
Benarkah keonaran yang orang gila buat lebih parah daripada keonaran yang waras?
Baru-baru ini viral di media sosial video dan pemberitaan orang gila yang mengancam tokoh agama. Tidak cukup sampai di situ, mempertontonkan pula bagaimana kecemasan menuntun masyarakat untuk bertindak anarkis atas dasar kecurigaan. Mereka menuduhnya komunis, menggebukin hingga babak belur, memaksa membeberkan siapa pesuruhnya.
Yang membuat saya tertegun, berselang beberapa hari kemudian, ada pula video dan pemberitaan permohonan maaf dari salah satu pengurus ponpes. Pimpinan dan seluruh jajaran ponpes tersebut mengaku telah keliru menginterogasi orang yang benar-benar gila. Dalam proses interogasinya, si korban tampak terintimidasi dan tersiksa.
Atas kekeliruan mereka, orang tua dari si orang gila terpaksa mengonfirmasi nasib sial anaknya. Orang tua korban juga memohon maaf atas segala ketidaknyamanan yang muncul kerena ulah anak yang mereka besarkan dengan kasih sayangnya tersebut.
Aneh bin ajaibnya, permohonan maaf itu tak seviral video (pertama) yang mempertontonkan wajah-wajah beringas di atas. Padahal, sangat besar kemungkinan adanya kesalahkaprahan serupa di lain tempat.
Okelah, seandainya tidak ada, lantas harus kita biarkan saja keganasan tersebut berlangsung di tengah-tengah kita? “Aku diam, maka mereka ada,” kata Descartes.
Melalui paragraf ini, saya hendak mengajak pembaca agar cerdas mencermati antara “orang gila” dengan “kegilaan orang-orang”.
Pertama, orang gila tidak pernah terikat dengan hukum apa pun, sehingga “pembantaian” terhadapnya tidak akan menghilangkan kegilaannya. Alih-alih, pelaku pembantaian itulah orang gila sebenarnya.
Sementara orang yang (dianggap) pura-pura gila, setelah berbuat keonaran sekalipun, tidak layak menerima pukulan.
Baca juga:
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, semestinya menyerahkan perkara (pelanggaran atau kejahatan) tersebut kepada pihak berwajib. Bukan justru menghakimi secara membabi buta, apalagi keroyokan.
Orang yang benar-benar gila maupun yang pura-pura gila tetaplah manusia, makhluk Tuhan yang paling mulia. Tidak ada satu perkara pun yang dapat mengurangi atau mencabut status tersebut. Bahkan, ketika mereka melakukan suatu “kesalahan/kejahatan” sekalipun.
Indonesia menyebut orang gila sebagai ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). Orang-orang ini terbagi menjadi dua kelompok; penderita gangguan jiwa berat dan penderita gangguan jiwa ringan.
Jumlah rata-rata penderita jenis pertama, menurut Data Riskesdas 2013, telah menembus angka hingga 0,17 persen atau sekitar 400.000. Sedangkan penderita jenis kedua, menurut Data Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia, jumlahnya relatif fantastis, yakni mencapai 14 juta penduduk Indonesia.
Melihat besaran jumlah dan kemungkinan “buruk” tersebut, sangat mungkin orang-orang ini berkeliaran di sekitar kita. Akan tetapi, harus saya ingatkan, kemunculan mereka tidak untuk kita curigai, gebuki, kita hajar sampai mati, melainkan untuk mendapat secuil perhatian dan rasa peduli.
Andaikan di antara kita masih ada yang berdalih bahwa mereka adalah bagian dari tugas negara, lagi dan lagi, saya mengingatkan pembaca, bahwa masih banyak orang “gila” korupsi, misalnya, berkeliaran di Indonesia. Keduanya sama perlunya untuk mendapat penanganan dari negara.
Tentu tidak semua perkara harus kita dekati dengan pendekatan struktural. Sebab masih ada opsi lain berupa pendekatan kultural. Artinya, negara dan warganya harus bersama-sama “membantu”—tidak sama dengan membantai—setiap pengidap gangguan tersebut.
Saya tidak ingin berlama-lama membahas orang gila maupun yang pura-pura gila, sebelum akhirnya tuduhan itu menyasar ke pribadi saya.
Halaman selanjutnya >>>
- Kabut Asap yang Kian Menggoda - 16 September 2019
- Milenial Tidak Hanya Fasih Nama Para Pahlawan - 9 November 2018
- Pemuda, Usir Penjajah Bernama Post-Truth! - 4 November 2018