Nalar Neoliberal Dan Ekonomisasi Politik

Dwi Septiana Alhinduan

Nalar neoliberal dan ekonomisasi politik adalah dua entitas yang beriringan, membentuk sebuah paradigma yang semakin mendominasi diskursi sosial dan politik, terutama di negara-negara berkembang. Dalam narasi kontemporer, kita sering kali menemukan diri kita terjebak dalam lautan jargon ekonomi yang disajikan seolah-olah itu adalah obat mujarab bagi semua permasalahan bangsa. Sementara itu, di balik istilah tersebut, terdapat dinamika yang jauh lebih kompleks dan berlapis. Mari kita telusuri bersama dimensi-dimensi keduanya.

Di permukaan, nalar neoliberal seringkali disamakan dengan kebebasan pasar yang tak terbatas, namun jika ditelisik lebih dalam, kita akan menemukan bahwa nalar ini, seperti sebuah ekosistem, memiliki berbagai elemen yang saling berinteraksi. Dalam tatanan sosial-politik, sistem ini menempatkan individu sebagai aktor utama dalam arena ekonomi. Setiap individu diharapkan berfungsi sebagai ‘perusahaan kecil’, berjuang untuk kepentingan pribadi sambil mengesampingkan solidaritas kolektif yang menjadi jantung kehidupan berbangsa.

Pada tingkat ini, ekonomisasi politik muncul sebagai penguat. Di mana setiap kebijakan tidak lagi dilihat dari sudut pandang etika atau keadilan, melainkan dari efektivitas dan efisiensi biaya. Kebijakan publik dipandang sebagai sebuah investasi, dan rakyat pun menjadi ‘modal’ yang diperhitungkan. Proses ini memunculkan istilah ‘manusia ekonomi’, di mana setiap individu tidak lebih dari sekadar angka dalam neraca keuntungan dan kerugian. Paradoksnya, dalam upaya untuk mencapai kemakmuran, kita justru terjerumus ke dalam jurang kegersangan sosial: relasi antar manusia mulai pudar, tempatnya disibukkan dengan kepentingan masing-masing.

Metafora yang tepat untuk menggambarkan situasi ini mungkin bisa ditemukan dalam istilah ‘perang dingin antara nilai-nilai etis dan logika pasar’. Layaknya dua gladiator di arena, keduanya saling serang, tetapi pada akhirnya, nilai-nilai etis diabaikan. Akibatnya, kita menyaksikan penciptaan konsumerisme yang berlebihan; barang tidak lagi menjadi alat tukar yang bernilai, melainkan simbol status. Kita seperti terjebak dalam tayangan realitas yang mempesona namun kasat mata, di mana kehidupan direduksi menjadi deretan angka dan statistik.

Di era ini, dengan kata lain, kita dipaksa untuk memahat identitas kita melalui pencapaian ekonomi. Pendidikan yang dulunya dikenal sebagai jendela dunia, kini berfungsi sebagai pabrik yang memproduksi individu-individu yang siap berkompetisi dalam ‘arena pasar’ yang semakin ketat. Tidak jarang, pendidikan ini dikhianati oleh sistem yang mendewakan hasil lebih daripada proses. Masyarakat pun mulai terfragmentasi; nilai-nilai kemanusiaan dibalut dengan balutan kapitalisme, menimbulkan kebingungan identitas. Kita tergoda untuk mengejar kenikmatan instan, tanpa menyadari bahwa kita sedang mengorbankan kepentingan jangka panjang.

Kemudian, ada aspek sistematis dari nalar neoliberal yang mengekspresikan dirinya melalui kebijakan publik. Kebijakan ini seringkali diberi label sebagai ‘reformasi’ atau ‘penyesuaian struktural’, namun esensinya adalah menerapkan prinsip-prinsip pasar dalam ranah yang seharusnya independen, seperti kesehatan dan pendidikan. Dalam perjalannya, kesehatan menjadi komoditas yang dijual kepada para pemangku kepentingan, sementara pendidikan berubah menjadi produk yang dijual dengan merek dagang tertentu. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana demokrasi pun telah terpengaruh; suara rakyat muak terbelenggu dengan jargon jargon populis yang tidak substansial.

Lebih dari sekadar narasi ekonomi, nalar neoliberal adalah sebuah ideologi yang mengubah cara kita memandang dunia. Ketika krisis demi krisis menerjang, solusi-solusi yang ditawarkan sering kali terjebak dalam lingkaran setan perekonomian, menuntut pengorbanan yang semakin besar. Nalar ini menuntut respons individu untuk beradaptasi dengan tekanan pasar, dan bukan sebaliknya—pemerintah yang memfasilitasi kesejahteraan rakyat. Di puncaknya, kita melihat bahwa hak-hak dasar yang seharusnya dijamin oleh negara perlahan-lahan tergerogoti, hanya menjadi formalitas dalam pasal-pasal yang kosong makna.

Saya menyebutnya sebagai ‘penyakit jiwa kolektif’; masyarakat terperangkap dalam kemandegan nilai-nilai moral, merasa terasing di tengah ‘kemakmuran’. Tingkat ketidakpuasan mulai meningkat; frustrasi yang muncul dari aturan main yang tidak adil berpotensi untuk memicu gerakan sosial. Inilah panggilan untuk kembali memikirkan ulang paradigma kita. Kita harus mengadopsi pandangan yang lebih komprehensif—bahwa ekonomisasi bukanlah satu-satunya jalan untuk kemakmuran. Jika tidak, kita akan terus berputar dalam lingkaran yang sama, terperangkap dalam kerumunan, tanpa arah yang jelas.

Dari paparan ini, kita bisa mengambil benang merah yang menghubungkan nalar neoliberal dan ekonomisasi politik. Setiap langkah yang kita ambil di masa depan harus menjadi refleksi dari nilai-nilai kolektif yang menjunjung tinggi kesejahteraan bersama. Ini adalah saatnya untuk merombak tatanan yang ada, dan menciptakan sistem yang mampu mengakomodasi semua aspek kehidupan sosial—bukan hanya ekonomi semata. Ada kebutuhan mendesak untuk meneguhkan kembali humanisme dalam setiap kebijakan yang diambil, agar kita tidak kehilangan esensi dari apa yang disebut sebagai kehidupan itu sendiri.

Related Post

Leave a Comment