
Setiap bangsa yang merdeka dengan dirinya tak pantas sekali kita remehkan. Pastinya mereka memiliki cara khusus untuk menaklukkan penjajah di tanah airnya.
Betapa tidak, dengan ciri khas masing-masing, sebuah bangsa akan merebut kekuasaannya tanpa ada bantuan dari pihak mana pun.
Sama halnya dengan Indonesia. Negara yang sudah lama dikuasai oleh penjajah bisa dirampas kembali dengan cara yang begitu elegan. Yakni, dengan rasa nasionalisme. Dengan itu, Indonesia berhasil menendang penjajah dan menjadikan negara yang independen.
Historisnya, negara Indonesia sama sekali tak berkutik pada awal masa penjajahan. Rakyat hanya bisa diam melihat realitas yang meyakitkan tersebut tanpa adanya perlawanan dari pihak Indonesia. Akan tetapi, semenjak rasa nasionalisme tumbuh di jiwa bangsa ini, giliran penjajahlah yang tunduk di bawah telapak kaki Indonesia.
Timbulnya rasa nasionalis mulai meninggi sejak Ir. Soekarno terkenal sebagai pemberani dan penantang penjajah dengan maksud membela bangsa Indonesia. Sebab itu, masyarakat mulai termotivasi untuk turut andil dalam memerdekakan bangsa Indonesia.
Sejak itu pula, pelbagai perlawan di Indonesia mulai menyebar. Seperti di kota Surabaya. Pasukan yang dipimpin oleh Bung Tomo bisa membawa kapten perang Inggris, yakni Mallaby, hijrah ke neraka. Hal tersebut tak akan pernah terwujudkan kecuali dengan adanya rasa nasionalisme.
Secara tersirat, nasionalisme pada zaman penjajah lebih mementingkan terhadap negaranya. Dalam artian, rakyat Indonesia berjalan, melangkah, menuju peperangan tak lain hanya untuk Indonesia saja. Meskipun ada perbedaan di antara mereka, tapi tujuannya hanya satu (Indonesia).
Akan tetapi, sekarang, nasionalisme apakah yang dianut?
Baca juga:
Menilik Indonesia saat ini, kerap kali di kalangan masyarakat tidak bisa mengambil makna implisit arti rasa nasionalis. Buktinya, problem-problem polemik antarsuku makin mencuat. Rasa kepemilikan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia lebih preferensi terhadap sukunya sendiri daripada memprioritaskan bangsanya. Bahkan hal yang sepele malah dijadikan bahan mainan untuk menghancurkan pihak lawan.
Contohnya saja, belakang ini tedapat tragedi konflik antarkubu perihal kemaslahatan. Padahal hal itu pun bisa diatasi oleh sekelas seekor semut merah yang masih ingat terhadap identitasnya. Yakni, konflik pemilu 2019.
Esensialnya, pemilu tersebut tidak mengundang kerusuhan antarkubu. Akan tetapi, ada salah satu dalang yang menjadi penghasut, memerintah atau mengoordinasi kepada kubu yang dipihaki dengan menyuruh pendukung kubu melakukan tindakan ekstrem terhadap parlemen bersangkutan ataupun kubu yang terdakwa.
Perlakuan inilah yang dapat merusak Indonesia sebagai identitas nasionalis yang elite dan rasa kepemilikan terhadap negeri mulai kelabu.
Seorang warga Indonesia yang baik tidak pernah menghitamkan identitas Indonesia sebagai negara penganut nasionalis, apalagi mengubahnya menjadi nasionalisme zaman edan. Jika memang asli warga Indonesia, jangan pernah cantumkan secarik nama Anda sebagai bughat bangsa yang mencoret eksotisme Indonesia.
Di aspek lain, insiden tersebut juga akan menjadi bahan acuan pemuda untuk terus melakukan hal-hal yang dilakukan oleh pendahulu. Jika berpikir futurustik, para dalang tidak akan pernah menginjak-injak bangsanya sendiri, hanya semata-mata karena materi.
Memang benar, selain dari pihak Indonesia sendiri pasti ada sebagian bangsa yang mengintervensi bangsa Indonesia untuk dilumpuhkan. Itu pasti, tujuannya tak lain melelehkan bangsa Indonesia. Bukankan itu sudah berat? Bisa jadi hancur bangsa. Oleh karena itu, tugas rakyat sekarang menjaga rasa nasionalisme yang hakiki. Titik.
Rasa nasionalis yang hakiki adalah rasa cinta yang abadi yang tertera dalam lubuk hati paling dalam hanya untuk Indonesia. Selalu toleran dalam menilai sebuah permasalahan dan polemik yang berkecamuk di khalayak umum. Bukan rasa fanatik yang diprioritaskan.
Baca juga:
Oleh sebab itu, negara Indonesia pada saat ini sudah mengalami degradasi rasa nasionalis. Dalam artian, masyarakat terpeleset dalam memaknai atau menafsirkan nasionalisme. Hal itu memungkinkan Indonesia tidak bisa kembali ke bentuk kulturnya. Yakni, bersatu meskipun ranahnya berbeda.
Sebaiknya, sebagai generasi bangsa Indonesia yang membentengi negara ini, wajiblah bagi kita menjaga dan membangun kembali rasa nasionalis yang hakiki. Agar supaya kultur Indonesia tetap terlestarikan tanpa adanya perselisihan antara daerah ataupun kubu yang ada.
Belajar dari sejarah, Indonesia merdeka sebab rasa nasionalisme. “Berikan kepadaku seribu orang tua niscaya akan kucabut Gunung Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda yang membara cintanya terhadap tanah air akan kuguncangkan dunia.” Begitu kira-kira ungkapan Soekarno. Rasa cinta ini hanya untuk Indonesia. Selamat Hari Kesaktian Pancasila!
- Nasionalisme Zaman Edan - 2 Februari 2020
- Radikallah dalam Bercinta! - 21 Januari 2020