Obesitasitas Regulasi Metode Omnibus Law Dan Perpu Cipta Kerja

Dwi Septiana Alhinduan

Di tengah gejolak politik dan ekonomi yang melanda Indonesia, perhatian terhadap regulasi dan metode penanganan masalah-masalah struktural semakin mendalam. Salah satu pendekatan yang menarik perhatian adalah ‘Omnibus Law’, yang sering kali diwarnai dengan istilah ‘Obesitas Regulasi’. Sebuah fenomena yang merefleksikan keinginan untuk mempercepat proses pembuatan kebijakan namun menghadapi tantangan signifikan dalam implementasinya.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, masyarakat tidak hanya terfokus pada tujuan penciptaan lapangan kerja, tetapi juga pada mekanisme dan dampak dari regulasi yang dihasilkan. Istilah ‘Obesitas Regulasi’ mencerminkan keadaan di mana jumlah regulasi yang ada seolah-olah menggembung dan memicu kebingungan serta resistensi. Dalam hal ini, terdapat satu pertanyaan mendasar: Mengapa regulasi ini seolah tidak kunjung membuahkan hasil yang diharapkan?

Penggunaan metode Omnibus Law dalam menyusun kebijakan menjadi titik tolak dalam diskusi ini. Metode ini, secara teknis, berupaya menyederhanakan proses pembuatan kebijakan dengan menggabungkan berbagai peraturan hukum dalam satu undang-undang. Namun, dampak dari pendekatan ini terkadang kontraproduktif. Proses penggabungan yang tampaknya efisien justru berisiko menimbulkan inkonsistensi antara satu regulasi dengan yang lainnya, menciptakan kerumitan baru yang lebih besar.

Perppu Cipta Kerja juga menambah dimensi lain dalam wacana ini. Perppu, atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, memiliki kekuatan untuk mengatur aspek-aspek krusial secara cepat, terutama dalam situasi darurat seperti krisis ekonomi. Namun, banyak yang menganggap penggunaan Perppu ini sebagai jalan pintas yang mengabaikan proses demokrasi yang seharusnya melibatkan dialog dan partisipasi publik. Ini memperburuk rasa skeptisisme dan menyebabkan keresahan di kalangan masyarakat luas.

Dengan semakin banyaknya regulasi, di satu sisi terdapat harapan untuk terciptanya iklim investasi yang kondusif dan peningkatan lapangan kerja. Namun, di sisi lain, keberadaan regulasi yang berlapis-lapis justru menyebabkan tumpang tindih, sehingga mempersulit pelaku usaha untuk memahami dan mematuhi aturan yang ada. Ini kian memperburuk citra Indonesia sebagai destinasi investasi yang menarik, di mana investor asing menjadi enggan untuk berinvestasi karena kekhawatiran terhadap ketidakpastian regulasi.

Pada skala mikro, kita melihat dampak langsung dari kebijakan ini terhadap pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Banyak dari mereka merasa terpinggirkan dalam proses legislasi yang seharusnya memberi mereka perlindungan dan kesempatan. Dengan fokus yang berlebihan pada hal-hal prosedural, regulasi sering kali gagal untuk menjawab kebutuhan riil dari usaha mikro, yang merupakan tulang punggung perekonomian negara.

Dengan demikian, penting bagi kita untuk merenungkan apakah pendekatan obesitas regulasi ini menciptakan solusi atau justru menambah lapisan masalah yang lebih rumit. Pengalaman dari negara-negara lain yang pernah menerapkan pola serupa dapat menjadi pelajaran berharga. Di beberapa negara, reformasi regulasi yang inklusif telah berhasil mengurangi kerumitan tanpa mengorbankan kualitas dan efektivitas kebijakan.

Melihat kenyataan ini, ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk merumuskan regulasi yang lebih mendalam dan berbasis pada data. Di sinilah peran sains dan analisis data menjadi sangat penting. Bukti empiris dapat membantu pembuat kebijakan memahami seberapa efektif suatu regulasi dan apakah regulasi tersebut memenuhi tujuan yang diharapkan.

Kehadiran masyarakat sipil dalam pembentukan kebijakan juga menjadi aspek yang tidak kalah penting. Dialog yang transparan dan partisipatif antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat luas dapat membantu menciptakan regulasi yang tidak hanya efektif tetapi juga adil. Selain itu, edukasi publik mengenai regulasi yang berlaku dan dampaknya juga dapat memperkuat kepercayaan dan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.

Dalam konteks ini, kehadiran teknologi digital dan platform komunikasi modern dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengedukasi masyarakat. Pemanfaatan media sosial dan website pemerintah untuk menjelaskan kebijakan, sekaligus menerima umpan balik dari masyarakat, akan membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai tantangan dan peluang yang ada.

Secara keseluruhan, perdebatan mengenai obesitas regulasi dan penggunaan Omnibus Law serta Perppu Cipta Kerja adalah refleksi dari upaya Indonesia untuk beradaptasi dengan dinamika global. Dalam menghadapi tantangan ini, akan sangat penting untuk menciptakan regulasi yang tidak hanya responsif tapi juga relevan bagi semua lapisan masyarakat. Tanpa pendekatan yang komprehensif dan inklusif, meraih keberhasilan dalam menciptakan lapangan kerja dan iklim investasi yang menarik akan tetap menjadi sebuah tantangan yang bersifat ukhuwah. Jadi, kita harus siap untuk merenungkan dan mereformasi cara kita dalam membuat kebijakan, agar dapat berkontribusi untuk masa depan yang lebih baik.

Related Post

Leave a Comment