Moralis atau Pejuang Kemanusiaan? Politik Tak Butuh Itu

Moralis atau Pejuang Kemanusiaan? Politik Tak Butuh Itu
©New Daily

Saya, Anda, kalian, atau siapa pun, barangkali perlu mengetahui dalam berbagai aspek, politik tak butuh pertimbangan moralis. Tak butuh pertimbangan Anda seorang manusia atau bukan, Anda seorang alim-ulama atau kolektor barang-barang suci, Anda seorang editor atau penulis naskah kenegaraan.

Jika Anda keluar dari rule yang telah digariskan, tunggu saja waktu Anda bermain dengan kegelapan atau bahkan bergabung dengannya.

Dalam politik, rumusnya adalah berbagi kesenangan, berbagi teritori kekuasaan, berbagi kepala untuk dipenggal, berbagi darah untuk diminum. Berbagi mineral, emas, perak, tembaga untuk dijual ke pemilik modal. Kadang-kadang berbagi wanita dalam satu waktu.

Nikmat? Barangkali itulah anugerah terbaik Tuhan dalam politik. Politisi (jika Anda lebih senang menyebutnya sebagai poli-tikus, silakan) tentu tahu dan paham betul dengan ini. Pengalaman telah mengajari mereka dengan baik.

Politisi menawarkan berbagai hal dalam kehidupan ini. Salah satunya, penguatan terhadap sistem dan kinerja pemerintah. Tentu tawaran ini hal paling umum saat kampanye berlangsung. Namun tawaran yang bagus tersebut justru awal dari kehancuran sistem pemerintahan itu sendiri.

Jika mereka berkata ya, maka yakinlah itu tidak. Jika mereka berkata baik, maka yakinlah itu buruk. Dan jika mereka mengatakan, “Ah, itu buruk,” maka sebenarnya mereka sedang menceritakan diri mereka sendiri.

Benar? Anda akan tahu tatkala mengamati dalam-dalam kondisi saat ini. Atau membaca buku-buku sejarah, tetapi bukan yang versi Orde Baru.

Lidah politisi itu tak membuat mulutnya berdesis, tapi berderik. Jika berdesis, lidahnya statis; tampak seperti ular, mengeluarkan racun kemudian membunuh yang lain. Hal ini tak etis dalam dunia politik.

Namun ketika berderik, lidahnya lebih bebas bergerak (dinamis), ia dapat memperlihatkan dirinya berpantun memanggil khalayak ramai. Mendapat banyak tepuk tangan mengundang banyak decak kagum. Setelah semua itu ia dapatkan, racunnya mulai ditebar, mengendap, kemudian membunuhmu seraya berkata, “Terima kasih senyummu saat aku berderik.”

Masih tidak mengerti? Ah, baiklah. Anda perlu membayangkan bagaimana ular berdesis dan bagaimana ular berderik. Imajinasi Anda menentukan kesimpulan Anda.

Baca juga:

Ketentuan moralis, atau apa pun yang disebut dalam teori-teori moralis, sangat berharga bagi politisi saat ia sedang butuh polling untuk melegitimasi dirinya dalam sebuah pertarungan. Petarung yang baik adalah petarung yang disambut hangat oleh penggemarnya.

Tunggu, tungguuu… Penggemar? Apakah politisi dan petarung punya penggemar yang sama? Tentu tidak.

Ini zaman media sosial, berbicara atau seikat uang setebal 74 sentimeter mengisi tas Anda. Politisi membentuk penggemarnya di media sosial. Dalam dunia khayalan: memfitnah, mendukung, mengutuk, membela, dan segala macam me- lainnya. Namun pengaruhnya dapat menggetarkan jagat dan panggung musuhnya hingga hidup tersiksa atau turun dari jabatan.

Opsi lain? Pikirkan sendiri.

Mereka tidak mendapat sanksi apa-apa dari yang mereka lakukan. Memanas-manasi keadaan adalah tugas buzzer politik, dengan cara apa pun, dalam keadaan apa pun. Salah atau benar? Tidak penting.

Uang setebal 74 sentimeter, bahkan lebih, menjamin gaya hidup mereka, berfoya-foya seperti politisi. Bahkan mereka berpotensi menjadi politisi di masa depan.

Mereka menyajikan sajian paling manis saat pemilihan umum dilaksanakan dan senyum paling tulus saat momen pelantikan sedang berlangsung. Mereka tidak tersenyum karena dapat membantu membebaskan manusia dari ketertindasan, tapi karena meraih lebih banyak kesempatan memeras dan menindas yang sudah tertindas.

Masa kampanye telah lewat. Mereka yang sudah dinyatakan lolos ke Senayan atau yang saat ini mendapat amanat menjabat dua periode, saya ucapkan selamat karena berhasil membunuh 554 petugas KPPS tanpa memedulikan lebih lanjut bagaimana nasib mereka sebagai warga negara atau memperhitungkan mereka sebagai manusia.

Jumlah korban tambah berjatuhan pasca-pemilu meski pada insiden yang berbeda. Papua, asap kebakaran hutan, KPK, RKUHP diteriakkan atas kecenderungan nurani pada kemanusiaan dan keadilan. Jalan-jalan dipenuhi pekikan, meminta penguasa dan politisi dalam negeri ini untuk tidak membunuh denyut kebebasan warga negaranya yang sudah diperjuangkan dari masa kolonial.

Namun sepatu besar dan peluru aparat kepolisian justru menghinggapi kepala dan jantung demonstran hingga tewas. Inikah dunia kita? Dunia di mana nadi politisi dan penguasa berdenyut untuk membunuh kebebasan dan mengebiri kemanusiaan?

Baca juga:

Ah, aku terlalu mengkhayalkan negeri yang mendukung penuh kebebasan atau sedang iri karena tidak dapat menjadi politisi? Tapi yang lebih penting, suaraku terbang bebas, entah tercatat sebagai delik atau tidak. Saat menulis kekhawatirannya sendiri, saat itu juga seseorang telah memesan borgol dari kantor kepolisian. Jadi biasalah dengan kondisi seperti ini.

Ada banyak pengetahuan yang bisa kita gali dalam dunia politik, begitu juga pelajaran hidup. Di sana begitu banyak warna, corak, bentuk, dan lain-lain. Pengkhianatan, dedikasi, loyalitas, pemberontakan, pembunuhan, kekerasan, genocide, holocaust, dan seterusnya.

Anda tidak perlu kaget. Beberapa bulan setelah dilantik menjadi wakil rakyat, tiba-tiba perut mereka buncit. Hingga ujung runcing sepatunya pun tak dapat mereka lihat dengan sempurna. Juga tidak perlu kaget jika ayat-ayat suci menggema dahsyat di jalanan karena kekecewaan terhadap kekalahan masa lalu dan kekhawatiran terhadap masa depan masih yang masih absurd.

Anas Kurniawan
Latest posts by Anas Kurniawan (see all)