
Kisahku berawal dari luar nalar. Bagaimana jika aku jauh, meninggalkan rumah dan keluarga, dan berusaha bertahan hidup di kota orang demi impian yang ada di benakku.
Terkadang keadaanku perih, sakit, lemah, senang, dan bangga. Tak banyak orang tahu, dan kuyakini Tuhan selalu ada untukku.
Aku betah dan bertahan atas semua hal. Bahkan aku berusaha mencari kenyamanan, hingga aku berani memilih sesuatu di luar impianku. Aku bergabung dalam organisasi di kampus. Aku menjadi keluarga besar Mapala. Itu semua di luar dugaanku. Aku hidup tanpa uang, namun saudaraku di Mapala-lah yang mengerti.
Terkadang aku putus asa berjuang di rantau. Tetapi, jika itu kulakukan, maka aku orang yang lemah. Rasa ingin pulang kampung sering muncul di pikiranku. Tapi itu semua hanyalah sebuah kebohongan semata. Terkadang aku merasa jenuh dengan rutinitas sehari-hari, terkadang juga aku berbahagia atas kegiatan sehari-hari.
Aku sadar, aku datang untuk mengasah diri. Pikiran bisa diasah, karakter bisa diasah. Taktik membunuh pun bisa jika perlu, asalkan jangan putus asa.
Kalau memang sudah putus asa, ada berbagai taktik untuk mengatasi hal itu. Dan tidak bisa juga dan akan tetap putus asa? Hanya ada satu jalan: berjuanglah terus walaupun dalam keadaan putus asa.
Bersyukur
Aku bersyukur. Semua ini pelajaran klasik, mengajariku untuk melalui proses, tersebab proses tidak menghianati hasil.
Memang layaknya aku hidup di rantauan. Aku berbeda teman yang lain. Mereka tumbuh besar dari bapak dan ibunya. Sedang aku? Aku dibesarkan oleh kakek dan nenek. Aku dididik kakek sudah sejak beberapa tahun yang lalu.
Memang sepantasnya aku hidup di perantauan. Memang selayaknya aku beradu nasib di kota orang. Sebagai putra pertama dan terakhir, itulah takdir Tuhan.
Teman-temanku berlomba-lomba untuk pulang kampung dengan alasan ingin menemui bapak ibu yang menanti. Namun itu aku berbeda. Aku lebih memilih untuk diam diri di rantau saja. Tersebab bagiku percuma pulang, dan itu otentik. Puasa dan lebaran tiga kali lewat, aku jalani hanya di rantauan.
Di rumah, aku tidak melihat bapak ibu. Di rumah, aku hanya melihat pahlawanku, sang kakek dan nenek.
Orang yang melahirkanku dari kandungan, aku sudah berpisah sejak umur 3 tahun. Bapak ibuku, mereka bercerai hingga saat ini aku belum tahu alasan. Aku dibesarkan kakek, aku disekolahkan kakek, dan aku dibiayai kakek bersekolah.
Namun itu terasa lebih pedih ketika aku ingin lanjut di perguruan tinggi. Aku dapat biaya dari siapa? Teman dekatku pun tidak tahu permasalahanku. Di kemudian hari aku dapat surat dari pihak kampus perguruan tinggi swasta Jogja.
Hal kebetulan kala itu bapak datang ke rumah kakek. Ia melihat surat yang tergeletak di meja, berisi informasi tentang kampus bahwa aku bebas tes masuk perkuliahan.
Beberapa jam kemudian, bapak mencari dan berkata, “Pergilah, Nak, menuntut ilmu.” Kata seperti itu pertama kali terdengar di telingaku. Betapa bahagianya hati ini, aku pun menyahut seruan dengan cepat.
Waktu itu aku pertama kali minta di beliin HP, alasanku pun berbelas kasih. Aku butuh alat komunikasi biar bisa komunikasi ke siapa saja ketika perlu. Beberapa jam sebelum aku benar-benar ingin berangkat, baru dipenuhi oleh bapak. Aku tahu, bapak ibu menyangi anak pertama mereka.
Tapi kedua orang tuaku sama-sama punya anak yang bukan saudara sekandungku. Aku anak tunggal dari bapak ibu. Kata tunggal yang kalian tahu-menahu tidak sesuai keadaanku. Tetapi pada faktanya aku yang akan menjadi manusia merdeka.
Ayah Ibu, doa di setiap sujud kalian, buatlah melaju menyertaiku. Biar aku mudah menuju kesuksesan. Doamu kebutuhanku, hanya itulah amunisiku. Aku jauh dari kalian
Ayah Ibu, perkenankan aku berkata jujur. Rasa yang kupendam selama ini, yang ada di hatiku ialah aku ingin memeluk kalian. Aku belum pernah merasakan hal itu sejak kecil.
Aku merindu tanah kelahiran, aku merindu teman-temanku, aku merindu keluargaku, tetapi lebih rindu pahlawanku, sang kakek. Kerinduan untuk kakek sudah tak ternilai olehnya sebab dia sudah tiada.
Setahun aku di perantauan kabar buruk dari kampung bahwa kakek sudah duluan. Betapa sakit hati ini. Semangatku tak tenggelam oleh musibah. Untuk itu aku melompat dari kebodohan, sebab pesan’beliau seperti itu.
Aku punya impian dan cita-cita. Aku punya mimpi yang besar, aku punya kemauan yang tinggi, dan aku sadari tentu ada pengorbanan yang akan kulakukan; salah satunya adalah menahan rindu pada tanah di mana aku dilahirkan, dan menghirup udara pertama kali di bumi.
Ayah Ibu, aku anakmu yang tangguh dan pemberani. Aku anakmu yang tegar punya antusiasme. Terima kasih kalian sudah mempercayaiku, mengizinkanku menjadi orang yang petualang, yang kuat menghadapi duniawi. Aku akan pergi mendidik diri sendiri, aan aku akan datang dengan diri yang terdidik.
Ayah Ibu, jangan khawatir, Kakek sudah berpesan bahwa kita boleh merantau sejauh mungkin. Dan di mana mungkin, tetapi kamu lahir di mana dan asalmu dari mana. Kamu boleh merantau, tapi ingat jangan lupa kembali.
*Klik di sini untuk membaca sajak-sajak lainnya.
- Reforma Agraria dalam Renungan - 4 Desember 2019
- Biaya Pendidikan Mencekik Anak Petani - 6 November 2019
- Pendidikan sebagai Pembebas Kaum Marginal, Petani, dan Miskin Kota - 3 November 2018