Ngadrun, Yuk

Ngadrun, Yuk
©Twitter

Nalar Warga – Dalih telah mereka sisipkan pada ruang bawah sadar kita dan dari sanalah segala hal tak logis ini bermula. Secara perlahan dalih itu pun lama-kelamaan memiliki nilai layak untuk menjadi pertimbangan.

Dia yang hafal kitab adalah dia yang beragama dengan baik. Dia yang beragama pasti memiliki akhlak yang baik pula. Dan dia yang berakhlak adalah tempat di mana bangsa ini harus bertumpu padanya.

Kurang lebih itulah premis yang mereka bangun. Dan dari premis itu pula pada akhirnya kita memberi ruang pada sikap permisif kita. Kita membuat pengecualian bagi para penghafal tersebut terkhusus bila mereka ingin masuk kuliah misalnya.

Dan itu terjadi. Itu telah menjadi kebiasaan kita dalam beberapa tahun terakhir ini manakala setiap tahun ajaran baru dimulai. Kini bukan hanya pada penerimaan mahasiswa di universitas, pada penerimaan ASN, Militer, Polri, dan banyak institusi negeri ini, kebijakan itu mulai kita jumpai.

Pada kelompok mana kebijakan ini tertuju, yang jelas pasti bukan pada mereka para pemeluk Kepercayaan, Kejawen, Sunda Wiwitan atau anak-anak keturunan suku Baduy sebagai asli Indonesia misalnya. Mereka tak berkitab apalagi dengan kewajiban menghafal.

Apakah itu adalah sebuah kebijakan yang diskriminatif, bisa jadi itu justru adalah kebijakan yang berpotensi tak ramah pada kebinekaan kita sebagai Indonesia kelak.

Akan ada masa di mana hanya para terpilih itu saja yang memiliki masa depan cemerlang di negeri ini dan warna Indonesia tak lagi sama.

Sejak kapan kebijakan itu dimulai, bukan poin penting yang harus kita tahu namun kapan seluruh posisi penting di negeri ini kelak akan dipegang dan diduduki oleh para terpilih itu jelas hanya masalah waktu saja.

Peristiwa itu bukan satu-satunya tanda. Ada banyak hal di mana keseharian kita sebagai bangsa majemuk telah dimonopoli dan dikurung dengan banyak kebijakan yang cenderung berorientasi dan menuju pada penyeragaman sebuah paham. Kita sedang digiring menuju dalam pertempuran, bangsa ini telah dan seolah akan menuju kalah.

Kita memang tak berdarah. Tak ada pula luka menganga pada tubuh kita dapat kita lihat dan rasakan. Kita tidak sedang dalam perang konvensional di mana senjata dan militer asing adalah musuh kita.

Namun suka tidak suka, kita telah terluka dari dalam. Ideologi kita sebagai perekat tengah dibuat koyak. Bukan pada perang konvensional kita dibawa masuk, perang asimetris dengan target membuat kita runtuh dari dalam sedang dan akan terus kita saksikan terjadi di depan mata dan kita hanya mampu diam membisu.

Bombardir melalui kapal perang dan pesawat pembom, turunkan pasukan kavaleri dengan ragam tank dan alat berat, dan terakhir pasukan infanteri merebut dan menduduki wilayah yang sudah mereka taklukkan.

Saat pasukan infantri masuk, itu adalah tanda kekalahan sebuah bangsa yang sedang diserang. Bangsa itu hanya sedang menunggu pengumuman telah ditaklukkan dan dikuasai.

Itu adalah tiga ciri utama pada perang konvensional.

Pun pada perang asimetris, tiga pola yang sama akan digunakan. Tiga pola serangan pada asymmetric warfare adalah gempur ideologi negara dengan paham baru melalui aktor-aktor pemecah, turunkan pasukan demo dalam banyak wajah, dan terakhir dudukkan aktor boneka pada jabatan strategis pada pemerintahan atau negara.

Infanteri pada sisi perang asimetris adalah manakala aktor boneka itu telah duduk pada banyak jabatan strategis pada sebuah negara.

Halaman selanjutnya >>>
Warganet
Latest posts by Warganet (see all)