Olahraga Dan Propaganda Politik Dalam Film Race 2016

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam jagat sinema, olahraga sering kali diangkat bukan saja sebagai sebuah aktivitas fisik, tetapi juga sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan moral, sosial, dan terkadang politik. Film “Race” yang dirilis pada tahun 2016 adalah contoh cemerlang dari pendekatan ini. Mengisahkan perjalanan seorang atlet lari Afrika-Amerika, Jesse Owens, yang mencetak sejarah dalam Olimpiade Berlin 1936, film ini bukan sekadar tentang prestasi olahraganya. Ia lebih dalam lagi. Olahraga, di dalam film ini, menjadi alat propaganda politik yang kompleks, mencerminkan ketegangan sosial dan rasial di Amerika Serikat dan dunia pada masa itu.

Sejarah mencatat bahwa kehadiran Jesse Owens di Olimpiade Berlin bukanlah kebetulan semata. Ia dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih besar daripada sekadar lawan atletik di lintasan. Pada saat yang bersamaan, Jerman berada di bawah rezim Nazi yang berusaha memperkuat ideologi superioritas rasial. Dalam konteks ini, Owens menjadi simbol. Bukan hanya bagi komunitas kulit hitam di Amerika, tetapi juga untuk semua orang yang berjuang melawan diskriminasi.

Penting untuk memahami bahwa olahraga dalam film ini tidak hanya difungsikan sebagai suatu tontonan yang menghibur. Justru, olahraga terlayang menjadi panggung yang luas untuk menggugah perhatian publik terhadap isu-isu yang lebih menyeluruh. Ketika Owens melangkah ke lintasan, setiap langkahnya melampaui batasan fisik menuju suatu narasi politik yang lebih dalam. Ia mewakili harapan dan aspirasi masyarakat yang terpinggirkan, sambil menantang narasi yang didorong oleh rezim yang ingin memperlihatkan kekuatan dan dominasi.

Film ini menyampaikan pesan bahwa olahraga memiliki kekuatan untuk mempersatukan sekaligus membelah. Di satu sisi, kita melihat bagaimana keberhasilan Owens dapat menyatukan ribuan penonton di arena dengan kegembiraan. Namun di sisi lain, film ini juga menunjukkan reaksi permusuhan dari pihak-pihak yang tidak menerima keberhasilan seorang atlet kulit hitam di tengah atmosfer yang sangat rasis. Hal ini menciptakan ketegangan yang palpably terasa saat kita menyaksikan perjalanan Owens.

Berpindah menuju aspek visual, sinematografi dalam “Race” dengung mencolok dengan simbolisme. Setiap adegan pertandingan tertata rapi untuk menunjukkan kontras antara kemenangan individu dan ideologi kolektif yang kuat. Olahraga bukan hanya tentang individu tetapi juga tentang bagaimana individu ini berinteraksi dengan kekuatan politik yang lebih besar. Sweatband yang dikenakan Owens menjadi lebih dari sekadar aksesori; itu adalah lambang perjuangan yang diahadapi. Tanda pengenalan bagi publik yang harus diingat.

Secara dramatik, film ini juga menyoroti dilema pribadi yang dialami Owens. Di luar kesuksesan di lintasan, ada tekanan serta harapan luar biasa dari masyarakat. Sebagai seorang pelari, dia berdiri di persimpangan identitas yang kompleks: seorang atlet, simbol keberanian, sekaligus target dari kritik yang tajam. Di satu sisi, kesuksesannya mendobrak stigma; di sisi lain, ia menjadi simbol bagi kekuatan yang ingin ditekan. Ini adalah gambaran pergulatan yang sering kali dihadapi oleh para olahraga di dunia yang terpolarisasi secara politik.

Dialog dalam film ini pun melekat kuat dengan pesan-pesan revolusioner. Setiap percakapan antara karakter mencerminkan konteks sosial yang lebih luas, dari ketidakadilan terhadap orang kulit hitam di Amerika hingga tantangan yang dihadapi oleh atlet dalam perjuangan untuk mendapatkan pengakuan. Dalam cara yang halus, “Race” tidak hanya memperlihatkan sejarah olahraga, tetapi juga mengajak penonton untuk merefleksikan ulang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kita saat ini. Bagaimana kita, sebagai komunitas, merayakan keberhasilan individu tanpa terjerat dalam ketidakadilan yang berkepanjangan?

Dari perspektif yang lebih luas, dampak film ini melampaui layar lebar. “Race” mengajak para penontonnya untuk berdiskusi dan merenungkan isu-isu yang mungkin sering kali diabaikan. Olahraga dalam film ini tidak hanya berfungsi sebagai panggung bagi individu untuk bersinar, tetapi juga sebagai penjaga narasi sejarah yang lebih luas. Pembentukan identitas individu di tengah hiruk-pikuk politik global menjadi penting ketika kita merenungi relevansi tema-tema yang diangkat.

Akhir kata, “Race” mengajak kita untuk berpikir kritis tentang persepsi kita terhadap olahraga dan politik. Keduanya bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan interwoven dalam sebuah narasi yang sama. Film ini menunjukkan betapa kuatnya damping yang bisa dihasilkan dari keberanian individu dalam menghadapi tantangan sistemik. Jesse Owens mungkin berlari di lintasan, tetapi pesan yang dia tinggalkan masih bergema hingga kini. Dari olahraga ke politik dan sebaliknya, kehadiran film ini adalah pengingat bahwa setiap perjuangan adalah bagian dari cerita yang lebih besar.

Related Post

Leave a Comment