Dalam konteks politik Indonesia yang terus berubah, isu teror dan penyalahgunaan kekuasaan sering kali saling terkait. Masyarakat kita, yang beraneka ragam, rentan terhadap manipulasi yang berbasis pada ketakutan. Pertanyaannya adalah, apakah kita, masyarakat yang merdeka, akan terus menjadi objek politik ketika kenyataan menuntut kita untuk lebih kritis dan proaktif?
Munculnya fenomena teror baru-baru ini menjadi sorotan. Teror, dalam wujudnya yang paling mendasar, adalah upaya untuk menimbulkan ketakutan. Namun, apa yang seharusnya menjadi respons kita? Di satu sisi, teror bisa menjadi alat yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk meraih tujuan politik. Di sisi lain, ketidakpastian yang dihasilkan dari teror dapat dimanfaatkan untuk menegaskan kekuasaan dan dominasi.
Ketika kita menyaksikan terjadinya serangan teroris, pertanyaan yang sering muncul adalah: Siapa yang diuntungkan? Sering kali, kita menemukan bahwa dalam suasana ketakutan, pemerintah atau pihak berwenang mengambil langkah-langkah yang meningkatkan kekuasaan mereka, seringkali dengan merampas sebagian dari hak dan kebebasan individu. Mengapa kita harus takut? Bukankah negara seharusnya menjadi pelindung keamanan kita?
Di titik ini, kita memasuki wilayah liminality, di mana batas antara ketenangan dan ketidakpastian menjadi kabur. Kekuatan politik memanfaatkan teror sebagai fundamentalisme yang menyogok masyarakat untuk menyerahkan kepercayaan kepada sistem yang terkadang cacat. Kenyataannya, saat teror diperbesar oleh media atau politisi, kita harus bertanya: Apakah ini benar-benar tentang keselamatan kita, atau hanya agenda tertentu yang ingin disampaikan?
Satu tantangan besar yang dihadapi masyarakat adalah bagaimana membedakan antara teror yang real dan teror yang dibangun. Serangan teroris yang terjadi tidak dapat dipandang sepele. Namun, perang terhadap teror dapat menjadi ajang eksploitasi. Penggunaan istilah ‘teroris’ dapat dengan mudah diarahkan terhadap mereka yang tidak sejalan dengan pandangan politik tertentu. Dalam hal ini, teror bisa menjadi sejenis stigmatisasi yang digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat.
Seiring waktu, teror menjadi wahana politik yang menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat. Ketika teror menjadi alat untuk mengejar ketertiban di mana seharusnya ada dialog, kita harus mempertanyakan kedewasaan demokrasi kita. Demokrasi yang sesungguhnya tidak seharusnya menjadikan masyarakat sebagai objek yang dapat diperlakukan semena-mena.
Ambil contoh dalam sejumlah insiden di mana respon pemerintah terlihat berlebihan. Apakah langkah-langkah yang diambil, seperti penangkapan massal atau kebijakan pengawasan yang ketat, benar-benar untuk melindungi kita? Atau apakah itu hanya cara untuk memperkuat kontrol atas masyarakat? Ada ironi dalam cara kita seringkali dijadikan objek untuk ‘melawan’ teror, sementara kita sendiri kehilangan kebebasan yang sejatinya dilindungi.
Intervensi dalam ruang publik pun mengalami distorsi. Ketika teror menjadi fokus utama, isu-isu lain yang berkaitan dengan kesejahteraan, pendidikan, dan layanan publik sering kali terabaikan. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa isu-isu ini tidak tersisih seiring dengan meningkatnya ketenangan yang dimanfaatkan untuk menegakan kebijakan yang merugikan? Di sini, perluasan kesadaran kritis menjadi suatu keharusan. Kita harus mampu mengeksplorasi cara-cara baru untuk mewujudkan dialog yang konstruktif.
Ketika ketidakpastian muncul, masyarakat harus bisa berperan aktif. Posi-tivisme, dalam konteks ini, bisa menjadi kunci untuk meraih kembali kendali. Masyarakat yang teredukasi dan kritis membutuhkan ruang untuk berdialog, bukan hanya sekedar menjadi objek persetujuan pemerintah. Model partisipatif dalam pengambilan keputusan bisa menjadi alternatif yang kolaboratif. Kita bisa melihat jelas siapa yang diuntungkan, dan dengan demikian, mempertanyakan keputusan yang diambil. Apakah masyarakat paham bahwa mereka adalah pemain utama dalam arena politik ini?
Selanjutnya, penting untuk membangun pondasi yang kuat melalui pendidikan dan pemahaman yang mendalam tentang hak asasi manusia dan tanggung jawab kita sebagai warga negara. Teror bisa dikendalikan melalui kesadaran kolektif yang mendorong perubahan. Ketika kita mengedukasi diri tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan, di situlah kita menemukan kekuatan untuk mengambil kembali narasi yang hilang.
Pada akhirnya, masyarakat harus berhenti menjadi objek politik kenikmatan, dan harus bertransformasi menjadi subjek yang mandiri. Kesadaran kolektif, didukung oleh pendidikan dan diskusi yang terbuka, bisa menjadi senjata ampuh melawan ketakutan yang berusaha disebarluaskan oleh kekuatan politik tertentu. Pertanyaannya adalah, sejauh mana kita bersedia terlibat dan mempertanyakan status quo? Apakah kita akan tetap terjebak dalam narasi yang disuguhkan kepada kita, atau kita akan mengambil langkah berani untuk menulis ulang cerita kita sendiri?






