Nyai Fatimah

Nyai Fatimah
Ilustrasi: IST

Azan magrib telah berkumandang, membuka mata sebagai penglihatan bagi jiwa-jiwa yang hampa. Perempuan paruh baya, Nyai Fatimah, dengan mukena yang masih melekat, bersimpuh. Ia termenung di atas sajadah yang sudah hampir lusuh di musala rumahnya.

“Besok-besok, kalau tidak ada Abah, kamu baik-baik ya sama anak-anak. Didik mereka biar berguna dunia akhirat.”

Lagi-lagi percakapan itu selalu terngiang dalam benaknya, tatkala ia bercengkrama dengan senyap, kala magrib tiba. Ia menerawang jauh ke masa-masa indah yang telah dilalui bersama sang pangeran cintanya. Memangku manis dan getirnya kehidupan. Mengatur irama dalam berumah tangga agar selalu tetap syahdu. Serta menyatu padu dalam mengurus anak-anak orang lain di pesantrennya.

Bukan hanya menjadi teman sebatas bantal guling, melainkan sudah sering kali suaminya menjadi teman curhat kala masalah menyambangi hidupnya. Rasanya enteng, apa-apa mereka hadapi dan diselesaikan bersama.

Itu dulu, sekarang ia harus mengganti posisi suaminya sebagai pimpinan pesantren. Mengurus keluarga serta para santrinya.

Sebagai pengasuh yang baru, walau ia perempuan, tak mungkin ia harus ciut. Ia harus tegar. Figur yang selama ini dipanuti kearifannya, dikagumi kepribadiannya, kini sudah tinggal kenangan, menuju keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia mengidap penyakit jantung yang telah lama ia derita, hingga harus berakhir di RSUD kota. Zainal Arifin Toha, seorang pengasuh yang wibawanya tercermin pada keteladanan sikapnya, meninggalkan segala yang ia cintai; istri, anak-anak, serta pesantren dengan lima puluh santrinya.

Sebelum suaminya meninggal, ia sempat berpesan lirih.

“Ummi, jangan sampai usaha yang kita bangun selama ini pupus. Bawa anak-anak kita ke jalan Ilahiah. Didiklah mereka dengan ikhlas,” ucapnya.

***

Tiga bulan telah berlalu. Ia yakin bahwa suaminya itu masih hidup. Jasad bolehlah sirna, namun ruhnya tetap bernyawa di setiap relung hati orang yang ditinggalkannya.

Kini, ia menjalani hidup bersama kedua putra-putrinya, dan bersama para santri-santrinya.

Di ruang tamu, ia berdiri. Ditatapnya lekat sebuah foto saat pernikahannya mereka dulu. Ia memajangnya di dinding ruang tamu.

“Ummi, mana Alquran, kok di rak sini gak ada? Kayaknya kemarin aku taruh sini deh.” Suara rengekan si kecil, Nadia, membangunkannya dalam lamunan. Ia berlari kecil menghampiri umminya dan memeluknya dari belakang.

“Eh, iya, sayang, sebentar, Ummi yang mengambilnya tadi. Tadi Ummi menaruhnya di kasur.”

Belum sempat ia mengambil Alquran, merasa takut kalah saing dengan adiknya, tiba-tiba Fairuz berlari dari kamar tengah menuju umminya, kemudian ia juga memeluknya dari belakang. Walaupun ia sudah beranjak dewasa, sebagai kakak, sifat manjanya masih saja melekat pada dirinya.

Senyum simpul mengembang melihat tingkah anak-anaknya itu.

Tak lama berselang, seorang tamu berperawakan tinggi besar dengan jenggot menggantung di dagunya, dan sorban yang melilit di atas kepalanya, datang mengetok pintu sembari mengucapkan salam.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Silah masuk.”

Setelah Nyai Fatimah mempersilahkannya masuk, mereka duduk di ruang tamu. Lama mereka saling terdiam. Kemudian tamu itu pun memulai percakapannya.

“Bagaimana kabarnya anak-anak?” tanyanya memecah hening.

“Alhamdulillah, baik, Kiai,” jawabnya dengan senyum manis.

Memang, bukan hanya sekali tamu itu bertandang ke kediamannya, melainkan sudah lima kali. Tamu itu tak lain adalah orang yang mencintai Nyai Fatimah sekaligus pernah menjadi saingan berat suaminya sejak masih kuliah dulu. Namanya Alfi. Tapi sekarang ia sudah mempunyai istri dan dikaruniai satu orang anak.

