Orang Ini Malu Jadi Dosen di Indonesia

Orang Ini Malu Jadi Dosen di Indonesia
©VOWS Magazine

Sulardi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, mengaku malu jadi dosen di negeri ini. Hal tersebut ia utarakan melalui tulisan di media massa cetak berjudul Saya Malu Menjadi Dosen di Indonesia.

Sebelumnya ia menanggapi isu Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto yang Universitas Negeri Semarang kukuhkan sebagai profesor kehormatan. Juga terhadap kabar Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian angkat sebagai Guru Besar.

Belum lagi perkara rencana Undip Semarang yang katanya tengah mengkaji kemungkinan memberi profesor kehormatan kepada anak Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani. Inilah yang menjadi alasan besar mengapa Sulardi akhirnya merasa malu. Ia kini malu berprofesi sebagai dosen lagi.

“Mengapa saya malu? Sebab profesor itu, kan, jabatan akademik tertinggi. Khusus bagi kalangan akademis yang sehari-harinya berkutat pada pengajaran penelitian, pengabdian, dan kegiatan lainnya yang menunjang profesi sebagai akademisi.”

Padahal Sulardi sehari-harinya mengajar. Ia melakukan banyak penelitian dan pengabdian sebagai seorang dosen. Ia juga banyak menulis esai ke berbagai media massa dan jurnal terakreditasi serta internasional.

Namun sayang, kerja-kerja sebagai akademisi itu tidak juga membuatnya mendapat gelar sebagaimana para politisi di atas. Padahal semuanya sudah Sulardi lakoni selama 30 tahun, tetapi gelar sebagai Guru Besar tidak juga tersematkan padanya.

“Saya malu, sebab Wakil Ketua DPR dan Menteri itu merupakan pejabat negara yang begitu sarat dengan pekerjaan yang berat. Mengurusi masalah-masalah negara, ekonomi sosial, politik hukum, dan lain sebagainya. Boleh kita kata tidak mengenal libur. Tetapi mereka masih sempat mengurusi persyaratan untuk menjadi guru besar.”

Semua tahu, untuk menjadi guru besar (profesor), minimal syaratnya adalah sudah bergelar doktor, aktif mengajar, punya publikasi riset di jurnal-jurnal bereputasi. Kalau tidak pernah menulis karya ilmiah dan publikasi lainnya, seperti kata Menristekdikti, maka mustahil seseorang bisa jadi guru besar.

“Betapa saya tidak malu saat kolega bertanya, ‘kapan guru besarnya?’ Masa mau jadi guru besar syaratnya menjadi menteri dulu? Kan, tidak?”

Ia juga mengkhawatirkan jika suatu saat nanti jumlah guru besar di negeri ini justru lebih banyak berasal dari kalangan anggota dewan, pemimpin partai politik menyandangnya, serta dari jajaran pemerintahan seperti menteri. Pun ketika jabatan rektor di Indonesia malah diisi oleh rektor-rektor asing.

“Betapa saya tidak malu. Dahulu orang-orang kolonial memimpin orang tua saya. Kini orang asing memimpin saya sebagai dosen? Malu kepada bangsa ini, tidak mampu mempertahankan kemerdekaan, tidak mampu menjaga kemandirian bangsa di bidang akademik. Pantaslah saya malu jadi dosen di Indonesia.”

Baca juga: