Paranoid Nationalism: Berkah atau Musibah?

Paranoid Nationalism
©The Economist

Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar kalimat Paranoid Nationalism? Apakah ini sebuah kegilaan?

Mungkin. Lebih tepatnya, paranoid nationalism merupakan sebuah kondisi yang terkadang menggambarkan kondisi atau perasaan “nasionalisme” yang dibayangi oleh rasa takut, kecurigaan, atau permusuhan yang bersifat ekstrem terhadap suatu negara atau negara lain. Hal ini dipicu oleh perkembangan teknologi, perbedaan pandangan politik, kesenjangan sosial, hingga ekonomi.

Sederhananya, sebagian atau seluruh masyarakat di suatu negara merasa dirinya sedang mendapatkan ancaman atau selalu di bawah tekanan dari negara lainnya sehingga mereka mengaktifkan mode pertahanan dirinya dengan mempersiapkan segala kemungkinan, termasuk di dalamnya invasi.

Walaupun sebenarnya hal tersebut belum tentu terjadi, mungkin kondisi ini terlihat pada negara Republik Korea dan Republik Rakyat Demokratik Korea, di mana keduanya masih bersitegang hingga saat ini dan tidak menutup kemungkinan sebagian penduduknya mengalami paranoid nationalism karena ancaman-ancaman yang terjadi di kedua belah pihak (termasuk propaganda di kedua negara).

Tindakan untuk membela diri tersebut biasanya dilakukan dengan cara-cara yang agresif atau defensif dengan anggapan akan melindungi kepentingan dan identitas suatu bangsa. Sekilas tidak ada yang salah dengan hal tersebut, namun celah ini dimanfaatkan oleh para oligarki untuk meraup keuntungan di tengah kekhawatiran masyarakatnya.

Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh suatu negara yang benar-benar memanfaatkan paranoid nationalism adalah dengan cara melakukan isolasi atau isolasionisme, di mana tindakan ini akan mengakibatkan suatu negara terputus dan menarik diri dari kerja sama internasional dengan maksud menjaga kedaulatan, namun pada praktiknya tidak jarang terjadi kegagalan bahkan memicu suburnya tindakan sewenang-wenang yang dapat dilakukan oleh penguasa.

Hermeneutika Propaganda

Sekitar abad ke-19 hingga abad ke-20, orang berama-ramai untuk membentuk identitas suatu budaya atau negaranya secara bersama-sama, sehingga mendorong banyak orang untuk bergabung sebagai bentuk rasa cinta dan bangga terhadap negaranya. Tidak jarang kondisi ini makin diperkuat ketika kondisi perang sedang berlangsung.

Dengan adanya semangat nasionalisme, maka suatu kelompok yang menyatakan dirinya sebagai “kelompok nasionalis” akan mendapatkan semangat baru di tengah perang yang berkecamuk.

Baca juga:

Tentu saja, propaganda merupakan kunci bagi pembentukan nasionalisme yang saat ini kita kenal. Tanpa propaganda, semuanya tidak akan berjalan sebagaimana rencana yang telah ditetapkan.

Melalui media-media yang tersedia di zamannya, propaganda dapat dilancarkan dengan baik, misalnya melalui surat kabar atau koran. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Hirsch tentang kepemilikan bersama makna verbal.

Dalam arti tersebut, kita dapat melihat dua aspek penting di dalam pelaksanaannya. Pertama, sebuah teks dapat dapat digunakan untuk menyampaikan “pengertian” yang ingin disampaikan oleh pengaran. Kedua, bahwa seorang penafsir dapat menemukan kenyataan bahwa hal tersebut adalah pengertian yang hendak disampaikannya.

Propaganda secara perlahan dilancarkan untuk menyampaikan maksud-maksud dan kepentingan-kepentingan penguasa sebagai pihak yang membuat propaganda dan diharapkan sang penafsir tersebut mampu mencerna maksud yang disampaikan—itu adalah hal umum dalam pengertian yang wajar bagi pelaksanaan propaganda—tetapi, pada satu standing point yang menarik adalah aktivitas tersebut tidak hanya mengakar pada makna tekstual, tetapi juga mengakar pada aspek psikologis seseorang yang sebelumnya telah dipengaruhi agar mereka meyakini suatu negara layak untuk dibenci dan dimusuhi.

Dengan adanya kepemilikan makna bersama tersebut, diharapkan ada suatu intensionalitas yang terbentuk di dalam pikiran masyarakat bahwa mereka layak dan berhak untuk mengambil bagian di garis terdepan dalam hal membela negaranya. Hal ini diperparah dengan adanya perbedaan konvensi bahasa yang digunakan di masing-masing pihak, sehingga tidak jarang menimbulkan pergesekan kontekstual dan memperparah konflik.

Makna atau arti yang coba disampaikan oleh si pembuat atau pengarang dengan adanya “kepemilikan bersama”, maka ia bermaksud untuk membuat si penafsir memahami dan menerapkan apa yang “dikehendaki” oleh si pembuat atau penulis.

Akibatnya, hal ini dapat memicu paranoid nationalism bertumbuh dengan cepat karena adanya unsur untuk “menekan” penafsir memahami suatu teks. Hal ini akan mendorong kemudahan bagi penafsir untuk memahami tentang suatu pokok permasalahan dapat lebih cepat disetujui, karena telah saling berbagi konteks linguistik.

Pembentukan Paranoid Nationalism

Setelah berbagai upaya propaganda dibentuk, maka outcome yang diharapkan adalah peningkatan loyalitas masyarakat terhadap negaranya dan pemerintah makin percaya diri untuk menetapkan kebijakan-kebijakan luar atau dalam negeri yang lebih agresif—tentunya tanpa ada halangan berarti karena masyarakat akan menganggap hal ini sebagai upaya untuk mempertahankan diri mereka—keadaan tersebut akan dimanfaatkan oleh para politisi yang mencari kesempatan untuk memperkaya dirinya, kaya harta atau kuasa.

Halaman selanjutnya >>>
Angga Pratama