Ia sering kali meluangkan waktunya untuk bersilaturrahmi padanya. Entah sekadar menanyakan kabar keluarganya-lah, pondoknya-lah, dan lain-lain, yang pada ujung-ujungnya mengenai pernikahan.

Sekarang, saingan suaminya itu telah berada di hadapannya. Ia menanyakan kembali perihal kesendiriannya menjadi janda, semenjak ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu.

“Bagaimana dengan tawaran saya tempo hari?” tanyanya dengan yakin.

“Maaf, Fi, aku tidak berminat untuk membahas masalah itu lagi. Sudah cukup bagiku semua ini. Semoga kamu tidak tersinggung dengan keputusanku ini.” Ia merasa canggung dengan pertanyaan itu, namun ia menjawabnya dengan mantab.

Setelah ia mempertimbangkan dengan matang perihal pinangannya, namun ia tidak bisa menangkis suara hatinya. Bahwa ia dan keluarganya butuh seorang pemimpin guna menjalakankan roda kehidupan yang bersama santri-santri dan anak-anaknya.

“Oh iya, tidak masalah, Nyai. Aku mengerti dengan keadaan saudari Nyai Fatimah yang begitu berat melupakan Kiai Zainal. Kalau sudah dipertimbangkan dengan matang, saya bisa menerimanya. Mungkin demi kebaikan bersama tidak apa-apa,” lanjutnya dengan suara yang agak berat diucapkannya.

“Tumben dia menyebutku saudari, plus embel-embel Nyai. Ketika Abah masih ada, biasanya ia memanggilku dengan nama Fatimah saja. Apakah begitu kecewanya dia dengan keputusanku? Ah, biarlah, ini juga demi kebaikan bersama,” ucapnya dalam hati.

Waktu terus bergulir, setelah ia mendengarkan keputusan dari Nyai Fatimah, lantas ia pamitan untuk pulang.

“Ya sudah, aku mau pamit pulang dulu. Tidak enak berlama-lama di sini. Tapi, Nyai, kalau perlu apa-apa, silakan bertandang ke keluarga kami. Saya dan keluarga dengan ikhlas akan membantu. Tidak usah sungkan.”

Enggeh. Terimakasih atas kedatangan serta ketulusanmu, Fi.”

***

Selepas salat berjamaah Isya, para santri putra dan putri berseliweran, berhambur keluar masjid. Mereka semuanya bergegas menuju tempat ajian kitab masing-masing.

Sementara, di setiap tempat ajian kitab yang berjumlah enam kelas itu, semarak imriti dan amtsilati sudah bergema. Setiap bait dilantunkan khusuk. Suasana pesantren malam itu benar-benar riuh. Karena malam itu para santri putra dan putri harus menyetorkan hafalannya.

Namun tidak dengan kelas enam. Seperti kemarin-kemarin, semenjak sepeninggalnya Kiai Zainal, kelas mereka kini tidak ada aktivitas. Tidak ada pula yang mengajar seperti kelas-kelas yang lainnya. Mereka masuk kelas hanya untuk memenuhi kewajibannya saja, mengisi absen. Selebihnya, mereka menghabiskan waktu di kelas dengan ngerumpi.

Di tengah-tengah ajian kitab berlangsung, didapati oleh keamanan beberapa santri tidak mengikuti ajian. Mereka ketahuan sembunyi di kamar mandi pondok. Mereka berpikir di tempat itu sudah dirasa cukup aman dari jangkauan keamanan pondok. Dan keesokan harinya, mereka dibawa ke kantor keamanan untuk diinterogasi.

Kini Nyai Fatimah masygul. Berbagai rintangan kehidupan mendera dirinya. Minggu lalu, dua santri putranya tertangkap polisi karena ikut tawuran ketika ada konser artis papan atas di alun-alun kota.

Belum lagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh santri putri. Mereka sering kali mengeluh akan barang-barangnya yang hilang. Dari peralatan mandi, sandal, baju, hingga celana dalam.

“Kenapa jadi begini? Mampukah aku menjalani semua ini tanpa uluran tangan orang lain? Bagaimanapun juga, aku adalah seorang wanita yang kadang lemah, tak lebih dari itu,” gumamnya dalam hati.

Ia merenung atas apa yang menimpa dirinya dan dengan keadaan pondok yang tak lebih kurang membaik. Ia mencoba untuk selalu tetap tabah dalam menjalaninya. Dan ia sadar, wanita adalah perempuan yang di satu sisi lemah, namun di sisi yang lain lebih kuat dan lebih tangguh daripada laki-laki.

*Klik di sini untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

Ahmad Fathoni Fauzan
Latest posts by Ahmad Fathoni Fauzan (see all)