Mobile Legends Dulu, Berteman Kemudian

Mobile Legends Dulu, Berteman Kemudian
©Mobillegends

Kau sudah download Game Online Mobile Legends? Kalau belum, berarti kita bukan friend.

Pagi itu saya mendapat pesan singkat via WhatsApp, “Nanti malam kita kumpul, ngopi-ngopi, harus datang!” begitu isinya. Terbelalaklah mata saya melihat pesan tersebut, karena nyaris saja seperti seruan jihad orang-orang yang baru hafal sepenggal ayat.

Tak ingin mencederai niatan teman saya itu, jawab saya dengan antusias, “Oke-Oce,” persis seperti slogan kampanye.

Perhelatan yang digadang-gadang menyerupai Reuni Alumni 212 itu memaksaku untuk meng-cancel semua agenda yang telah saya rencanakan sebelumnya. Alam sadarku turut berpartisipasi aktif menentukan waktu yang tepat untuk hadir, sehingga jadilah aku orang pertama berada di TKP (Tempat Kesialan Pertama).

Jarum jam menunjukkan pukul 20.00, rekan-rekan peserta undangan mulai berdatangan, isu-isu dingin membuka forum dialog; di akhir-akhir sesi baru aku tahu, ternyata itu tidak lebih dari sekadar basa-basi.

Berselang beberapa menit kemudian, pembicaraan mandek dan hening seketika. Akhirnya suara sumbang dari sudut lingkaran kami memecah kesunyian, “Maniak, maniak, layla maniak!”

Lagi dan lagi, kalimat yang akhir-akhir ini membuatku gamang ternyata eksis di kehidupan rekan-rekan undangan.

Akibat kalimat itu pula pikiranku enggan hengkang dari adegan erotis di film Nimpho Maniac. Ironisnya lagi, mataku tak juga menemukan sosok yang disebut-sebut sedang maniak tadi.

Selanjutnya, pecahlah perbincangan (sahut-menyahut) sesama rekan-rekan. Terpaksa aku yang (tidak berbekal Mobile Legends) harus pulang akibat keterasingan.

Baca juga:

Setelah kejadian tersebut, benih kebencian terhadap teman-teman kian memuncak. Pasalnya, mereka masih saja mengonsumsi aplikasi (yang telah terunduh 50 juta lebih) itu. Siapa saja mereka? Entahlah. Bisa jadi kids zaman now(rak), mahasiswa krit(s)is, dosen killer, atau bahkan ustaz legend.

Mobile Legends merupakan spesies MOBA (Game Multiplayer Online Battle Arena), yang rilis 11 Juli 2016, tahun lalu. Game asal tirai bambu ini tengah populer di kalangan masyarakat Indonesia.

Kehadirannya dapat diterima secara luas tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan agama. Sejauh ini, belum ada penolakan yang berarti sebagaimana penolakan yang kelompok Khilaf(ah) lakukan terhadap Pancasila.

Dulu, waktu saya masih unyu-unyunya, masyarakat kita (tidak termasuk saya) sempat akrab dengan PB (Point Blank), kemudian beralih ke Game Toda 2, selanjutnya CoC (Clash of Clans), dan sekarang ML (Mobile Legends). Biasanya game menjadi wadah untuk melepas kepenatan, tetapi ada pula yang menjadikannya sebagai ekspresi kritikan. Game Tiang Listrik, misalnya.

Menteri Sekretaris Kabinet Inggris, Tom Watson, mengatakan bahwa bermain game memiliki dampak positif. Dengannya seseorang dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan, wadah untuk melatih pikiran, konsentrasi, dan menjawab tantangan.

Sementara Profesor Psikologi, Douglas A. Gantile, justru berpendapat lain. Baginya, bermain game membawa dampak negatif. Seseorang yang gemar bermain game, terlebih setelah kecanduan, sangat rentan didera depresi, gelisah, atau bahkan fobia sosial akan makin memburuk.

Terlepas dari perdebatan di atas, memahami batas minimal dan batas maksimal dalam bermain game adalah hal yang utama. Tidak semestinya kita berlebihan terhadap sesuatu apa pun. Baik berlebihan menurut konsep QS al-Maidah ayat 77, berlebihan seperti redaksi QS Azzumar ayat 53, atau berlebihan menurut lain sebagainya.

Sedangkan saat ini, term “berlebihan” telah luput dari perhatian para gamers, mulai dari strata pemula hingga setingkat suhu. Sikap berlebihan yang mereka bawa terkadang mengundang tawa, menimbulkan kekonyolan, atau justru memancing keributan.

Halaman selanjutnya >>>
Latest posts by Abu Bakar (see all)