Saya awalnya ingin bercerita tentang keluh kesah hidup saya tapi kok ndak etis dan terasa memalukan tapi pada dasarnya setiap manusia mempunyai konklusi masalah yang berbeda-beda bahkan di setiap diri manusia terdapat tendensi frustasi yang bermacam-macam. Saya sendiri memiliki segala penderitaan tetapi jangan sampai saya menderita atas penderitaan yang saya alami, begitulah saya mendapati kata-kata tersebut dari Mbah Nun.
Tapi entah kenapa ada beberapa orang yang membenci saya walaupun sebenarnya saya mungkin tidak punya masalah yang serius dengan mereka. Setiap malam saya mencari info ngopi di berbagai tempat dan saya selalu menemukan itu di tempat yang sama. Di sisi lain bertemu juga pada orang yang sama karena kita dulu satu perguruan. Maksud saya perguruan silat, soalnya jelek-jelek begini saya pernah latihan silat meskipun ndak lulus.
Diriku kok tiba-tiba malah jadi curhat, tapi ya sudahlah namanya juga manusia karena pada awalnya hidup berawal dari masalah bukan dari mimpi. Tetapi dari masalah saya belajar banyak tentang mengatasi dan mendewasa-kan diri. Peluang hidup saya dibandingkan kebanyakan orang adalah 1:100 (satu banding seratus), loh hubungannya apa?
Jadi begini peluang hidup yang saya maksud adalah peluang untuk memaknai hidup, artinya bahwa pemaknaan hidup saya masih jauh di bawah kebanyakan orang yang sudah sukses memaknai hidupnya masing-masing. Saya masih belajar dan mencari presisi serta filosofis dalam hidup saya, jadi yang saya maksud dalam peluang hidup ini adalah pemaknaan kehidupan dan bukan hanya perkara umur saja.
“Lha kok gaya ment ngomong soal peluang hidup?” ini bukan perkara bergaya atau tidak, tapi setidaknya kita menemukan makna historis dalam kehidupan kita. Saya kalau pergi ke pegunungan untuk ngopi, sasaran tempat untuk menikmati pemandangan alam dan cocok buat tempat berkontemplasi ya di Selo, Boyolali.
Sudah dua kali ini dalam satu bulan saya naik ke sana untuk melihat pemandangan dari atas awan. Saya kadang suka mbatin kalau lihat pemandangan perbukitan serta perkotaan yang sibuk dengan segala aktivitas dan hedonisme di sudut kota, “Kok iso yo Tuhan gawe arsitekur alam yang indah ini?” Saya kadang suka mbatin seperti itu kalau lihat ciptaan Tuhan yang membuat saya makin menunduk dan bersujud pada kebesaran Tuhan.
Walaupun saya ini kadang orangnya ndak konsisten, tidak konsisten dalam hal beribadah. Kadang saya tidak begitu serius dalam hal sholat tapi sering memuji Tuhan lewat ciptaan-Nya, kadang pula saya sholawat-an tetapi kelakuan saya masih gak cetho seperti ini. Saya jadi takut kalau Tuhan benar-benar marah pada saya, walaupun sekarang saya sudah dibenci dan dinesoni banyak orang atas kelakuan saya yang mungkin merugikan kalangan pihak.
Beberapa bulan yang lalu saya mampir ngopi di Cepogo Boyolali tepatnya di warung sudut jalan setelah patung Petruk kurang lebih 1 km. Di sana terdapat warung eksotis yang disuguhi pemandangan perbukitan yang mengujung pada Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Saya lalu memesan kopi dan menghidupkan sebatang rokok kretek dengan korek api murahan yang saya beli di warung-warung pinggir jalan.
Baca juga:
Kebetulan yang jualan warung kopi juga mas-mas berambut gondrong seperti saya ini dengan sepatu khas anak punk. Saya tidak heran dengan penampilan pria gondrong ini karena memang ini adalah budaya para penjual kopi yang harus dilestarikan, ketika kopi sudah selesai dibuatkan saya melihat kopi saya.
Lalu melihat di dasar gelas dan ternyata kopinya tidak ada ampasnya setelah itu saya minum dan seperti biasa setelah minum kopi saya selalu mendesah “ngaahhh” penuh kenikmatan karena kopi ini sangat enak. Saya bertanya pada pria gondrong tersebut “Iki kopi opo mas kok uwenak ngene, gak ono ampas e barang, kopi lasem po soale rasane mirip”. Lalu pria gondrong penjual kopi ini menjawab, “Gak mas, iku kopi asli kene.”
Setelah itu obrolan kami berlanjut hingga membahas isu konflik di Papua juga, karena memang mas-mas penjual kopi ini sebelumnya dulu pernah merantau kerja di Papua dan melihat kondisi konflik horizontal antara masyarakat Papua dan industri kapitalis. Obrolan yang cukup menyenangkan di sore hari menjelang senja matahari terbenam.
Tanpa debat kusir dan diskusi akademis saya bisa menyerap ilmu sangat banyak dari penjual kopi ini karena pengalaman hidupnya sangat panjang. Akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan saya harus pulang, paling tidak saya mendapatkan ilmu kewirausahaan dan ilmu pengalaman hidup. Maka setiap manusia yang menikmati pekerjaannya sesungguhnya ia telah bekerja dalam keabadian.
Bagi saya menulis adalah juga bekerja untuk keabadian, meskipun tulisan saya kadang amburadul, retorika bahasanya kacau dan tidak artikulatif. Tapi sebodoh-bodohnya saya memang harus menulis karena ya memang itu yang hanya bisa saya lakukan toh juga saya ingat kata-katanya Mbah Pram, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Menulis bagi saya bukan juga bertujuan untuk mencari uang, karena yang paling penting bagi saya adalah ketika tulisan itu dibaca banyak orang dan perasaan hati saya di dalam tulisan itu tersampaikan oleh para pembaca. Saya dulu sempat jadi orang idealis seperti Karl Marx yang tidak mau bekerja untuk mencari uang.
Marx pernah melakukan itu hingga anak dan istrinya kelaparan. Marx setiap waktu hanya berbicara soal uang, ibunya pun menyuruhnya untuk mencari uang bukan hanya sekadar berbicara soal uang. Dari kisah tersebut saya sangat terinspirasi. Tapi itu tidak mungkin bagi saya, jadi orang idealis itu agak susah.
Teralienasi dari sistem sosial masyarakat, terbuang dari kebudayaan masyarakat, tidak bisa bergerak leluasa, apalagi idealismenya tentang anti-uang dan parahnya lagi saya hidup di negara kapitalis. Apakah Indonesia termasuk negara kapitalis? Maka jawaban saya adalah “Iya”. Ini kalau saya terus-terusin bisa panjang ini dan jari-jari saya juga agak pegal nanti ngetiknya.
Halaman selanjutnya >>>
- Mengasuh Ide, Mengutarakan Pikiran - 19 September 2023
- Ngopi Receh ala Pemuda “Sok” Demokratis - 13 Juli 2022
- The Intelligence of Humanity - 3 Juli 2022