Paradoks Pancasilais Memahami Pancasila

Aturan tersebut mengindikasikan bahwa ajaran Marxisme dan sejenisnya dilarang untuk dikaji secara akademik. Sehingga kebebasan akademik terkesan tumpul dan gerakan diskursif analitik terkesan sangat tumpul dalama memahami dan menganalisasi fenomena untuk mengadvokasi masyarakat secara luas. Begitu pun juga di kalangan akademisi pun demikian.

Sosok Kiai Haji Abdurrahman Wahid, Islamis Progresif keturunan dari keluarga pesantren dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama, serta menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 pernah melakukan terobosan yang amat mengagetkan publik, terutama para pengikut dan simpatisan rezim Orde Baru dan antek-anteknya yakni dengan mencabut Ketetapan TAP MPRS No. XXI No. 1966 tersebut.

Sehingga amat keji jika para pengkritik dan pencaci maki menduga bahwa Gus Dur pro-PKI, ini tuduhan yang tak mendasar. Sehingga jabatan Gus Dur sebagai pembaru pemikiran dan kebijakan harus merelakan jabatannya Presiden hasil dari musyawarah di Parlemen yang dilakukan secara politis yang kotor oleh oknum politisi yang tidak bertanggung jawab.

Guru Besar Emeritus Universitas Monash Australia, Ariel Heryanto menuliskan opini berjudul “Pancasila Sejak Orde Baru”, yang terbit di Harian Kompas pada 6 November 2021, bahwa Orde Baru merupakan rezim yang ambisius dan ganas dari sebelumnya, namun tidak melepaskan dari gagasan ideologi dari sebelumnya yakni Pancasila, meskipun karakteristiknya berubah 180 derajat dari watak aslinya.

Begitu pun juga Profesor Purnawaktu Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Frans Magniz Suseno menuliskan artikel berjudul “Tantangan Pancasila Pasca-Orde Baru” (Harian Kompas, 17 November 2021) merespons bahwa sosok Soekarno, penggagas Pancasila, menggambarkan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai semacam ideologi, melainkan mempunyai fungsi memayungi semua ideologi, seperti sosialisme, antiimperialisme, anti-kapitalisme, atau menurut penulis memayungi unsur nasionalisme berkarakter kemanusiaan hingga religiulitas.

Secara umum, bagi masyarakat yang pro Pancasila versi Orde Baru, karena sebagai wujud benteng pertahanan untuk membendung penyebaran paham Komunisme, Marxisme, dan Leninisme kepada masyarakat Indonesia, karena ajarannya mengandung unsur ateis atau tidak ber-Tuhan. Pasalnya, tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dikenal sebagai orang religius/taat beragama, selain itu juga diduga akan mengganti ideologi Pancasila.

Sedangkan yang kontra Pancasila versi Orde Baru, dengan alasan Pancasila sebagai alat untuk melegitimasi Soeharto untuk menjadi Presiden Republik Indonesia dengan menggantikan Presiden sebelumnya yakni Soekarno, serta mengaburkan perannya dengan cara De-Soekarnoisasi dari segmentasi apa pun.

Baca juga:
Aji Cahyono