Menyorot Humanisme dalam Teknologi

Perubahan yang terjadi karena teknologi tidak hanya tentang mereka yang mati kena bom, dan tidak hanya ia yang berkuasa saat perang. Akan tetapi, dampak selain itu, manusia juga cenderung individual dan seakan asing dengan dunia sekitarnya, karena keasyikan dengan gadget yang selalu memanjanya dengan hal-hal baru. Seakan-akan teknologi sudah menjadi kebutuhan pokok yang harus ia rasakan dan nikmati.

Jika apa yang Aristoteles ramalkan tentang hidup manusia selalu bergantung pada hidup orang lain, saat ini dengan tegas saya katakan bahwa itu hanyalah sebagian saja. Ketergantungan manusia pada manusia sudah berbanding lurus dengan ketergantungan manusia pada teknologi.

Perkembangan ilmu pada abad modern merupakan sebuah potret dunia keilmuan yang menggiring manusia ke lembah radikalisme. Sangatlah jauh berbeda dengan zaman klasik dan pertengahan yang lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, alam, dan ketuhanan.

Seperti filsuf-filsuf yang lahir pada waktu itu; Thales yang mengatakan bahwa air adalah prinsip dasar dari segala sesuatu; Al-Kindi yang menyatakan baginya yang Esa itu hanyalah Tuhan sebagai sebab sejatinya gerak; serta Aristoteles dengan konsep manusia yang hidup selalu berdampingan dengan manusia lainnya.

Dalam agama Islam, bahwa yang paling sempurna makhluk di mata Tuhan adalah manusia (QS. Al Isra’: 70). Hal itu terukur dari kompleksitas kesadaran dan perasaan yang selalu membimbing manusia untuk menimbang baik dan buruk, sehingga baik untuk dirinya, begitu pula untuk orang lain. Jadi, suatu hal yang tidak mungkin jika ciptaan melebihi penciptanya, meski kadang kala bencana selalu datang di kemudian hari.

Tidak hanya itu, sebenarnya Indonesia juga mempunyai konsep tersendiri tentang bagaimana berkemanusiaan yang baik. Konsep itu lahir dari founding father kita, yaitu Ki Hadjar Dewantara.

Menurutnya, manusia akan menggapai kesempurnaan jika dari jiwanya tertanam cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, setiap tindak tanduk manusia harus senantiasa bersinergi antara hasil olah pikir, olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Sehingga kemungkinan negatif adanya teknologi yang superior di masa depan akan lebih kecil dari ketidakmungkinan positifnya. Hal tersebut tentu harus terbentuk dari kesadaran setiap manusianya.

Kejujuran yang saya tuangkan sepanjang catatan ini adalah hasil kontemplasi panjang dari kekhawatiran yang berujung pada akhir tulisan ini. Semua itu bukan berarti saya mengklaim bahwa teknologi itu selalu baik begitu pula buruk. Buktinya, saya dapat menyelesaikan tulisan yang jauh dari sempurna ini pun karena teknologi.

Oleh sebab itu, sudah menjadi sebuah keharusan bagi seorang telematika untuk selalu menyadari, memperhatikan, dan menimbang dampak positif dan negatif setiap ciptaannya, terutama humanisme dalam teknologi.

*Abd. Warits, Mahasiswa Hukum dan Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; asal Jawa Timur

Baca juga:
Kontributor