulan manusia. Untuk menguatkan uzlah maka dilakukan khalwat. Khalwat berarti menyepi dalam kesendirian dan hanya mengingat Allah swt. Dzikir yang dilakukan selama ber-khalwat adalah istighfar, shalawat, dzikr nafy, dzikr itsbat, dan dzikr ism Dzat.
Al-Ghazali menegaskan bahwa uzlah adalah amaliah wajib bagi setiap salik, yaitu menjauhkan diri dari setiap keburukan dan dari para pelaku keburukan. Sebab, keselamatan seorang salik sangat bergantung kepada kebiasaannya melakukan uzlah.
Amalan khalwat tiada lain adalah dzikrullah dengan cara terus menerus dan intensif, dengan cara menyendiri selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu. Anjuran untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan uzlah yang sesuai dengan semangat anti kerahiban dalam sufi, menjadi ciri khas Tariqat Naqsyabandiah, tetapi juga diterima secara luas oleh sufi-sufi lainnya.
Bagi al-Ghazali, khalwat yang dilakukan dengan memperbanyak dzikir akan membawa seorang salik mencapai istighraq dengan Allah swt. secata total. Kemudian, ia akan mengalami musyahadah dan pada akhirnya akan fana’ di hadirat Allah. Dalam keadaan demikian, Allah swt. akan menampakkan diri (tajalli) dan salik dengan kekuatan mata hatinya menyaksikan kehadiran-Nya.
Baca juga:
Syahdan, umumnya, seseorang mendefinisikan uzlah sebagai media sangat efektif bagi seorang salik yang ingin mendapatkan kenikmatan dalam beribadah dan munajat kepada Allah swt., serta pencarian terbukanya setiap rahasia Allah swt., baik rahasia yang ada di balik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Bagi Dzu al-Nun al-Mishri, kebahagiaan seseorang justru lahir ketika ia berada di dalam situasi khalwat dan munajat kepada Allah swt. Selain itu, bagi al-Ghazali, uzlah akan membantu seorang salik dalam usaha menjauhkan diri dari bahaya empat akhlak tercela yang paling pokok yaitu: ghibah, namimah, riya’, dan ketidakberdayaan dalam melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Berbeda dengan ahli haqiqat yang meyakni bahwa, khalwat adalah sifat khusus kaum sufi. Uzlah adalah salah satu tanda keberhasilan salik menuju kedekatan dengan Allah. Uzlah yang dilakukan para khawash tidaklah lain adalah menjauhkan sifat-sifat manusiawi menuju kepada sifat-sifat malakiah, meskipun tetap dalam keadaan hidup secara berdampingan dengan masyarakatnya. Atau menjauhi sifat-sifat tercela dan menjauhinya.
Para sufi menyebutkan, orang yang ma’rifah secara lahiriah ia tetap bersama-sama dengan orang banyak, tetapi secara batiniah dia tidak bersama mereka. Ungkapan yang menunjukkan sikap seorang sufi yang adaptatif, dalam hal ini ketetapan hati dan jiwa yang istiqomah, tidak condong sedikit pun kepada hal-hal duniawi.
Tahapan kedua adalah dilalui dengan jalan melanggengkan diam, melanggengkan berada di rumah dalam arti tidak suka bepergian, sabar menerima makanan secara apa adanya dan merasakan cukup terhadap hal-hal yang halal, dan mujahadah sepanjang hayat. Nabi saw menyatakan: “Barang siapa ridha dengan pemberian atau rezeki yang sedikit, maka Allah ridha terhadap amal ibadahnya yang sedikit. Dan, siapa saja yang ridha kepada Allah, maka Allah juga meridhainya.”
Al-Ghazali menilai mujahadah yang djalani dengan cara melanggengkan wudhu, berpuasa, diam, khalwat, dan dzikir yakni mengucap laailaha illallah adalah merupakan metode yang lazim dilakukan oleh para sufi pada umumnya, terutama al-Junaid al-Baghdadi.
Kemudian, tahapan ketiga adalah menjalani empat tahapan pengendalian diri. Pertama, kemampuan memerangi godaan syaitan. Kedua, kemampuan menahan lapar. Ketiga, kemampuan menahan diri dari kebiasaan buruk seperti riya’, sum’ah, takabbur, hub al-Dunya, hub al-Jah, hub al-Syahawat, dan hub al-Mal.
Semua sifat dan akhlak tercela tersebut merupakan hambatan menuju kepada Allah yang melekat pada hawa nafsu. Demikian pula ibadah yang diniatkan untuk mencari pahala semata, atau dimaksudkan untuk memperoleh ilmu laduni agar mendapatkan predikat wali Allah, itu semua menandakan ketidak ikhlasan hati.
Halaman selanjutnya >>>
- Telaah Konsep Manusia Sempurna menurut Ibnu Arabi - 13 Maret 2023
- Letak dan Posisi Ilmu pada Masa Kejayaan Islam - 13 Maret 2023
- Pentingnya Sikap Toleransi untuk Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia - 13 Maret 2023