Ngopi Sore untuk Kebebasan Forum Libertarian Yogyakarta

Ngopi Sore untuk Kebebasan
Foto: Diskusi FLY

Nalar PolitikForum Libertarian Yogyakarta (FLY) kembali sukses menyelenggarakan kegiatan. Bertempat di Kafe Basabasi, 28 April 2018, Bedah Buku & Ngopi Sore untuk Kebebasan berlangsung meriah berkat kerja sama Suara Kebebasan dan Nalar Politik.

Mendiskusikan buku Apa Pilihanmu: Pengendalian Diri atau Pengendalian Negara, terjemahan dari Self-Control or State Control? You Decide (Ed. Tom G. Palmer), agenda FLY ini menghadirkan Rofi Uddarojat (Content Manager Suara Kebebasan) dan Ceng Husni Mubarak (Mahasiswa CRCS UGM dan Peneliti PUSAD Paramadina Jakarta) sebagai pembedah. Adapun pemandu jalannya diskusi, moderator, oleh Mindra Hadi Lubis, Mahasiswa Filsafat Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menurut Rido Kampai, Ketua Panitia Bedah Buku & Ngopi Sore untuk Kebebasan, kegiatan kali ini merupakan agenda kedua FLY sejak dideklarasikan pada 25 Maret 2018 lalu di bawah Koordinator Maman Suratman. Kurang lebih baru sebulan FLY berjalan, semangat peserta yang ikut berkontribusi dalam setiap kegiatan yang diadakan pun meningkat.

“Terbukti peserta yang hadir berasal dari berbagai kampus seperti, UGM, UIN, UMY, UAD, dan lain sebagainya. Tidak kalah pentingnya, dari khalayak umum pun ikut berkontribusi,” tandas Rido dalam sambutannya membuka acara.

Tidak hanya itu, peserta yang hadir pun berasal dari berbagai Forum/Lembaga seperti, Mazhab Tanpa Nama (MTN), Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS), Kutub DIY, dan lembaga-lembaga diskusi lainnya.

Memasuki agenda inti, moderator menegaskan bahwa diskusi tema diskusi ini, yakni pengendalian diri dan pengendalian negara, terkadang mengalami pertentangan.

“Bagaimana hal itu terjadi? Di sinilah saatnya akan kita bahas tuntas,” ungkap Mindra Hadi Lubis sambil memberikan kesempatan kepada Rofi untuk menjelaskan di sesi awal.

Pembicaraan sesi pertama oleh Rofi Uddarojat difokuskan pada Bab IV dari buku Palmer  tentang tulisan Jeffrey Miron dengan tema “Apakah Konsumen yang Irasional Membenarkan Perang terhadap Narkoba?”

“Bab ini sangat relevan kita kaji untuk melihat konteks Indonesia yang lagi hangat-hangatnya berita pemuda yang meragang nyawa karena alkohol oplosan,” ungkap Rofi memulai.

“Pengendalian negara justru dalam beberapa kasus malah memperburuk keadaaan. Konteks Indonesia sendiri dapat kita lihat pada kasus alkohol oplosan. Pernah tidak kita berpikir kenapa alkohol oplosan tersebut beredar? Jawabannya tak lain adalah karena adanya kontrol negara terhadap masyarakat untuk mengonsumsi alkohol legal,” jelas Rofi melanjutkan.

Upaya untuk mengurangi konsumen alkohol legal oleh pemerintah ternyata bukan menghasilkan keputusan yang baik, malah sebaliknya memperburuk keadaan.

“Ketika kebebasan masyarakat dipersulit oleh pemerintah untuk mendapatkan alkohol legal, maka mereka mencari cara sendiri untuk membuat alkohol, dan alkohol yang mereka buat ternyata tidak sesuai standar manusia, yang pada akhirnya alkohol oplosan yang mereka buat itu membuat banyak pemuda yang harus meragang nyawa.”

Dalam hal ini, siapakah yang salah? Pemerintah atau pembuat alkohol oplosan?

“Saya bicara kasus alkohol oplosan ini bukan berarti saya mengendors teman-teman untuk mengonsumsi alkohol. Mengonsumsi alkohol atau tidaknya itu urusan teman-teman, karena kita di sini berbeda agama, tentunya berbeda pula pemahaman masing-masing agama. Saya tidak bicara halal haramnya alkohol, tetapi fokusnya diskusi untuk kebebasan individu yang direnggut negara dengan menyoroti kasus alkohol oplosan,” tegas Rofi kembali.

