Dalam benak masyarakat, hubungan antara moral akal dan politik sering kali dipandang sebagai jalinan yang rumit. Kita sering menyaksikan, terutama di dunia politik Indonesia, bagaimana nilai-nilai moral dan etika dapat terabaikan demi kepentingan pragmatis. Namun, pertanyaannya adalah: mengapa hal ini bisa terjadi? Untuk memahami penyimpangan ini, kita perlu menggali lebih dalam ke dalam jiwa politik dan moral yang membentuk tindakan para pemimpin kita.
Politik tidak dapat dipisahkan dari moral; tetapi mengapa sering kali keduanya bertentangan? Konsep agar kekuasaan dijalankan dengan bijak, seharusnya menjadi prinsip fundamental dalam manajemen pemerintahan. Namun, contoh tindakan korupsi yang marak dan pengabaian pada etika berpikir memunculkan ketidakpercayaan di antara rakyat. Muncul asumsi bahwa moralitas hanya menjadi jargon belaka, yang hanya diucapkan saat masa kampanye politik.
Dalam konteks ini, penting untuk memperhatikan bagaimana politik melibatkan akal sehat. Akal, sebagai alat kategori berpikir, seharusnya memandu tindakan para politisi. Namun, kita sering kali menyaksikan bahwa keputusan politik besar dibuat tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral. Misalnya, pemangkasan anggaran untuk pelayanan publik demi memuaskan kepentingan bisnis elit memperlihatkan bahwa akal kadang tertutup oleh naluri untuk mendapatkan lebih banyak kekuasaan.
Keberadaan media sosial saat ini menjadi dua sisi mata uang dalam interaksi sosial politik. Di satu sisi, ia memberikan suara kepada masyarakat untuk mengekspresikan pendapat mereka. Di sisi lain, informasi yang tidak terfilter dapat memperburuk situasi. Misinformasi yang beredar bisa mengaburkan fakta sehingga atmosfer politik semakin jauh dari nilai-nilai moral. Dalam banyak kasus, politisi yang tidak memiliki moral memanfaatkan ketidakpahaman rakyat untuk meraih dukungan.
Konflik antara moral akal dan politik juga terjadi dalam konstitusi negara kita. Ketika undang-undang tidak sejalan dengan nilai-nilai etika yang dianut masyarakat, maka timbul pertanyaan mengenai legitimasi hukum. Adalah tugas politisi untuk menjembatani antara norma sosial dan regulasi formal. Masyarakat harus kritis dalam menilai, apakah sebuah kebijakan benar-benar mencerminkan aspirasi moral kolektif atau justru berfungsi sebagai alat kendali.
Lebih jauh, para pemimpin yang ideal tidak hanya mengintegrasikan moralitas dalam kebijakan, tetapi juga berupaya untuk mendidik masyarakat. Mereka harus membangun kesadaran akan pentingnya akal sehat dalam setiap aspek kehidupan berbangsa. Dalam hal ini, pendidikan politik menjadi instrumen yang krusial. Pendidikan ini harus dimulai dari tingkat dasar, agar generasi mendatang memiliki kapasitas untuk mengevaluasi tindakan para pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses politik.
Penting juga untuk menyadari adanya ketidakberdayaan masyarakat sebagai penyebab ketidakadilan moral di ranah politik. Apabila rakyat tidak cukup sadar akan hak-hak serta tanggung jawabnya, mereka akan susah untuk bersikap kritis terhadap para pemimpin. Oleh karena itu, keterlibatan dalam berbagai komunitas atau lembaga non-pemerintah harus didorong, untuk mendorong rasa prihatin dan kesadaran kolektif akan nilai-nilai moral dalam politik.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran publik, kita akan melihat perubahan dalam dinamika politik. Politisi yang berkomitmen pada etika dan moralitas tidak akan lagi diabaikan. Tentunya, semangat perubahan ini tidak dapat terwujud secara instan. Memerlukan waktu, kesabaran, dan keberanian dari setiap elemen masyarakat. Hanya melalui pendidikan yang berkelanjutan dan partisipasi aktif, kita bisa berharap pada lahirnya pemimpin-pemimpin yang tidak hanya cerdas secara politik, tetapi juga menjaga moralitas.
Akhirnya, kita perlu mendiskusikan peran penting dari institusi dalam menegakkan moral dalam politik. Kelembagaan yang kokoh dapat memastikan bahwa akal sehat dan moralitas tidak hanya menjadi impian, tetapi juga menjadi kenyataan. Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu yang independen akan menciptakan atmosfer kompetisi yang lebih sehat di arena politik, dan mendorong bagi lahirnya moralitas baru di kalangan politisi.
Sebab, pada akhirnya, moral akal dan politik tidak dapat dipisahkan. Ketika politik dikelola dengan akal budi dan etika yang tinggi, kita akan menyaksikan transformasi yang positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat demokrasi yang sejati tidak hanya terletak pada pemilihan umum semata, tetapi pada upaya setiap individu untuk memastikan bahwa bahasa moral berfungsi dalam setiap deliberasi politik. Dalam hal ini, keadilan dan kebajikan akan semakin mendekati realitas.






