Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
©Pinterest

Tidak ada sekatan primordial yang menghambat segala perjuangan pahlawan.

Kemerdekaan tidak akan pernah lahir manakala orang-orang belum punya kesadaran untuk merdeka. Bisa dibayangkan, jika kesadaran itu tumpul di dalam pikiran dan hati masyarakat Indonesia, bagaimana bangsa ini mau merdeka dari penindasan imperialisme dan kolonialisme? Bagaimana nasib sebagai bangsa yang ingin bebas, menentukan sendiri hak hidupnya, tetapi tidak punya kesadaran untuk merdeka?

Tidak bisa tidak. Kita harus merdeka. Untuk memulainya, kita harus membangun kesadaran.

Iya, kita telah merdeka. Usia bangsa telah 74 tahun. Dengan begitu, kemerdekaan (fisik) sudah menjadi milik kita. Kebangkitan dari kekalahan karena peran kesadaran orang-orang pendahulu yang berjuang menempuh beragam siklus perjuangan sampai pada titik darah penghabisan.

Kesadaran telah mengantarkan Ibu Pertiwi ke pangkuan yang separalel dengan bangsa-bangsa lain. Bung Tomo dengan keras mengatakan, kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.

Meminjam ungkapan Bung Karno, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) merupakan cita-cita sebagai bangsa yang ingin mendiri, baik secara ekonomi, politik, hukum, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Ini merupakan tonggak bagi kemajuan bangsa di masa depan, yang siap dengan segala perubahan tetapi selalu mandiri dan kritis pada kemajuan.

Hal ihwal itu merupakan warisan para pahlawan yang telah berjuang mempertahankan tanah tumpah darah Indonesia. Pahlawan sebagai basis kekuatan dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan sekaligus menjunjung harkat dan martabat sebagai bangsa harus tetap berada di memori kolektif kita sebagai bangsa.

Seluruh nyawa telah ditumpahkan demi masa depan generasi Indonesia yang tidak boleh ditindas oleh segala bentuk apa pun. Negara ini berdiri di atas niat baik, dengan pikiran-pikiran cemerlang. Para founding father merumuskan dasar negara serta arah dan tujuan bangsa.

Tidak ada garis demarkasi yang pada waktu itu membuat para pahlawan enggan untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia. Tidak ada sekatan primordial yang menghambat segala perjuangan pahlawan. Semua dibungkus di atas dasar bahwa kita adalah bangsa yang harus merdeka. Menjadi satu bangsa yang mengedepankan aspek kemanusiaan.

Baca juga:

Primordialisme bukan penghalang yang membuat bangsa ini mengalami degradasi. Justru dengannya, bangsa ini akan makin sadar, tumbuh menjadi bangsa yang dewasa di atas beragam agama, suku, budaya, bahasa.

Ini merupakan modal sosial (capital social) yang berperan bagi kemajuan kita di masa mendatang. Dengan menjaga modal sosial, sebuah bangsa akan menjadi lebih menghargai kemanusiaan, baik yang terdapat dalam diri sendiri maupun pada orang lain.

Pahlawan dalam menjalankan misi besar, memerdekakan bangsa dari penindasan dan segala bentuk ketidakadilan, tidak menjadi pejuang yang kendur begitu saja karena perbedaan (agama, suku, budaya, bahasa). Tetapi, mereka mampu menyatukan segala elemen untuk bersama-sama membangun kesadaran, kerja sama, serta komitmen bagi bangsa Indonesia.

Di tengah gempuran pihak luar yang ingin menguasai ibu pertiwi, pahlawan mampu berdiri dengan merangkul segala perbedaan untuk berjalan dengan membawa misi besar: kemerdekaan. Begitu besar niat baik pahlawan dicurahkan untuk negeri Indonesia, tempat di mana kita mesti menjaga modal sosial yang merupakan warisan bagi masa depan Indonesia.

Tugas Kita

10 November merupakan hari peringatan bagi segenap para pahlawan yang telah berjuang demi bangsa Indonesia. Usaha merebut kemerdekaan tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan butuh kerja keras dengan mempertaruhkan nyawa. Semua dilakukan atas dasar dorongan untuk menjadi bangsa yang tidak lagi mudah ditindas dengan segala apa pun.

Pahlawan telah membuktikan bahwa negara Indonesia perlu berdiri di atas keyakinannya sendiri, berdiri di atas hak-hak sendiri sebagai manusia yang bebas. Meminjam kalimat Sartre, menjadi manusia berarti menjadi sadar, bebas berimajinasi, bebas memilih dan mempertanggungjawabkan hidup.

Saya pikir, kalimat seperti ini merupakan daya dorong yang tebersit di dalam pikiran pahlawan untuk menentukan nasib bangsa seturut dengan kehendak bebasnya. Dengan upaya itulah kita dibawa kepada sebuah kemerdekaan sebagai bangsa yang siap hidup dengan hak-hak dasar yang melekat dalam diri.

Perjuangan pahlawan telah dibuktikan melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai dasar bagi keberlanjutan bangsa kemudian hari. Lantas, bagaimana dengan perjuangan kita di tengah kemerdekaan yang sudah kita raih?

Kemerdekaan bukan soal bebas dari ketertindasan, melainkan bebas menjadi bangsa yang mandiri. Menjadi bangsa yang mandiri perlu dilakukan dari dalam bangsa itu sendiri, dengan meningkatkan segala upaya untuk mendorong kemajuan.

Untuk capai ke sana, tidak mudah dilakukan. Butuh semangat zaman yang harus kita kembangkan melalui cara berpikir, solidaritas, serta kooperatif. Melalui ketiga cara seperti ini, kita diajak untuk melanjutkan perjuangan bagi cita-cita Indonesia sebagai harapan dari para pahlawan.

Perjuangan kita bukan lagi mengangkat senjata, bukan pula melakukan gerilya di bawah tanah, tetapi perjuangan yang sesungguhnya adalah kita memajukan bangsa dengan segala kompetensi. Semua diletakkan di atas pundak generasi yang harus melaksanakan semua perjuangan tersebut.

Melanjutkan perjuangan berarti kita siap untuk meneruskan cita-cita besar negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak hanya di dalam negeri, kita harus punya andil bagian dalam kontribusi nyata sebagai bangsa yang tentunya mendorong dan ikut berperan aktif di kancah internasional. Di sinilah makna serta aksi nyata dari kita dalam meneruskan perjuangan pendahulu bangsa.

Patrisius Jenila
Latest posts by Patrisius Jenila (see all)