Fokus Rofi membahas bab IV dalam karya Tom G. Palmer ini dapat disimpulkan bahwa kontrol negara atas invidu cenderung dalam bentuk larangan-larangan, dan larangan itu selalu membuat kita penasaran. Pemaparan ini pun berlanjut ke pembedah kedua, Ceng Husni Mubarak.

“Sebagai akademisi, buku ini layak dibaca, Kenapa? Karena buku ini banyak memberikan klarifikasi-klarifikasi kesalahpahaman kita selama ini dalam memahami arti kebebasan,” terang Husni.

Ia mencontohkan, selama ini bebas itu diartikan seakan-akan kita sedang bertentangan dengan aturan orangtua, aturan keluarga, dan aturan negara.

“Sebenarnya kebebasan itu bukan seburuk yang kita pahami selama ini. Perlu digarisbawahi bahwa bebas bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, tetapi bebas yang dibarengi tanggung jawab. Nah, jawaban buku ini adalah kita harus pengendalian diri dulu baru pengendalian Negara,” jelasnya kembali.

Husni sendiri punya pandangan berbeda dengan Rofi. Antara pengendalian diri dan pengendalian negara, menurut Husni, pengendalian negara tidak selalu merenggut kebebasan individu warganya.

“Sebagai contoh, ada orang Nias (non-muslim) yang mengeyam pendidikan di Kota Padang. Karena Kota Padang mempunyai regulasi yang mewajibkan siswanya memakai jilbab, ya dia pun memakai jilbab. Lalu, orang ini saya Tanya, apakah hakmu tidak merasa direnggut dengan regulasi ini? Dia menjawab, tidak. Nah, saya melihat tidak selalu individu itu merasa haknya direnggut oleh kontrol Negara atau pemerintah,” terangnya.

Dihadiri oleh mahasiswa berbagai kampus dan berbagai lembaga, meja dan kursi yang disiapkan oleh panitia terlihat begitu padat karena semangat peserta yang hadir makin membludak. Bahkan makin sore makin meningkat peserta berdatangan.

Dari sekian banyaknya peserta, mengalirlah beberapa pertanyaan serta tanggapan untuk kedua narasumber tersebut. Sesi pertama diberi kesempatan 3 orang penanya oleh moderator.

“Mas Rofi dan Mas Husni, antara pengendalian diri dan pengendalian negara, mana yang lebih utama? Menurut saya, pengendalian diri saja kita susah apalagi pengendalian negara. Bukankah pengendalian diri jauh lebih penting?” tanya Dian Suhandary.

“Menurut saya, adanya pengendalian negara terhadap individu dikarenakan adanya masalah antarindividu atau kelompok tersebut. Kontrol negara dibutuhkan selama ada masalah dalam individu. Yang perlu dilakukan adalah kesadaran individu akan dirinya dan diri orang lain,” komentar Abdullah Said.

“Bicara soal pengendalian diri dan pengendalian negara, tidak terlepas dari pembicaraan tentang kebebasan dan ketidakbebasan. Banyak orang menginginkan kebebasan, tapi untuk kebebasan pun menurut saya masih bermasalah. Bagaimana cara menyikapi jika terjadi pertentangan antara pengendalian diri dan pengendalian Negara?” tanya Friliya.

Pertanyaan dan sanggahan terus mengalir hingga akhirnya terbatasi karena durasi waktu yang telah ditentukan oleh panitia.

Pada sesi penutup, moderator menyampaikan, diskusi ini makin hangat, semangat teman-teman makin melonjak. Sayangnya, durasi waktu terbatas. Pada pertemuan berikutnya, FLY akan mengangkat kegiatan-kegaiatan yang lebih mendalam lagi terkait dengan dan untuk kebebasan sebagai concern utamanya.

“Karena setiap kegiatan FLY selalu menyediakan buku gratis buat penanya yang berkontribusi memperkaya diskusi, kepada semua penanya, silakan mengambil buku yang sudah disediakan oleh panitia,” tutup moderator. (rk)

___________________

Artikel Terkait: