Ketika berbicara tentang progresivitas di tanah air, sering kali kita disajikan dengan narasi yang berlebihan, bahkan cenderung ‘omong kosong’. Fenomena ini tak jarang disuburkan oleh media yang mengaku progresif namun pada hakikatnya hanya mengumbar retorika kosong. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi detil tentang bagaimana ‘omong kosong’ ini beroperasi dan bagaimana kita sebagai warga negara dapat memilah informasi yang kredibel dari sekadar hiburan naratif.
Banyak orang yang terperangkap dalam narasi yang diciptakan oleh media ini, yang berakhir pada pengulangan kata-kata manis yang menenangkan hati. Fenomena ini bukan tanpa sebab. Dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi, terdapat hasrat manusia untuk mencari kebenaran dan kejelasan. Namun, sering kali kebenaran disamarkan oleh kepentingan tertentu. Media, dalam berupayanya untuk memikat audiens, sering kali terjebak dalam siklus penyampaian informasi yang tidak substansial. Berita yang menyentuh emosi tanpa memberikan dampak konkret menjadi makanan sehari-hari. Ironisnya, hal ini terus berpotensi menyesatkan masyarakat luas.
Salah satu komponen utama dari fenomena ini adalah pola pengulangan. Ketika sebuah narasi disajikan berulang kali, baik melalui tayangan berita, artikel, maupun media sosial, ia berpotensi untuk menjadi ‘benar’ di mata publik. Fenomena ini mirip dengan efek placebo; meskipun tidak ada substansi, kita diberi harapan akan perubahan. Ketika told oleh media bahwa progresivitas sedang terjadi, masyarakat cenderung menerima ide tersebut tanpa mempertanyakan ketersediaan bukti yang mendukung. Menghadapi situasi ini, kita perlu dilengkapi dengan skeptisisme yang sehat.
Adanya hipokrit dalam penyebaran informasi juga berkontribusi pada kekacauan ini. Media yang mengklaim objektivitas sering kali terjerat dalam jaring kepentingan; mereka mungkin dipengaruhi oleh sponsor, politikus, atau bahkan kepentingan bisnis tertentu. Ini menyebabkan pergeseran dari misi jurnalisme yang seharusnya – untuk memberikan informasi yang benar dan transparan. Ketika hipokrit ini dibiarkan terus berkembang, kita melihat penciptaan citra palsu tentang progresivitas di masyarakat. Apa yang seharusnya sebuah laporan faktual, bertransformasi menjadi propaganda yang alus.
Konsekuensi dari semua ini adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap progresivitas itu sendiri. Ketika harapan tidak terpenuhi, rasa frustasi mengemuka. Tindakan yang gagal untuk memenuhi janji-janji retoris hanya meningkatkan kesenjangan antara realitas dan harapan. Progresivitas yang ada menjadi tampak semakin samar, tidak lebih dari sekadar sesosok hantu yang mengejar bayangan. Siklus ini dapat berakibat pada apatisme kolektif terhadap isu-isu sosial dan politik. Ketika masyarakat merasa bahwa semua yang mereka baca hanyalah omong kosong, mereka cenderung menarik diri dari diskusi yang sebenarnya penting.
Selain itu, kita juga perlu menyelidiki motivasi di balik konsumsi informasi. Ada pendorong emosional dan psikologis yang kerap kali berperan. Berita yang dramatis dan penuh sensasi sering kali lebih menarik daripada laporan yang mendalam dan berbobot. Hal ini menciptakan ekosistem di mana media merasa terdorong untuk memproduksi konten yang lebih menggugah daripada yang esensial. Sebagai respons, masyarakat perlu berupaya untuk mencari lebih dalam, untuk menghindari terjebak dalam narasi yang dangkal.
Dalam menghadapi omong kosong progresivitas, langkah pertama adalah menjunjung tinggi literasi media. Membaca setiap laporan dengan kritis, tidak hanya menerima apa yang tersaji di permukaan. Mencari sumber alternatif yang lebih beragam dan berimbang Sabang dari sekadar sedang trending. Dalam hal ini, pembaca dapat berperan sebagai detektif informasi, mencermati setiap inkonsistensi dan pertanyaan yang belum terjawab.
Selain itu, menyebutkan partisipasi aktif dalam diskusi publik sangatlah penting. Masyarakat harus menciptakan ruang-ruang dialog yang buka di mana suara dan pandangan yang berbeda dapat dipertemukan. Dengan semakin banyak perspektif yang terlibat, kita bisa melihat lebih jelas gambaran progresivitas. Ini juga memungkinkan masyarakat untuk membedakan antara narasi yang tulus dan yang hanya menyuguhkan hiburan belaka.
Di penghujung refleksi ini, kita diseimbangkan antara harapan dan realita. Kita telah mendalami bagaimana narasi omong kosong dapat menjajah percakapan progresif di tanah air. Namun, harus diingat bahwa progresivitas sejati memerlukan usaha kolektif, baik dari media maupun masyarakat. Keberanian untuk menantang narasi yang sudah mapan, serta ketekunan dalam mencari fakta, merupakan kunci. Dengan demikian, kita tidak lagi terbuai oleh omong kosong, tetapi sebaliknya, dapat melangkah maju dengan semangat yang lebih signifikan.






