Milenial dan Gen Z dalam Pusaran Dinamika Politik 2024

Milenial dan Gen Z dalam Pusaran Dinamika Politik 2024
©Detik

Tidak terasa, sebentar lagi Indonesia akan memasuki pesta demokrasi. Iya, tepatnya di tahun 2024 akan ada Pemilu dan Pilkada yang dilaksanakan secara serentak. Layaknya sebuah pesta, kemeriahan akan lebih terasa bila ada partisipasi dari bebagai pihak, baik sebagai penyelenggara, pemilih atau yang dipilih.

Salah satu pihak atau kelompok sosial yang paling disorot pada pemilu tahun depan adalah kalangan generasi milenial dan generasi Z. Tidak menutup kemungkinan, kedua generasi ini menjadi penentu kemenangan bagi para calon yang berkompetisi di pemilu dan pilkada serentak 2024.

Diskusi mengenai arah, perilaku, atau orientasi politik generasi milenial dan generasi Z selalu menarik untuk diikuti. Walaupun sebenarnya masih banyak perdebatan tentang siapakah yang layak disebut milenial dan gen Z

Tapi setidaknya ada sebuah kesepahaman, jika berbicara tentang generasi, berarti berbicara tentang pengelompokan orang beradasarkan usia dan pengalaman historis yang sama. Menurut Bereshfod Research, kategori  generasi milenial adalah mereka yang lahir pada tahun 1981 – 1996. Sedangkan generasi Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997 sampai 2012.

Kedua generasi ini sering disebut sebagai Digital Native, yaitu istilah bagi mereka yang hidup di era di mana teknologi informasi dan digital sedang tumbuh dan berkembang pesat. Mereka juga dinilai memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap teknologi informasi dan digital.

Akses yang luas terhadap teknologi informasi sedikit banyak telah memengaruhi cara pandang dan bentuk sikap mereka yang berbeda dengan beberapa generasi sebelumnya. Termasuk pada persoalan sosial politik.

Jika generasi sebelumnya dalam menyampaikan pandangan politik cenderung menggunakan cara-cara konvensional, dan membutuhkan waktu yang lama, seperti turun aksi ke jalan, bagi-bagi sembako, atau yang lainnya.

Generasi sekarang cenderung lebih spontan dan efisien. Misalnya memanfaatkan media sosial untuk kegiatan amal seperti open donasi. Atau mungkin ikut mengampanyekan sebuah isu. Kita mungkin masih ingat, seorang anak muda Lampung yang berkuliah di Australia menyoroti tentang pengelolaan infrakstruktur di kota asalnya yang dianggap kurang beres.

Baca juga:

Imbas dari aksi itu, masyarakat beramai-ramai membuat hal yang sama. Bahkan, Presiden Jokowi pada Jumat, 5 Mei lalu, langsung turun ke Lampung untuk memastikan kebenaran jalan rusak seperti yang viral di dunia maya.

Makanya, tidak tepat jika ada pendapat yang mengatakan generasi milenial apolitis atau apatis dengan dunia politik. Hanya saja cara, pola atau prioritas mereka untuk terlibat dalam politik berbeda dengan yang dipahami oleh pelaku politik, bukan berarti bisa disimpulkan, kalau  mereka tidak peduli.

Seperti yang telah penulis sebut di awal bahwa suara milenial dan Z memang menjadi ladang basah yang diperebutkan bagi siapapun yang berkepentingan untuk memenangkan pemilu 2024. Bagaimana tidak, jika menurut analisa Centre for Strategic and International Studies (CSIS), jumlah pemilih dari kalangan generasi ini mencapai angka 60 %. Artinya apa, dominasi pemilih di pemilu tahun depan memang akan diisi oleh generasi milenial dan generasi Z.

Dengan jumlah sebanyak ini, sangat disayangkan jika mereka hanya dipandang sebagai objek politik yang dimana, hanya dipehatikan sebagai pemegang hak suara namun isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan mereka tidak pernah diakomodir untuk dijadikan visi misi yang diperjuangkan oleh para politisi.

Setidaknya, ada beberapa isu yang harus diperhatikan para calon pemimpin,  jika ingin mendapat simpati dari milenial dan gen Z. Dalam sebuah survey yang dilakukan Indikator Politik Indonesia, bersama Yayasan Indonesia Cerah pada Rabu (27/10/2021) dengan tema “Persepsi Pemilih Muda dan Pemula (Gen Z dan Milenial) atas Permasalahan Krisis Iklim di Indonesia”.

Hasilnya menunjukan, isu kerusakan lingkungan dan korupsi menjadi perhatian besar milenial dan gen Z, di samping isu tentang Hak Asasi Manusia (HAM), keamanan pribadi, kebebasan berekspresi, dan hubungan antar ras dan etnis.

Namun, sangat disayangkan, isu yang menjadi perhatian milenial ini, justru bukan menjadi perhatian juga di kalangan politisi. Hal ini diakui sendiri, oleh politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus wali kota Bogor, Arya Bima Sugiarto yang dalam  merespon temuan ini ia menyatakan “Hari ini di Indonesia, isu-isu lingkungan, sustainable development, dan climate change belum menjadi isu populis untuk para politisi saat pemilu dan pilkada.”

Pernyataan ini, menjadi indikasi bahwa memang ada jarak antara komitmen generasi milenial dan gen Z terhadap sebuah isu, dengan apa yang diprioritaskan politisi atau partai politik menuju Pemilu 2024. Jangankan diadopsi, menjadi wacana untuk diperdebatkan pada agenda partai politik pun tidak.

Baca juga:

Berkaitan dengan kualitas kepemimpinan yang ingin dihasilkan pada Pemilu 2024, milenial dan gen Z punya standar ideal tersendiri. Survey Lembaga Penelitian Masyarakat Indonesia (LPPM), pada November 2022 lalu dengan tema  “Preferensi Generasi Z dan Milenial terhadap Parpol dan Tokoh-Tokoh Calon Presiden di Pemilu 2024” menunjukan, karakteristik pemimpin yang dinilai layak menjadi presiden berikutnya ialah sosok yang bebas dari korupsi, tegas dan lugas serta merakyat dan sederhana.

Walaupun kajian dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui calon presiden pilihan milenial dan gen Z namun setidaknya bisa memberikan gambaran bagaimana arah dan perilaku politik mereka di Pemilu 2024.

Syaiful Bato
Latest posts by Syaiful Bato (see all)