
Kritisisme publik seakan mengalami krisis. Nalar kritis publik dieksploitasi oleh kelompok yang bersembunyi di balik semua kekacauan global yang sedang terjadi.
Ketika saya membuka Facebook, saya menemukan sebuah status yang sangat menarik untuk dibaca dan dianalisis. Dari status itu, bagi saya, ada semacam pesan kepada publik bahwa ternyata ada kesempatan yang terselubung yang dimanfaatkan, katakanlah oleh “penumpang gelap” di balik makin parahnya pandemi dari Covid-19 yang mengancam segala aspek kehidupan negara-bangsa, termasuk Indonesia. Baik dari kepentingan ekonomi, kehidupan sosial, dan yang terpenting adalah kemunculan Covid-19 ini menguji kekuatan pertahanan negara.
Pada kondisi dan situasi ini, tentu negara akan terancam. Artinya, jika kekuatan sosial (social power) lemah ditambah pertahanan negara (national defense) lemah, itulah momentum terbaik para korporat dalam mengeksploitasi segala sumber daya. Negara siap menerima nasib terburuk kalau semua orang tidak memahami apa yang sebenarnya sedang dan sudah terjadi.
Indonesia sedang menuju ke sana akibat pemerintah yang gagal paham dan ahistoris dalam memaknai percaturan sampai persaingan politik dan ekonomi global.
Ironi yang terjadi di Indonesia menunjukkan betapa tidak seriusnya negara (pemerintah) ketika menghadapi percaturan ini. Lihat saja sampai saat ini pemerintah masih kecolongan dalam mencegah dan memusnahkan pandemi dari virus mematikan ini.
Bahkan di tengah peristiwa dan tragedi yang menyeramkan sepanjang sejarah kehidupan manusia di era modern, justru pemerintah masih sibuk mengurus kepentingan mereka dengan mengatasnamakan negara. Kepentingan yang secara nyata sama sekali mengabaikan kepentingan rakyat dan sarat kepentingan segelintir orang/kelompok tertentu saja.
Berbagai kebijakan pun terus berjalan menuju sebuah keputusan. Padahal kebijakan-kebijakan itu adalah polemik atau kontroversi dalam pandangan publik. Apa saja? Mulai dari proyek pemindahan ibu kota negara, RUU Omnibus Law, pembebasan narapidana koruptor, dan berbagai polemik lain yang terkesan dipaksakan untuk berjalan terus.
Dikutip dari Kompas (Senin, 30/3/2020) terkait RUU Omnibus Law, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan, pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di parlemen tetap akan dilakukan sesuai mekanisme. “Urusan Omninbus Law tentu saja akan kita bahas sesuai dengan mekanismenya,” kata Puan di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Baca juga:
Sedangkan untuk kebijakan terhadap narapidana sebagaimana informasi yang didapat dari Tirto (2/4/2020) bahwa Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyiapkan rencana pencegahan penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Salah satunya dengan membebaskan sekitar 35 ribu narapidana.
Salah satu kelompok yang juga akan dibebaskan adalah narapidana kasus korupsi. Koruptor dapat bebas seandainya ia berusia di atas 60 tahun—dengan kata lain, lebih rentan terpapar Covid-19 dan sudah menjalani dua per tiga masa tahanan. Yasonna mengambil kebijakan ini dengan harus merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Keputusan Yasonna mendapat tanggapan dari Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz. Bahwa Yasonna tengah memanfaatkan situasi krisis. Dasarnya, usul agar PP 99/2012 direvisi tidak muncul kali ini saja. Yasonna pernah mengusulkan ini pada 2016 lalu.
Dayanto (2020) juga menilai bahwa semua ini sebagai sebuah fakta dan narasi yang mempertontonkan betapa sense of crisis dan sense of etic para pemegang kuasa lebih kecil dari nol.
Pada kondisi inilah kritisisme publik dipertanyakan. Semua kelompok sosial yang secara jelas punya basis dan daya dorong, terutama organisasi kepemudaan-kemahasiswaan (OKP) dan kemasyarakatan (Ormas), masih termakan wacana lebih baik #DiRumahSaja. Aehingga kehilangan karisma dan daya tonjok di tengah menyebarnya pandemi Covid-19.
Tidak salah lebih baik #DiRumahSaja sebagai ikhtiar untuk memutus mata rantai dan menghindar dari ancaman pandemi Covid-19. Tetapi apakah semua kekuatan sosial di bangsa ini harus “lockdown” dan “terisolasi” ketika menyaksikan segala kebijakan negara (pemerintah) yang kontra terhadap kepentingan rakyat?
Kritisisme publik seakan mengalami krisis. Nalar kritis publik dieksploitasi oleh kelompok yang bersembunyi di balik semua kekacauan global yang sedang terjadi.
Baca juga:
Di Indonesia, tanpa kita sadari akan terjadi bencana di atas bencana atau rakyat akan mengalami bencana yang bertubi-tubi, yakni bencana akibat pandemi Covid-19. Dan di balik itu, pemerintah membuat kebijakan yang sama sekali akan merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
Ini yang Immanuel Kant menyebutnya dengan ketidakmampuan rasio dalam melihat fakta empiris. Sebab dari keduanya punya pendekatan berbeda dalam melihat kebenaran. Akibatnya, pikiran publik tidak mampu untuk mengkritisi fenomena yang terjadi di sekitar kita.
Penting dengan kritisisme Immanuel Kant untuk menggabungkan antara Rasionalisme dan Empirisme untuk menambah daya kritis publik. Kita harus berani keluar dari situasi dan kondisi yang membuat semua orang terjebak dalam jurang nestapa bernama Covid-19.
Untuk masalah Covid-19, pemerintah jangan tidur, lalu seenaknya mengambil kesempatan di balik kesempitan dengan membuat perencanaan kebijakan bermasalah jalan terus. Sementara rakyat sampai hari ini masih khawatir akibat tindakan preventif untuk memutus mata rantai penularan tidak secara serius dilakukan.
Yang harus pemerintah sadari adalah sampai saat ini fasilitas kesehatan kita tidak mampu menghadapi wabah ini. Bukan malah sibuk mengurus yang lain.
Solusinya adalah membuat konsolidasi gerakan moral dari semua kekuatan sosial dari OKP-Ormas dalam rangka menolak berbagai kebijakan buruk yang terus berjalan menjadi sebuah keputusan. Mendorong pemerintah mengambil langkah untuk pemusnahan pandemi Covid-19 yang mengancam sekaligus membunuh nyawa manusia setiap detiknya.
Pasalnya, sampai tulisan dibuat, kita belum menemukan alat untuk mendeteksi keberadaan Covid-19 di tubuh manusia.
- Rakyat: Subjek Demokrasi, Bukan Objek - 11 Desember 2022
- Bangsa Bermasalah - 10 Oktober 2022
- Pendidikan Substantif - 1 Januari 2022