Negara Gagal Dari Covid 19 Sampai Omnibus Law

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam dekade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan yang monumental. Dari dampak pandemik Covid-19 yang menghantam hingga kebijakan kontroversial seperti Omnibus Law, perjalanan bangsa ini tidak pernah sepi dari perdebatan. Ketika kita mencermati, satu pertanyaan muncul: apakah ini gambaran dari sebuah negara gagal?

Kita telah menyaksikan bagaimana Covid-19 merobek-robek tatanan sosial dan ekonomi. Penyebaran virus ini tidak hanya menghancurkan kesehatan masyarakat, tetapi juga mempengaruhi infrastruktur ekonomi yang rapuh. Kebijakan yang diambil pemerintah kadang terlihat lamban, seolah menghadapi sebuah monster yang tak terduga. Tentu saja, ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang berharap untuk dilindungi dan dipimpin dengan tegas. Penerapan PSBB serta pembatasan sosial lainnya tampaknya lebih sebagai reaksi daripada sebuah solusi strategis yang matang.

Dalam konteks ini, kita perlu menyoroti faktor-faktor mendasar yang berkontribusi pada kekacauan yang terjadi. Ada anggapan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi krisis kesehatan seperti ini. Sistem kesehatan yang tidak terintegrasi dengan baik dan kurangnya infrastruktur yang memadai menjadi sorotan utama. Apakah ini hasil dari kebijakan publik yang tidak konsisten selama bertahun-tahun? Mungkin. Namun, kesulitan ini lebih dalam lagi, mencerminkan ketidakmampuan struktural yang telah mengakar.

Setelah gelombang pertama Covid-19, pemerintah berusaha dengan berbagai program pemulihan. Namun, langkah-langkah tersebut sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat lokal yang heterogen. Perbedaan dalam upaya mitigasi memunculkan keraguan dan kembali ke alasan mengapa negara ini dianggap ‘gagal’ dalam menangani krisis ini. Kebijakan yang diambil terasa tidak menyeluruh, terputus dari realitas yang dihadapi di lapangan.

Beranjak dari satu bencana ke bencana lainnya, kita dihadapkan pada Omnibus Law, undang-undang yang menuai kontroversi di seluruh negeri. Di satu sisi, kebijakan ini dipandang sebagai langkah inovatif untuk menarik investasi dan memudahkan bisnis. Di sisi lain, banyak yang melihatnya sebagai serangan terhadap hak-hak pekerja. Disini, kita mendapati sebuah dilema: ketidakpuasan publik meningkat, sementara aspirasi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tampaknya terpinggirkan.

Omnibus Law menggambarkan bagaimana pemerintah sering kali berupaya mengorbankan suara rakyat demi gambaran besar yang lebih ambisius. Isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia sering kali terabaikan. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang siapa yang diuntungkan dari kebijakan tersebut. Apakah kita sedang mewarisi warisan yang lebih baik atau justru sebuah kepentingan yang sempit?

Gejolak sosial yang ditimbulkan oleh Omnibus Law mencerminkan penolakan masyarakat terhadap pendekatan yang diciptakan tanpa dialog yang cukup. Demonstrasi besar-besaran terjadi, menunjukkan bahwa masyarakat tidak ingin menjadi korban dari kebijakan yang mereka rasa tidak adil. Dalam konteks ini, kita kembali mempertanyakan kemampuan kepemimpinan nasional dalam membaca tanda-tanda waktu. Apakah kita meninggalkan suara rakyat demi kepentingan tertentu?

Pada akhirnya, refleksi atas kedua krisis ini menghantarkan kita pada satu kesimpulan: upaya untuk mengubah bangsa ini tidak semudah mengganti undang-undang atau menerapkan protokol kesehatan. Diperlukan keberanian untuk mendengar, untuk memahami bahwa kebijakan yang diambil seharusnya berlandaskan pada keadilan sosial dan kesehatan masyarakat. Sebuah negara yang berhasil adalah negara yang mampu menjalin hubungan simbiotik antara pemerintah dan rakyatnya.

Bangsa ini harus belajar dari setiap krisis. Setiap kesalahan harus dijadikan pelajaran berharga untuk menciptakan skenario yang lebih baik. Keberhasilan dalam mengatasi pandemi dan menelusuri jalur pembangunan yang inklusif bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Dengan partisipasi yang aktif, rakyat bisa mendesakkan kepentingan mereka pada kebijakan yang diambil. Ini adalah momen penentu: saatnya untuk berbisnis dengan hati, bukan hanya dengan akal.

Indonesia memiliki potensi luar biasa, dibekali dengan sumber daya alam yang melimpah dan kreativitas yang tak terbatas. Namun, potensi ini akan tetap terkungkung jika kita tidak segera merobohkan dinding-dinding ketidakadilan dan ketidakpedulian. Kita harus bersatu, menciptakan jaringan solidaritas yang tegas antara masyarakat dan pemerintah. Dengan ini, kita tidak hanya sekadar menghadapi ancaman, tetapi juga menjadikan setiap tantangan sebagai batu loncatan menuju kemajuan yang inklusif bagi semua warga.

Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus kegagalan yang berkepanjangan, dipaksa untuk menyaksikan peluang demi peluang hilang begitu saja. Sejarah akan mencatat bahwa Indonesia memiliki pilihan: bangkit sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat atau terbelakang dalam jurang ketidakpastian dan ketidakadilan. Sudah saatnya untuk berani bermimpi besar, tetapi lebih penting lagi, untuk bertindak dengan bijaksana dalam mewujudkannya.

Related Post

Leave a Comment