
Baru-baru ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Setidaknya ada dua alasan pemerintah menerbitkan Perpu tersebut. Pertama, karena alasan ekonomi, yaitu kondisi di mana ekonomi global termasuk kondisi ekonomi Indonesia mengalami atau menghadapi ancaman resesi, inflasi, dan stagflasi ekonomi.
Kedua, karena alasan geopolitik dunia, yaitu kondisi di mana perang Rusia dan Ukraina yang belum selesai, sehingga kemudian menyebabkan terjadinya krisis pangan, krisis energi, hingga krisis keuangan. Singkatnya, krisis ekonomi.
Sehubungan dengan ini, Karl Marx menyatakan bahwa untuk mengetahui latar belakang masalah yang berkembang di masyarakat, maka lihatlah aktivitas atau kegiatan ekonomi yang berkembang di masyarakat. Kondisi ekonomi ini yang kemudian disebut oleh Karl Marx sebagai basis struktur yang kemudian membentuk politik, negara, hukum, dan alat-alat negara (suprastruktur).
Jadi alasan ekonomilah sehingga kemudian pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja secara semparangan ini. Jadi ini bukan karena kegentingan yang memaksa atau karena kekosongan hukum, melainkan karena alasan ekonomi, yaitu untuk menarik investor untuk investasi di Indonesia sebagai upaya untuk menghadapi krisis ekonomi. Ini jelas melanggar prinsip-prinsip negara hukum.
Bagaimana tidak, tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Krja yang cacat secara prosedural. Cacat secara prosedural juga cacat secara material.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat. Dalam putusan tersebut MK meminta kepada pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) untuk memperbaiki atau merevisi UU Cipta Kerja dalam waktu dua (2) tahun.
MK tidak meminta merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) apalagi menerbitkan Perpu Cipta Kerja, tetapi yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah adalah merevisi UU P3 dan menerbitkan Perpu Cipta Kerja ini.
Jika melihat kondisi sosial dan politik Indonesia hari ini juga waktu, revisi UU Cipta Kerja itu sangat tidak mungkin dilakukan. Apalagi di tengah memontum politik dan telah memasuki tahapan pemilihan umum 2024. Partai politik, anggota DPR, dan Menteri sibuk dengan agenda politiknya masing-masing dan persiapan kontestasi pemilihan umum 2024.
Baca juga:
- Usulan Regulasi Naik ke Atas Candi Borobudur
- Nuruzzaman: Afirmasi Regulasi dan Kebijakan untuk Menjaga Toleransi
Ini yang kemudian disebut sebagai kutukan periode kedua pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Presiden dan wakil presiden akan ditinggalkan oleh partai-partai koalisi dan pembantu-pembatunya, terutama yang dari partai politik. Tapi bukan berarti kemudian kondisi ini dibenarkan oleh pemerintah untuk menerbitkan Perpu Cipta Kerja.
Ada beberapa hal yang perlu dilihat kembali mengenai legislasi dan proses legislasi UU Cipta Kerja di DPR beberapa waktu lalu. Pertama, metode omnibus law dalam legislasi UU Cipta Kerja di DPR belum terformulasikan dalam pengaturan UU P3. Itulah kenapa kemudian DPR dan pemerintah merevisi UU P3 dan kemudian memasukan metode omnibus law ke dalam UU P3 baru (UU No. 13 Tahun 2022 tentang P3) sebagai legitimasi atas UU Cipta Kerja.
Problem hukumnya adalah legislasi UU Cipta Kerja di DPR mendahului formulasi pengaturan metode omnibus law dalam UU P3. Jadi legislasi UU Cipta Kerja itu cacat secara prosedural.
Metode omnibus law merupakan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan yang menitikberatkan pada penyederhanaan teknik legislasi karena merevisi dan mencabut banyak undang-undang sekaligus (Black Law Dictionary).
Penerapan metode omnibus law dalam legislasi di DPR sebagai bentuk penyederhanaan regulasi dan mengurangi obesitas regulasi seharusnya sudah ada pengaturan sebelumnya atau setidak-tidaknya DPR dan pemerintah membuat formulasi pengaturan mengenai ambang batas atau maksimum kapan regulasi itu dikatakan mengalami obesitas.
Satu sisi, metode omnibus law dapat mempersingkat pelaksanaan proses legislasi, mencegah kebuntuan proses pembahasan RUU di DPR, menjaga efisiensi anggaran legislasi, dan membangun harmonisasi peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain, metode omnibus law terlalu pragmatis, mengurangi ketelitian, kahati-hatian, dan membatasi ruang partisipasi publik.
Kedua, partisipasi publik dalam proses legislasi UU Cipta Kerja di DPR diabaikan oleh pemerintah dan DPR. Padahal partisipasi publik sebagai penyeimbang dalam proses legislasi di DPR agar produk hukum tidak memihak kepada siapa pun. Publik memliki hak untuk didengarkan (right to be heart), dipertimbangkan (right to be consideret), dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya (right to be explained). Dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa proses legislasi UU Cipta Kerja di DPR, pemerintah dan DPR mengabaikan partisipasi publik.
Survei Litbang Kompas 2020, kinerja legislasi omnibus law Cipta Kerja 86 persen proses legislasi di DPR tidak demokratis, 21 persen proses legislasi di DPR demokratis, dan 19 persen proses legislasi di DPR atas omnibus law Cipta Kerja tidak tahu.
Salah satu indikatornya adalah karena pemerintah dan DPR mengabaikan partisipasi publik dalam proses legilasi di DPR. Di sisi lain, proses legislasi di DPR serba cepat, baik legislasi UU Minerba, UU IKN, UU MK, UU KPK maupun legislasi UU Cipta Kerja, sehingga mengabaikan substansi produk undang-undang.
Baca juga:
- UU Cipta Kerja sebagai Jalan Tol Atasi Over Regulasi
- UU Cipta Kerja Bangun Harmonisasi Regulasi Investasi
- Beramai-ramai Melanggar Konstitusi - 25 Maret 2023
- Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah; Konsolidasi Politik 2024 - 27 Januari 2023
- Media dalam Percaturan Politik 2024 - 22 Januari 2023