
Konflik yang tak kunjung usai di negara kawasan Timur Tengah, baik pertarungan organisasi sipil di dalam negara atau konflik di antara beberapa negara, membuat saya merasa prihatin.
Pasalnya, hingga kurun waktu ini, berdasarkan pemberitaan di media massa, konflik berkelanjutan yang mengancam nyawa manusia yang tak berdosa menanggung konsekuensi dengan menyandang status warga negara yang dilanda konflik, dan tentu mendapatkan imbasnya. Sehingga negeri di kawasan Timur Tengah jauh dari kata nilai “Unity and Humanity” dalam kacamata internasional.
Ketidakstabilan di antara negara di kawasan Timur Tengah tidak terlepas dengan adanya motif egosentris keagamaan maupun sosial, serta adanya faktor ekonomi politik. Seperti fenomena konflik antara Palestina dan Israel dengan mengorbankan ribuan jiwa yang terluka hingga meninggal dunia, benturan aliran Islam Sunni dan Syiah, munculnya gerakan yang mengatasnamakan keagamaan dengan motif ekonomi politik kekuasaan (misalnya di Yaman, Iraq, Suriah, Lebanon, dll).
Sehingga lantas apa yang terjadi? Saya rasa amat, seharusnya beberapa negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut andil secara kolektif dalam memediasi situasi dan kondisi di kawasan tersebut. Hingga sampai saat ini, peran adanya organisasi Internasional dalam pertahanan, keamanan, dan stabilitas dirasa jauh dari sebuah konsepsi belaka, atau bisa juga tumpul dalam pelaksanaannya.
Meskipun negara yang mempunyai hak veto PBB (negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, Prancis) fungsi untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi, tidak menyentuh pada aspek implementasi perdamaian sebagai mediator.
Menelisik secara historis, bahwa negara adidaya selain Cina mempunyai peran yang penting dalam pembentukan beberapa sekte negara yang ada di kawasan Timur Tengah. Dahulu, kawasan di Afrika Utara dan sebagian negara di Timur Tengah sempat menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Usmani.
Ketika menjelang abad ke-19 hingga 20, Turki Usmani mengalami kemunduran, sehingga dimanfaatkan oleh Negara Barat yakni Inggris dan Prancis memanfaatkan momentum tersebut untuk menguasai wilayah bekas penguasaan dari kerajaan Ottoman tersebut.
Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam pengaruhnya di Timur Tengah lewat Israel dalam penguasaannya dan bagaimana tanah yang menjadi milik orang Palestina, dapat diakuisisi. Kemudian Uni Soviet memainkan perannya dalam penyebaran ajaran Sosialisme serta memainkan perannya dengan mengontrol Afghanistan.
Baca juga:
Sehingga menurut amat saya, menjadi kritik berskala internasional terhadap negara-negara adidaya yang mempunyai Hak Veto, yang tidak berefek pada perdamaian dunia. Saya rasa, bahwa Hak Veto PBB yang dimiliki oleh PBB tidak diberlakukan lagi, jika menganut pada asas demokratisasi, bahwa setiap negara mempunyai perannya dalam menyuarakan dan merumuskan sebuah resolusi, peraturan dan keputusan secara demokratis, serta berperan bebas-aktif dalam resolusi konflik dan perdamaian yang ada di kawasan Timur Tengah.
Internasionalisasi Pancasila
Pancasila menjadi ide dan gagasan progresif dan revolusioner, serta visioner dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman yang dilema, serta tanpa adanya kepastian yang baik. Berkaca pada sejarah, bahwa Bung Karno, salah satu tokoh penggali nilai dasar negara, dalam pidatonya dengan tema “To Bulid A World New” pada Sidang Umum PBB sempat menawarkan sebuah konsep Pancasila pada tanggal 30 September 1960.
Dalam pointernya ia menyebutkan The Five of Principle is Pancasila, 1) Belive in God, 2) Internasionalism, 3) Nationalism, 4) Democracy, 5) Social Justice. Meskipun demikian, ideologi Pancasila jika diterapkan di beberapa negara berkembang, menjadi ancaman nyata bagi negara yang secara konsepsi ekonominya berwatak Kapitalisme, Kolonialisme maupun Imperialisme.
Saya rasa amat, bahwa Pancasila harus mempunyai fungsi ideologi dan asas kehidupan kebermanfaatan yang tidak hanya dapat diterapkan di negara Indonesia saja, tetapi Pancasila sebagai ideologi alternatif yang dapat diterapkan oleh beberapa negara yang ada di dunia. Pasalnya, menurut amat penulis, bahwa Pancasila menjadi konsep yang komprehensif dalam mengatasi segala macam permasalahan kehidupan yang ada.
Alasannya mengapa? Karena Pancasila hadir sebagai kemajemukan di tengah keberagaman budaya yang sangat variatif. Dalam hal ini, contoh dengan menggunakan term ‘bangsa Indonesia’ yang mempunyai penafsiran menyatukan bangsa-bangsa yang ada di beberapa daerah, coba berkaca pada Indonesia yang masyarakatnya hidup rukun dan damai di tengah perbedaan.
Contoh sederhananya bahwa Indonesia terdiri dari 6 Agama Resmi (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu) dan Penghayat Kepercayaan yang begitu banyak dan tersebar di beberapa daerah. Kemudian terdapat beberapa suku yang tersebar (Misalnya Jawa, Madura, Sunda, Betawi, Batak, Bugis, Madura, Osing, Bali, Bugis, Papua, Maluku, Nusa Tenggara, dll).
Sehingga saya rasa, memang Pancasila harus diperjuangkan sebagai “Way of life for International” atau Resolusi Konflik dan Perdamaian dalam rangka memediasi negara-negara yang sedang berkonflik di kawasan Timur Tengah. Meskipun demikian, bahwa memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi dunia memang tidak mudah, harus ditekuni secara sabar dan istikamah.
Dalam hal ini, bagaimana pengejewantahan Pancasila sebagai instrumen untuk memberikan pemahaman melalui negosiasi dan diplomasi. Misalnya negara berkembang menjalin persatuan, berkomitmen Pancasila sebagai dasar perjuangan. Tentu tidak mudah diintervensi oleh negara yang ambisius dalam ekspansi demi kepentingan korporasi kapitalisme global yang menyengsarakan masyarakat dunia.
Baca juga:
Dengan memainkan dan menciptakan sebuah konflik, agar negara berkembang bisa meminjam uang atau hutang, sehingga jika tidak bisa membayar utang tersebut? Maka yang dikorbankan adalah warga sipil.
Maka bersatulah negara-negara Asia-Afrika maupun negara lain yang satu visi mengenai Pancasila, maka kita guncangkan dunia. Seperti kata Bung Karno, “Berikan aku seribu orang tua, maka aku cabut semeru dari akarnya, berikan aku sepuluh pemuda, maka aku guncangkan dunia”.
- Fikih Peradaban dan Upaya Deradikalisasi di Perguruan Tinggi - 28 Juni 2023
- Pemikiran Pluralistik KH. Yahya Cholil Staquf - 19 Februari 2023
- Quo Vadis Nasionalisme Islam? - 5 November 2022