Mesianisme Politis

Mesianisme Politis
©Islami.co

Kata mesias berasal dari bahasa Ibrani mashiah yang berarti “yang diurapi”. Di dalam bahasa Yunani, kata mesias diterjemahkan dengan kata kristos, dan dari situlah dikenal sebutan Kristus yang menjadi salah satu gelar Yesus. Sebutan mesias berakar dari pengertian Yahudi mengenai seorang tokoh pada masa depan yang akan datang sebagai wakil Allah untuk membawa keselamatan bagi umat Yahudi. Konsep mesianik ini dikenal juga di dalam agama-agama yang berakar dari Abraham, yakni kekristenan dan Islam.

Di dalam kekristenan, Yesus Kristus dipercaya sebagai mesias yang telah dinanti-nantikan untuk membawa keselamatan dari Allah kepada manusia. Sedangkan di dalam Islam, konsep mesianik terdapat di dalam pemahaman Islam mengenai Isa/Yesus yang akan datang pada hari penghakiman untuk mengalahkan dajjal. Pemahaman ini tidak terdapat di dalam Quran, melainkan bersumber dari Hadis.

Kata mesias merujuk kepada orang yang diurapi Allah, sesuai kebiasaan Israel kuno yang melihat tindakan pengurapan sebagai tanda pemilihan dan pengudusan Allah. Orang yang diurapi dianggap sebagai milik Allah dan mendapat tugas khusus.  Tokoh-tokoh yang dilantik dengan pengurapan biasanya raja dan imam, ataupun tokoh yang dipilih oleh Tuhan sendiri

Dewasa ini mesianisme bukanlah sebuah konsep kaku yang hanya berkutat pada urusan keagamaan tetapi merupakan konsep lentur yang mengalami pelebaran sampai ke dalam bidang sosial politik. Perluasan makna tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis yang tak dapat disangkal.

Jika dalam konteks keagamaan mesias dipandang sebagai tokoh penyelamat, maka dalam konteks sosio-politis mesias dipandang sebagai tokoh politik yang dihadirkan untuk menuntaskan segala penderitaan yang mendera rakyat, tokoh politik yang diurapi oleh rakyat untuk membebaskan rakyat dari segala macam kerumitan ekonomi. Gerakan mesianisme dalam konteks sosio politik inilah yang saya sebut sebagai mesianisme politis.

Masa kampaye tak ubahnya sebuah pameran publik. Orang-orang sibuk menyiapkan strategi dan rencana untuk memajangkan sosok calon pemimpin yang menjadi unggulan tiap partai politik dalam etalase publik. Sosok calon pemimpin tersebut dibalut dengan predikat mesianisme politis yang siap hadir untuk mengatasi segala persoalan yang diderita masyarakat.  Hampir jarang kita mendengar dalam masa kampaye itu disajikan informasi-informasi yang berkaitan dengan kekurangan sang calon pemimpin. Yang lebih miris adalah saling serang antarcalon melalui penciptaan kabar bohong atau hoax. Ini bukan menjadi sebuah rahasia lagi.

Musim pemilu tak lain merupakan momen emas lahir dan berkembangnya sosok mesianisme politis dadakan seperti jamur di musim penghujan. Kehadiran mesianisme politis dalam atmosfer pemilu perlu dicermati sebagai sebuah fenomena sosio-politis. Musim ini ditengarai sebagai salah satu upaya untuk merebut simpati rakyat menjelang Pilpres 2019. Mereka hadir dengan menjual retorika sebagai pembebas di tengah kerumitan persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.

Terlepas dari apakah retorika yang dijual itu akan benar-benar diaplikasikan dalam tindakan nyata itu menjadi tanggungjawab moral masing-masing. Namun satu hal yang perlu dicatat adalah perlunya sikap kritis masyarakat akan setiap janji dari bibir calon pemimpin sebab apa yang dikatakan di bibir bisa merupakan sebuah pembohongan dan pembodohan masyarakat demi meraup simpati rakyat dalam ajang pemungutan suara.

Baca juga:

Perlunya Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

Kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skills) tidak hanya sekadar menjadi entitas yang penting dalam ranah pendidikan tetapi juga dalam ranah sosio-politis. Perlunya kemampuan jenis ini menjadi sebuah konsekuensi yang memang harus dimiliki oleh rakyat di tengah atmosfer sosio-politis yang menhadir ‘setan bersuara malaikat’.

Manusia pada era global berpikir saja tidak cukup, melainkan harus berpikir tingkat tinggi (Koswara, 2014). Menurut Pohl (Lewy, Sukardi & Aisyah, 2009) menyatakan bahwa kemampuan melibatkan analisis, evaluasi, dan kreasi dianggap sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi. Menurut Brookhart (2010) kemampuan berpikir tinggkat tinggi meliputi kemampuan logis dan penalaran (logic and reasoning), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), dan kreasi (creation), pemecahan masalah (problem solving) dan pengambilan keputusan (judgment).

Sebagai seorang penjual retorika, seorang calon pemimpin akan berusaha sedemikian hingga retorika yang dijualnya dalam kampaye menjadi laku. Ia akan berusaha membungkus retorika itu dalam sebuah idealisme demi kemashalatan rakyat. Jika kita perhatikan dengan seksama maka ada beberapa calon yang menyuguhkan idealisme yang dibungkus dalam visi misi yang tidak masuk dalam akal sehat. Mereka menghidangkan janji-janji manis hanya untuk membuai rakyat yang tengah didera sederet kesengsaraan dalam bidang ekonomi.

Kita bisa berkaca pada pemilu DKI Jakarta beberapa tahun silam yang berhasil menghantarkan calon pemimpin ke pucuk pemerintahan dengan beberapa program kerja yang aneh bin ajaib yakni program rumah DP 0 rupiah. Program yang sempat alot dan sengit diperbinangkan berbagai pihak. Banyak orang memandang program tersebut tidak masuk dalam akal sehat sebab secara matematis dan ekonomis program tersebut muskil.

Tetapi dengan rationalisasi dan tidak adanya kemampuan berpikir tingkat tinggi, mereka berhasil meraup suara rakyat yang termakan janji manis. Jangan heran kalau sejumlah fraksi di DPRD DKI Jakarta menagih realisasi program rumah DP 0 rupiah yang dijanjikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (Kompas.com 29/11/2018).

Dalam konteks kampaye sebagai sebuah pasar global, rakyat sebagai pembeli mestinya menganalisis, mengevaluasi setiap program kerja yang ditawarkan oleh setiap calon pemimpin sehingga dapat menentukan pilihan yang tepat pada saat berada dalam bilik suara. Sebab jika tidak demikian, maka bukan tidak mungkin rakyat terjebak jadi korban penipuan ‘produk’ dari calon pemimpin.

Mungkin bisa benar bahwa tidak semua janji yang dibuat itu untuk ditepati tetapi hanya untuk merebut hati rakyat. Dengan demikian, menghadapi janji tersebut perlu ada kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Baca juga:
Jetho Lawet
Latest posts by Jetho Lawet (see all)