Ngobrol tentang Seks dengan Anak

Ngobrol tentang Seks dengan Anak
©Orami

Ngobrol tentang seks itu edukasi bagus banget yang idealnya dimulai sejak balita.

Nalar Warga – Jadi ingat pas acara parenting di satu sekolah, seorang ibu menyampaikan kegundahan. Ia kaget saat tahu putrinya yang kelas 7 mulai dekat sama cowok. Didorong waswas, si ibu menginterogasi anak. Bukannya menurut, katanya malah menjauh.

Apa pun istilahnya: naksir, pedekate, pacaran, itu semua bagian dari perkembangan seksualitas yang wajar. Banyak orang tua masa kini yang bisa ngobrol apa saja dengan anak, termasuk tentang seks. Bagus banget. Tetapi enggak sedikit yang jengah dan tegang, ujung-ujungnya orang tua dianggap enggak asyik oleh anak.

Ditambah lagi hukum alam bahwa anak yang beranjak gede mulai geser dari parents-oriented ke peers-oriented. Maka jika orang tua enggak pintar-pintar mengambil hati anak, jadilah mereka lebih suka curhat urusan seks ke teman sementara ke orang tua diam seribu bahasa.

Ngobrol tentang seks itu edukasi bagus banget yang idealnya dimulai sejak balita. Mulai dari mengajari si kecil toilet training, menamai anggota tubuh, membedakan laki-laki dengan perempuan, dan lain-lain. Jelang pubertas, orang tua pulalah sosok paling OK untuk teman ngobrol urusan menstruasi/mimpi basah.

Kebiasan terbuka ini mesti dibangun dari kecil, gak bisa tiba-tiba. Ada dua starting point untuk ngobrol seks. Satu, dari pertanyaan yang muncul dari anak sendiri. Kedua, dari kepekaan kita memanfaatkan momen-momen berharga yang berseliweran, misalnya: tetangga nikahan, teman lahiran, berita lokalisasi tutup, dan lain-lain.

Anak-anak kecil bisa tiba-tiba mengajukan pertanyaan macam “Pah/mah, adek bayi itu dibuat dari apa?” Sebagian orang tua bisa dengan santai merespons dan menjadikan sebagai obrolan edukatif. Tapi sebagian lain bisa langsung shock, mendadak gagu, tegang, marah, atau menginterogasi si anak sehingga anak jadi padam niat.

Jangan lupa bahwa anak adalah makhluk spontan dan polos. Pertanyaan “sepele” tadi di pikiran anak bisa jadi sesederhana pertanyaan “Ayah, nugget kesukaanku dibuat dari apa?” Atau “Kopinya bunda bikinnya gimana?”

Respons yang reaktif dari orang yang signifikan dengan kehidupan anak muncul karena kekhawatiran sebagai orang yang bertanggung jawab pada anak. Di samping itu, orang dewasa suka berpikir dari kacamatanya sendiri, sehingga pertanyaan tentang seks langsung diasosiasikan dengan coitus. Efeknya ya seperti tadi: tegang, speechless, dan lain-lain.

Terus gimana kita bisa ngobrol santai dengan anak?

Pertama, kita mesti memerdekakan diri sendiri dulu dari muatan konsep seks = tabu. Ini penting, karena ini syarat utama untuk mampu bersikap nyaman dan rileks saat berbincang tentang seks khususnya dengan anak. Menguasai diri itu KOENTJI.

Kedua, topik yang diobrolkan, detailnya, caranya sangat tergantung usia dan kematangan anak. Jadi mesti proporsional sesuai kebutuhan. Gak semua hal harus dikunyah anak. Sebaliknya, jika sudah saatnya anak tahu, ya jangan ditutup-tutupi. Jangan nunggu anak tahu dari pihak lain yang belum tentu jelas.

Ketiga, obrolan seks harus ada reasoning yang masuk akal. Jangan asal samber “Adek bayi dibawa burung bangau, ditaruh depan rumah kita”. Jangan dibiasakan ya yang beginian. Kelak saat si kecil bertumbuh nalarnya, cilaka deh kita ketahuan bohong. Hilang tuh kepercayaan pada kita.

Keempat, kalau kita gak tahu, ya bilang jujur gak tahu. Jawaban asal-asalan sekadar untuk ngeles agar terbebas dari deg-degan sama sekali enggak disarankan. Anak pun perlu belajar bahwa di atas langit masih ada langit. Tentu sambil mencari jawaban tepat untuk disampaikan pada kesempatan berikutnya.

Kelima, meski jawaban wajib berbasis logika, namun obrolan seks dengan anak bukan sekadar transfer informasi kognitif. Orang tua sangat perlu membalutnya dengan nilai psiko-sosial-humanistik-spiritual. Kesempatan one on one dari orang tua ke anak ini sangat akomodatif buat edukasi values.

*Lita Widyo

Warganet
Latest posts by Warganet (see all)