
Saya mulai mengajar sejak tahun 2013. Dua tahun setelahnya (tepat ketika memulai studi S2), saya menghentikan kebiasaan saya untuk memberi nilai matematika.
Yaps, Anda tidak salah baca. Anda juga boleh menganggap saya guru gila yang berhenti melakukan penilaian. But wait. Tolong baca sampai selesai.
Mengapa saya berhenti memberi nilai matematika? Ada dua alasan. Alasan pertama untuk kebaikan siswa saya, dan alasan kedua untuk kebaikan saya sendiri sebagai guru. Saya akan coba jelaskan satu per satu.
Demi Kebaikan Semua Siswa
Dulu ketika saya belajar matematika khususnya di kelas 3 SD, kesalahan adalah sebuah dosa. Satu kesalahan dalam perkalian bisa berakhir dengan satu pukulan di pantat saya. Sebisa mungkin belajar matematika tidak boleh salah.
Apa hasilnya? Prestasi saya malah jeblok. Padahal di kelas 1, saya sempat peringkat pertama. Saya yang terbiasa dikenal pintar tiba-tiba langsung down ketika kesalahan kecil saya tidak ditolerir. Momen inilah yang akhirnya menginspirasi saya.
Nilai yang diberikan oleh guru alih-alih membuat siswa berefleksi malah justru membenamkan siswa dalam mindset tetap mereka. Angka 40 yang dituliskan dengan tinta merah, dibumbui coretan-coretan di jawaban yang disalahkan hanya akan membuat siswa merasa frustrasi. Semua usaha mereka tidak dihargai dan disalahkan begitu saja.
Mereka juga sering kali tidak tahu di mana letak kesalahan dan cara memperbaikinya. Semua perasaan ini akan berujung pada siswa yang memberi stigma pada diri mereka sendiri, “Saya bodoh dalam matematika.”
Sedangkan nilai 95 dengan lingkaran biru mengelilinginya akan membuat siswa merasa pintar. Sekilas, dalam jangka pendek, ini akan memotivasi siswa. Tapi, dalam jangka panjang, ini mirip racun yang membunuh perlahan.
Baca juga:
Perasaan unggul dari siswa lain yang hanya berdasar nilai ini akan memicu mereka untuk terus memperoleh nilai baik alih-alih belajar sesungguhnya. Mereka akan takut melakukan kesalahan dan mencoba hal baru.
Siswa-siswa saya yang dulu selalu saya beri nilai baik malah sering bertanya apa langkah pertama yang harus mereka lakukan saat menghadapi soal baru. Mereka juga sering protes ketika soal yang saya berikan sedikit melenceng dari contoh sebelumnya.
Dan yang paling kentara, di tengah-tengah pengerjaan, mereka sering bertanya, “Pak, gini ini benar nggak?” Pertanyaan yang mencerminkan ketakutan mereka.
Nilai yang saya sebarkan di kelas lebih jauh akan mengelompokkan siswa menjadi dua klaster berbeda: Si Bodoh dan Si Pandai. Mereka yang merasa pada barisan si Bodoh cepat sekali menyerah dan sering menunggu jawaban kelompok si Pandai.
Sedangkan Si Pandai sering sekali acuh dan hanya memberikan jawaban mereka tanpa mau mendiskusikannya. “Untuk apa saya berdiskusi dengan mereka yang berada di gerbong si bodoh?” Demikian mungkin pikiran si Pandai. Sungguh suasana kelas yang tidak menyenangkan. Kelas matematika, yang nggak bertujuan bermatematika.
Demi Kebaikan Saya
Sebagai guru, harusnya sayalah orang yang paling percaya bahwa tidak ada murid bodoh. Sayangnya, nilai-nilai yang saya berikan dulu menuntun saya ke arah sebaliknya.
Karena selalu memberi nilai, lambat laun stigma dalam pikiran saya pun terbentuk. Ide tentang Si Pandai dan Si Bodoh akhirnya memenuhi kepala saya.
Ketika menilai si Pandai, saya sering kali terlalu percaya dan tidak teliti. Seolah bahwa si Pandai tidak akan melakukan kesalahan. Dan sebaliknya, ketika menilai si Bodoh, saya jadi tidak menghargai usaha mereka. Hanya muncul perasaan jengkel karena terus-menerus memberi nilai jelek pada si Bodoh.
Halaman selanjutnya >>>
- Semua Anak Suka Belajar, tapi Benci Dipaksa Belajar - 31 Agustus 2022
- Membaca Adalah Kemewahan - 29 Agustus 2022
- Nilai Matematika Tidak Penting - 26 Agustus 2022